karena tilosis dapat mengurangi permeabilitas sel-sel pembuluh atau bahkan menutup sama sekali saluran-saluran di dalam kayu terhadap aliran cairan bahan
pengawet. Selain itu, adanya getah-getah dan benda-benda asing lainnya dalam kaitannya dengan tilosis juga cenderung untuk menutup sel-sel pembuluh yang
ada di dalam kayu. Kayu rambutan menghasilkan retensi yang paling tinggi tetapi
menghasilkan penetrasi boron yang lebih rendah dibandingkan kayu kecapi. Hal tersebut diduga karena bahan pengawet pada kayu rambutan hanya masuk di
sekitar bagian permukaan atas. Penelitian ini membuktikan bahwa tidak selamanya retensi tinggi menyebabkan penetrasi lebih dalam. Hal ini sesuai
dengan Hunt dan Garrat 1986 yang menyatakan bahwa retensi tidak berkorelasi dengan penetrasi.
4.1.2.2 Penetrasi tembaga
Pada setiap perlakuan pengawetan kayu yang telah dilakukan, senyawa boron menghasilkan nilai penetrasi yang lebih tinggi sebagaimana tampak pada
Gambar 7, adanya boron ditunjukkan dengan warna jingga. Penetrasi tembaga nilai penetrasinya lebih rendah dibandingkan dengan boron Gambar 8, adanya
tembaga ditunjukkan dengan warna biru tua. Kondisi ini terjadi karena tembaga sangat cepat berfiksasi sehingga sulit masuk ke dalam kayu, sebaliknya boron
yang tidak mudah berfiksasi dapat menembus kayu dengan lebih dalam Padlinurjaji dkk. 1977 dalam Mulyadi 2011.
Gambar 7 Penetrasi boron Gambar 8 Penetrasi tembaga
Rata-rata nilai penetrasi tembaga kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka pada berbagai perlakuan perendaman bahan pengawet disajikan pada
Gambar 9. Sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 7 memuat hasil analisis sidik ragamnya.
Kayu rambutan dan kayu nangka memiliki nilai penetrasi tembaga yang lebih rendah dibandingkan kayu kecapi pada setiap perlakuan perendaman dan
suhu. Hasil ini sesuai dengan analisis ragamnya yang menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi tembaga Tabel 7.
Pengawetan rendaman panas-dingin menghasilkan penetrasi tembaga lebih tinggi dibandingkan pada pengawetan rendaman dingin pada lama perendaman
total 24 dan 48 jam dari ketiga jenis kayu. Sehingga dapat dikatakan perendaman panas berpengaruh terhadap penetrasi tembaga yang masuk ke dalam kayu.
Peningkatan penetrasi tembaga pada perendaman panas-dingin ini menghasilkan penetrasi yang berbeda nyata dengan perendaman dingin.
Gambar 9 Nilai penetrasi tembaga mm bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman
panasdingin 420…840 dan variasi suhu 50 °C 30 °C a, 30 °C b, dan 75 °C c.
Pada rendaman panas-dingin peningkatan lama rendaman panas, dari 4 jam ke 8 jam menyebabkan peningkatan penetrasi tembaga. Pada perendaman total 24
jam pada suhu 50 ºC meningkatkan penetrasi tembaga sekitar 1,25 kalinya sedangkan pada suhu 75 °C sekitar 1,5 kalinya. Pada perendaman total 48 jam,
peningkatan penetrasi tembaga terjadi sekitar 1,5 kali terjadi pada suhu 50 ºC dan suhu 75 ºC.
Peningkatan suhu 50 ºC menjadi 75 ºC juga mempengaruhi peningkatan penetrasi tembaga pada rendaman panas-dingin. Pada perendaman panas-dingin
selama 420 jam terjadi peningkatan penetrasi tembaga sekitar 1,5 kali, sedangkan pada perendaman selama 444 jam meningkatkan penetrasi tembaga sekitar
hampir 2 kali. Untuk perendaman panas-dingin 816 jam dan 840 jam menyebabkan peningkatan penetrasi tembaga yang sama sekitar 2 kali.
Tabel 7 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi tembaga
Sumber Keragaman DF
Anova SS Mean Square
F value
Pr F Jenis Kayu
2 113,8388889
56,9194444 18,28 ,0001
Pengawetan 9
124,4694444 13,8299383
4,44 0,0002 Jenis Kayu_Pengawetan
18 140,0222222
7,7790123 2,50 0,0042
Keterangan : = tidak nyata ; = nyata ; = sangat nyata
Metode pengawetan berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi tembaga, selain itu jenis kayu juga berpengaruh sangat nyata Tabel 7. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa pada kayu kayu rambutan dan kayu nangka nilai penetrasi boronnya tidak berbeda nyata pada sebagian besar perlakuan
pengawetan, sedangkan untuk kayu kecapi nilai penetrasi boronnya berbeda nyata dengan kedua kayu tersebut hampir di sebagian besar perlakuan pengawetan. Pada
metode rendaman panas-dingin nilai penetrasi boronnya berbeda nyata dibandingkan rendaman dingin. Pada lama perendaman yang sama dengan suhu
yang berbeda nilai penetrasinya tidak berbeda nyata hampir disebagian besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu, dan pada
suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut nilai penetrasi boronnya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran
10. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi kayu yang akan
digunakan untuk di bawah atap dan di luar atap yaitu sebesar 5 mm, standar tersebut berlaku untuk penetrasi boron maupun tembaga. Dari pengujian, kayu
kecapi yang memenuhi standar penetrasi adalah perlakuan rendaman panas-dingin 816 jam suhu 50 ºC, 840 jam suhu 50 ºC, 816 jam suhu 75 ºC, 444 jam suhu 75
ºC, dan 840 jam suhu 75 ºC. Sedangkan untuk kayu rambutan hanya perendaman 840 jam suhu 75 ºC saja yang masuk standar penetrasi. Namun untuk kayu
nangka tidak ada yang masuk ke dalam standar penetrasi disetiap perlakuan panas dinginnya.
Menurut Hunt dan Garrat 1986, selain dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu, penetrasi juga dipengaruhi oleh persiapan kayu sebelum diawetkan, metode
pengawetan, konsentrasi bahan pengawet, dan lama perendaman. Dengan demikian, maka lama perendaman dan metode pengawetan yang digunakan dalam
penelitian ini perlu disempurnakan. Lama perendaman dinginnya perlu ditingkatkan atau dengan mencoba metode pengawetan baru seperti vakum tekan
atau pemberian perlakuan pendahuluan seperti pengukusan terlebih dahulu sebelum pengawetan. Sedangkan untuk konsentrasi bahan pengawet tetap
dipertahankan sebesar 5, karena konsentrasi 5 merupakan konsentrasi yang dianjurkan oleh pabrik pembuat bahan pengawet. Tetapi bila ingin mendapatkan
hasil penetrasi yang optimal bisa saja dilakukan penelitian dengan meningkatan konsentrasinya.
4.2 Pengujian Mekanis Kayu