Preservative Treatability and Mechanical Properties of Kecapi, Rambutan, and Nangka Woods Preserved with Hot and Cold Soaking of Diffusol CB
DENGAN DIFFUSOL CB SECARA RENDAMAN PANAS DINGIN
NUR AISYAH KOMALASARI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
KETERAWETAN DAN SIFAT MEKANIS KAYU KECAPI, KAYU RAMBUTAN DAN KAYU NANGKA YANG DIAWETKAN DENGAN DIFFUSOL CB SECARA RENDAMAN PANAS DINGIN
NUR AISYAH KOMALASARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(3)
Preservative Treatability and Mechanical Properties of Kecapi, Rambutan, and Nangka Woods Preserved with Hot and Cold
Soaking of Diffusol CB
Nur Aisyah K1, Trisna Priadi2
INTRODUCTION : Various types of wood from the forests and lands owned by community, hopefully can be used as commercial timbers for constructions or furnitures. However, it should be supported by technology that can improve the properties of woods, one of them is preservation which makes wood more resistant to biodeterioration. The objective of this research was to determine the effect of temperatures and periods of soaking on the retention and penetration of preservative Diffusol CB and their influence to the mechanical properties of kecapi wood (Sandoricum koetjape), rambutan wood (Nephelium lappaceum), and nangka wood (Arthocarpus heterophyllus).
METHOD : In this research mechanical properties and preservative treatibility of kecapi wood, rambutan wood, and nangka wood were tested. Cold soaking and hot-cold soaking preservation methods were applied using Diffusol CB 5% to the wood samples. The cold soaking method use 24 and 48 hours periods with 30°C temperature, while hot-cold preservation method use 24 and 48 hours total soaking periode including 4 and 8 hours hot soaking prior to the cold soaking. The temperature of hot soaking were 50 °C and 75 °C. Data were analyzed using Complete Randomized Design (CRD) two factors, one factor was the type of wood and B factor was preservation methods.
RESULT : This research showed that the hot-cold soaking methods resulted in highly retention and penetration about 2-3 times compared to the cold soaking method. The highest retention found in rambutan wood, while the highest penetration of boron and copper occured in kecapi wood. The 48 hours soaking periods increased the retention and penetration nearly 2 times compared to the 24 hours soaking period. The increase of hot soaking periods 4 to 8 hours caused the increase of retension and penetrasion of boron and copper about 1,25 to 1,5 times. While the increase of temperature from 50 °C to 75 °C raised the retention and penetration of boron and copper about 1,25-2 times. Preservation 8 hours hot soaking and 40 hours cold soaking at 75 °C met the wood preservatives ISO 03-5010.1-1999 standard retension and penetrasion. In this research the increase of
soaking times and temperature didn’t significantly influence wood mechanical properties (MOE and MOR).
KEYWORDS : kecapi wood, rambutan wood, nangka wood, preservative treatability, mechanical properties, Diffusol CB
1
.Student of Forest Products Departement, Faculty of Forestry IPB 2
.Faculty member, Faculty of Forestry IPB DHH
(4)
RINGKASAN
Nur Aisyah Komalasari. E24080026. Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc.
Berbagai jenis kayu dari hutan yang berasal dari lahan milik rakyat di harapkan, dapat dimanfaatkan sebagaimana kayu komersil untuk konstruksi atau furniture. Namun, untuk itu perlu didukung oleh teknologi yang dapat memperbaiki sifat-sifatnya, salah satunya adalah pengawetan kayu sehingga lebih tahan terhadap biodeteriorisasi yang dapat merusak kayu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu perendaman panas dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi (Sandoricum koetjape), kayu rambutan (Nephelium Lappaceum), dan kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus).
Dalam penelitian ini dilakukan uji keterawetan dan sifat mekanis kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka yang diawetkan dengan metode rendaman dingin dan metode rendaman panas dingin dengan pengawet Diffusol CB konsentrasi 5%. Respon yang diamati adalah nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet, serta sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu. Pengawetan rendaman dingin dilakukan selama 24 dan 48 jam dengan suhu perendaman 30 °C. Sedangkan rendaman panas dingin dilakukan selama 24 dan 48 jam dengan lama perendaman panas 4 dan 8 jam suhu 50 °C dan 75 °C yang kemudian dilakukan perendaman dingin dengan suhu 30 °C. Data dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor, faktor A adalah jenis kayu dan faktor B adalah metode pengawetan sebagai perlakuan.
Hasil penelitian membuktikan bahwa metode pengawetan rendaman panas dingin menghasilkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet yang lebih baik dengan peningkatan sekitar 2-3 kali dibandingkan pada pengawetan rendaman dingin. Retensi tertinggi terjadi pada kayu rambutan, sedangkan penetrasi boron dan tembaga tertinggi terjadi pada kayu kecapi. Total lama perendaman selama 48 jam meningkatkan nilai retensi dan penetrasi hampir 2 kalinya dibandingkan perendaman selama 24 jam. Peningkatan perendaman panas 4 jam menjadi 8 jam pada pengawetan rendaman panas-dingin meningkatkan retensi dan penetrasi boron, tembaga sekitar 1,25 kali hingga 1,5 kali dibandingkan dengan pengawetan rendaman dingin. Sedangkan peningkatan suhu dari 50 °C menjadi 75 °C pada rendaman panas-dingin meningkatkan retensi dan penetrasi boron, tembaga sekitar 1,25 kali hingga 2 kali. Kayu rambutan yang diawetkan dengan perendaman panas 8 jam suhu 75 °C lalu dilanjutkan rendaman dingin selama 40 jam telah memenuhi standar retensi dan penetrai bahan pengawet kayu SNI 03-5010.1-1999. Peningkatan lama dan suhu rendaman dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai MOE dan MOR kayu.
Kata kunci: kayu kecapi, kayu rambutan, kayu nangka, keterawetan, sifat mekanis, Diffusol CB
(5)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keterawetan dan
Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Nur Aisyah Komalasari NRP E24080026
(6)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin
Nama Mahasiswa : Nur Aisyah Komalasari
NRP : E24080026
Program Studi : Hasil Hutan
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc. NIP. 19670425 199302 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc. NIP. 19660212 199103 1 002
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 27 September 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Asep Komariat dan Sri Mulyati. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 2 Karangampel, Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (TA 1997-2002), selanjutnya penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Sindang Indramayu, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (TA 2002-2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Sindang Indramayu, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat (TA 2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dengan memilih mayor Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf HIMASILTAN bagian Kimia Hasil Hutan tahun 2009-2010, kepanitian Forester Cup 2009, Bina Desa 2009, kepanitiaan Forest Product Expo (FORTEX), kepanitiaan KOMPAK THH 2010. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap – Baturaden, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat serta melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Madani Corp, Pati-Kudus. Penulis juga lolos PKM yang didanai oleh dikti tahun 2011.
Dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi,
Kayu Rambutan, dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB
secara Rendaman Panas Dingin” dibawah bimbingan Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc.
(8)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu Kecapi, Kayu Rambutan, dan Kayu Nangka yang Diawetkan
dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin”.
Penelitian ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu serta senantiasa memberikan bimbingan, saran dan koreksi kepada penulis sejak perencanaan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. 2. Bapak (Asep Komariat) dan Ibu (Sri Mulyati) tercinta atas seluruh kasih
sayang, cinta, doa dan semangat yang selalu mengalir tanpa henti. Adikku tersayang Rizal atas semangat, dukungan, doa dan perbincangan ringan yang membuat percaya diri.
3. Dosen-dosen dan staf Fakultas Kehutanan atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan.
4. Ahmad Jamhari Rahmawan yang selalu memotivasi, memberi semangat, dukungan dan doa.
5. Teman-teman satu bimbingan yang selalu berbagi semangat, bantuan serta dukungan : Ari Suhardianto, dan Silva Dwika Maretha.
6. Teman-teman THH 45 yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penulis melakukan penelitian hingga penulisan skripsi, serta teman-teman THH 43, 44, dan 46, dan teman-teman-teman-teman Fahutan 45.
7. Teman-teman kosan iscer crew yang selalu memberikan semangat dan dukungan: Nisa, Vany, Mimi, dan Rima.
8. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga segala bantuan dan dukungan dicatat sebagai pahala oleh Allah SWT.
Bogor, September 2012 Penulis
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Keterawetan dan Sifat Mekanis Kayu
Kecapi, Kayu Rambutan, dan Kayu Nangka yang Diawetkan dengan Diffusol CB secara Rendaman Panas Dingin” yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu perendaman panas dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi (Sandoricum koetjape), kayu rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
Bogor, September 2012
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 2
1.3 Manfaat Penelitian ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kayu dari Hutan Rakyat ... 3
2.1.1 Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.) ... 3
2.1.2 Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus) ... 4
2.1.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape) ... 5
2.2 Keawetan Kayu ... 5
2.3 Keterawetan Kayu ... 7
2.4 Pengawetan Kayu ... 8
2.5 Metode Pengawetan Kayu... 8
2.5.1 Pelaburan / penyemprotan ... 9
2.5.2 Pencelupan ... 9
2.5.3 Rendaman ... 10
2.5.4 Rendaman dingin ... 10
2.5.5 Rendaman panas-dingin ... 10
2.5.6 Metode pengawetan dengan tekanan ... 11
2.5.7 Metode difusi ... 12
2.5.8 Metode sap-replacement ... 12
2.6 Bahan Pengawet ... 13
2.6.1 Bahan pengawet berupa minyak (kreosot) ... 13
2.6.2 Bahan pengawet larut minyak ... 13
2.6.3 Bahan pengawet larut air... 14
2.7 Sifat Mekanis Kayu ... 16
(11)
2.7.2 Keteguhan tekan (compressive strength) ... 17
2.7.3 Keteguhan tarik (tensile strength) ... 17
2.7.4 Keteguhan geser (shearing strength) ... 17
2.7.5 Kekerasan (hardness) ... 17
2.7.6 Keteguhan pukul dan keuletan (toughness) ... 18
2.7.7 Keteguhan belah (cleavage resistance) ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN ... 19
3.1 Waktu dan Tempat ... 19
3.2 Alat dan Bahan ... 19
3.3 Prosedur Penelitian ... 19
3.3.1 Persiapan bahan baku... 20
3.3.2 Pengujian keterawetan kayu ... 20
3.4 Pengujian Sifat Mekanis ... 23
3.5 Analisis Data ... 24
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1 Keterawetan Kayu ... 25
4.1.1 Retensi Bahan Pengawet ... 25
4.1.2 Penetrasi Bahan Pengawet ... 28
4.2 Pengujian Mekanis Kayu ... 34
4.2.1 Modulus of Elasticity (MOE) ... 34
4.2.2 Modulus of Rupture (MOR) ... 36
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
5.1 Kesimpulan... 39
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia ... 6
2. Kelas keterawetan kayu ... 8
3. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet ... 11
4. Formulasi Difussol CB ... 20
5. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap retensi bahan pengawet. ... 27
6. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi boron ... 30
7. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi tembaga. ... 33
8. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap nilai MOE ... 35
9. Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap nilai MOR. ... 38
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kayu rambutan (a) kayu nangka (b) dan kayu kecapi (c) yang digunakan
dalam penelitian. ... 20
2. Pengambilan contoh uji untuk uji penetrasi. ... 21
3. Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi. ... 22
4. Alat uji mekanis merk Instron. ... 23
5. Nilai retensi (kg/m3) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 26
6. Nilai penetrasi boron (mm) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 29
7. Penetrasi boron ... 31
8. Penetrasi tembaga ... 31
9. Nilai penetrasi tembaga (mm) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 32
10. Nilai MOE (kg/cm2) kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 35
11. Nilai MOR (kg/cm2) kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c). ... 37
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Rata-rata nilai retensi bahan pengawet, penetrasi boron dan tembaga
pada berbagai perlakuan pengawetan pada kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka. ... 44 2. Rata-rata nilai MOE dan MOR kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu
nangka pada berbagai perlakuan perendaman bahan pengawet. ... 47 3. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap retensi
bahan pengawet... 50 4. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap penetrasi
boron. ... 52 5. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap penetrasi
tembaga. ... 54 6. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap nilai
MOE. ... 56 7. Analisis sidik ragam jenis kayu, metode pengawetan terhadap nilai
MOR. ... 58 8. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu, metode pengawetan terhadap
retensi. ... 60 9. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu dan metode pengawetan terhadap
penetrasi boron. ... 63 10. Uji lanjut Duncan interaksi jenis kayu dan metode pengawetan terhadap
penetrasi tembaga. ... 66 11. Uji lanjut Duncan nilai MOE terhadap pengaruh jenis kayu dan metode
pengawetan. ... 69 12. Uji lanjut Duncan nilai MOR terhadap pengaruh jenis kayu dan metode
(15)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat secara tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Salah satu manfaat hutan yang bisa dimanfaatkan secara langsung adalah kayu. Seiring menurunnya pasokan kayu komersial dari hutan alam dan tingginya kebutuhan kayu, maka masyarakat semakin menyadari pentingnya hutan rakyat dan hutan tanaman sebagai sumber bahan baku kayu. Kebutuhan kayu bulat selama 2008 adalah 46 juta m3, sedangkan total produksi yang mampu dihasilkan dari berbagai kawasan hutan hanya sekitar 32 juta m3 (BPS 2009 dalam Mulyadi 2011). Djajapertjunda (2003) dalam Rachman et al. (2006) mengemukakan bahwa luas hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi, sedangkan di Pulau Jawa sekitar 500.000 ha. Potensi tegakan hutan rakyat tersebut diperkirakan mencapai 43 juta m3, dengan jenis kayu utama sengon, jati, akasia, mahoni, sonokeling dan jenis buah-buahan. Oleh karena itu diperkirakan untuk saat ini dan masa yang akan datang pemenuhan kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan terutama untuk industri sebagian besar berasal dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan hutan rakyat.
Kayu yang berasal dari hutan rakyat sebagian besar digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan terutama untuk bahan bangunan. Kayu buah-buahan seperti kayu rambutan, kayu kecapi, dan kayu nangka merupakan salah satu alternatif kayu rakyat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konstruksi bangunan terutama disaat pohon sudah tidak produktif berbuah. Keunggulan dari kayu buah-buahan adalah mudah didapat di lingkungan masyarakat dengan harga yang relatif murah. Dibandingkan kayu dari hutan alam, banyak kayu rakyat yang memiliki kelemahan dari segi keawetan dan kekuatannya terutama yang berasal dari pohon yang cepat tumbuh. Pohon yang cepat tumbuh pada umumnya menghasilkan kayu dengan kandungan ekstraktif dan kerapatan kayu yang lebih rendah serta dinding sel yang lebih tipis. Agar kayu-kayu tersebut dapat dimanfaatkan dengan nilai guna yang setara seperti kayu dari hutan alam maka
(16)
dalam pemakaiannya perlu didukung oleh teknologi yang dapat memperbaiki sifat-sifat kayu, salah satunya adalah pengawetan kayu.
Pengawetan kayu merupakan suatu proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu dengan tujuan untuk meningkatkan masa pakai kayu. Proses pengawetan ini sangat bervariasi mulai dari yang sederhana (tanpa tekanan) hingga yang lebih modern dengan menggunakan tekanan dan vakum. Pengawetan dengan metode pemberian tekanan dan vakum menghasilkan nilai retensi dan penetrasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengawetan tanpa tekanan. Namun mengingat teknik pengawetan dengan menggunakan vakum tergolong mahal sehingga sulit diterapkan di masyarakat, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rendaman panas dingin dengan modifikasi suhu dan waktu.
Hasil penelitian pengawetan rendaman panas-dingin oleh Kurnia (2009) pada tiga jenis kayu rakyat dengan konsentrasi Diffusol CB sebesar 5% dengan waktu perendaman panas selama 4 jam dan dingin selama 20 jam, berkisar antara 3,71-4,15 kg/m3. Nilai retensi yang dicapai dalam penelitian tersebut belum memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi yaitu sebesar 8 kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan memodifikasi suhu dan waktu rendaman panas-dingin yang diharapkan dapat memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) pengawetan kayu.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu dan waktu perendaman panas dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet Diffusol CB serta sifat mekanis kayu kecapi (Sandoricum koetjape), kayu rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kayu nangka (Arthocarpus heterophyllus).
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan berbagai pihak khususnya pengguna kayu rakyat dalam rangka pemanfaatan kayu secara efektif dan efisien.
(17)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kayu dari Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun 1999). Djajapertjunda (2003) dalam Rachman et al. (2006) mengemukakan bahwa luas hutan rakyat sampai dengan tahun 2003 mencapai 1.265.000 ha yang tersebar di 24 provinsi, sedangkan di Pulau Jawa mencapai 500.000 ha. Untuk Jawa Barat perkembangan luas dan produksi hutan rakyat terus meningkat setiap tahunnya. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2007) dalam Rachman et al. (2006) diperoleh angka luasan sebesar 185.547,63 ha dengan produksi kayu sebesar 1.336.006,30 m3, dengan jenis kayu utama sengon, mahoni, jati, afrika dan kayu buah-buahan. Kayu rambutan, nangka dan kecapi merupakan salah satu jenis kayu buah-buahan yang termasuk di dalamnya.
2.1.1 Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.)
Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan tanaman buah hortikultural berupa pohon dengan famili Sapindaceae. Tanaman buah tropis ini dalam bahasa inggrisnya disebut hairy fruit berasal dari Indonesia (Deptan 2000). Tanaman rambutan di Indonesia tumbuh menyebar dari dataran rendah sampai ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Tetapi hasil yang baik akan diperoleh pada lahan-lahan yang lebih rendah yakni antara 0-250 meter. Penyebaran tumbuh tanaman di beberapa wilayah tumbuh Indonesia bagian barat dan merata ke hampir semua pulau besar di Indonesia. Taksonomi untuk rambutan adalah sebagai berikut (Anonim 2011) :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Sapindaceae
(18)
Genus : Nephelium
Species : Nephelium lappaceum L.
Kayu rambutan termasuk ke dalam kayu hardwood. Kayu dalam kelompok ini mengandung sejumlah tipe sel dan terspesialisasi untuk fungsi yang berbeda, antara lain sel-sel libriform mempunyai dinding yang tebal dengan rongga-rongga kecil mengandung beberapa noktah sederhana. Kayu rambutan mempunyai berat jenis 0,8-0,91 kelas kuat I-II dan kelas awet III (Seng 1990). Kayu pohon rambutan cukup keras dan kering, tetapi mudah retak sehingga kurang baik untuk bahan bangunan. Namun, kayu rambutan bagus sekali untuk kayu bakar dan arang (Anonim 2005).
2.1.2 Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus)
Nangka memiliki nama botani A. heterophyllus Lamk. Menurut Verheij dan coronel (1992) dalam Nurmawan (2011), Nangka memiliki nama lain seperti Jackfruit (Inggris), Jacquier (Prancis), Nongko (Jawa), Langka (Filipina), Khanun (Thailand). Nama daerah untuk Nangka pun bermacam-macam seperti nangko atau nangka (Jawa), anaane (Ambon), panaih (Aceh), lumasa dana malasa (Lampung), dan nama lainnya. Verheij dan coronel (1992) dalam Nurmawan (2011), mengklasifikasikan Nangka sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rosales
Famili : Moraceae Genus : Artocarpus
Species : Artocarpus heterophyllus
Menurut Burgess (1989) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki struktur anatomi antara lain porinya tersebar secara tata baur, 30-80% berpori soliter dan sisanya bergabung secara radial. Porinya berbentuk bulat sampai oval dengan jumlah pori sekitar 7-8 per mm2. Jari-jari berukuran sedang sampai cukup lebar (50-150 mikron) dan jumlahnya antara 4-6 per mm2, heteroseluler, tidak ada silika.
(19)
Menurut Isrianto (2007) dalam Nurmawan (2011), kayu nangka memiliki berat jenis maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61 sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat digunakan untuk pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, dayung, perkakas, dan alat musik. Di jawa banyak digunakan sebagai tiang bangunan, kentongan, dan lesung.
2.1.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape)
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan, tingginya dapat mencapai 25 – 30 m dengan diameter 70 – 90 cm, di Jawa tumbuh di bawah 1000 m di atas permukaan laut dan ditanam oleh penduduk. Kayu kecapi mempunyai kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda, gambar polos, dan tektur agak kasar (Mandang 2005). Menurut Martawijaya et al. (1983) kayu ini mempunyai BJ 0,29-0,59 dengan kelas awet IV – V, dan kelas kuat III – IV . Kayunya dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, untuk perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya (Verbeij & Coronel dalam
Nurmawan 2011). Taksonomi untuk kecapi adalah sebagai berikut (Anonim 2011):
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Sandoricum
Species : Sandaricum koetjape (Burm.F.) Merr
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kegunaan jenis kayu. Penggunaan kayu akan menjadi terbatas jika keawetannya rendah. Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup seperti jamur, serangga, dan binatang laut yang dapat merombak komponen utama pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan kayu
(20)
(Batubara 2006). Organisme tersebut merusak kayu karena menjadikan sumber makanan maupun sebagai tempat tinggalnya.
Menurut Dumanau (2001), keawetan kayu ialah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak yang datang dari luar kayu tersebut. Zat ekstraktif merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap keawetan alami, meskipun tidak semua zat ekstraktif kayu bersifat racun terhadap organisme perusak. Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002).
Oey Djoen Seng (1951) dalam Syarif (2010), membagi kayu dalam lima kelas keawetan di Indonesia berdasarkan usia pakai kayu pada berbagai kondisi tempat pemakaian, tanpa menyebutkan secara spesifik jenis organisme yang menyebabkan kerusakan kayu tersebut. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia
No. Kondisi Tempat Kelas
Awet I Kelas Awet II Kelas Awet III Kelas Awet IV Kelas Awet V 1 Selalu berhubungan
dengan tanah
8 tahun
5 tahun 3 Tahun Sangat
pendek
Sangat pendek 2 Hanya dipengaruhi
cuaca, tetapi dijaga agar tidak terendam air dan tidak kekurangan udara
20 tahun
15 tahun 10 Tahun Beberapa tahun
Sangat pendek
3 Di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab, dan tidak kekurangan udara Tak terbatas Tak terbatas Sangat Lama Beberapa tahun Pendek
4 Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat teratur
Tak terbatas Tak terbatas Tak terbatas
20 tahun 20 tahun
5 Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat
cepat
Sangat cepat 6 Serangan bubuk kayu
kering
Tidak Tidak Hampir
tidak
Tidak berarti
Sangat cepat Sumber: Oen Djoen Seng (1990) dalam Kurnia (2009)
Barly (2009) menyatakan bahwa beberapa kayu tropis mempunyai keawetan alami yang tinggi, namun di Indonesia sebagian kecil saja kayu-kayu yang mempunyai keawetan yang tinggi sehingga umur pakai kayu tersebut pendek. Dari 4000 jenis kayu yang terdapat di Indonesia diperkirakan hanya 15 % sampai 20 % saja yang sifat keawetannya baik, sisanya merupakan jenis-jenis yang sifat keawetannya rendah (Martawijaya & Barly 1982).
(21)
2.3 Keterawetan Kayu
Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus oleh bahan pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomis menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu (Batubara 2006). Menurut Tobing (1977), keterawetan kayu sangat bervariasi. Kayu gubal mempunyai keterawetan yang lebih tinggi karena bagian ini sebelumnya berfungsi sebagai penyalur air dan hara dari akar ke daun. Kayu teras mempunyai sifat keterawetan yang kurang baik karena sudah memiliki deposit-deposit lain termasuk ekstraktif yang menutupi sel-sel kayu.
Menurut Martawijaya dan Barly (1982), ada 4 faktor yang mempengaruhi keterawetan kayu, yaitu :
1. Jenis kayu, karena adanya perbedaan struktur anatomi dan kerapatan serta lainnya.
2. Keadaan atau kondisi kayu pada saat diawetkan, seperti kadar air dan arah penembusan. Peranan kadar air terhadap keterawetan kayu tergantung pada bahan pengawet yang digunakan dan jenis kayu tersebut.
3. Metode pengawetan. Metode pengawetan dan skema pengawetan dalam metode yang sama memberikan pengaruh yang berlainan terhadap keterawetan kayu. Pengaruh sangat nyata bila proses tidak sesuai dengan sifat bahan pengawet.
4. Bahan pengawet. Jenis dan konsentrasi bahan pengawet sangat mempengaruhi keberhasilan dalam mengawetkan kayu, yaitu retensi dan penetrasi bahan pengawet.
Hasil studi Martawijaya dan Barly (1982) terhadap penentuan klasifikasi keterawetan kayu mendapatkan hubungan yang erat antara retensi dan penetrasi artinya jenis kayu yang mudah diawetkan cenderung memiliki retensi yang tinggi, sebaliknya jenis kayu yang sukar diawetkan cenderung memiliki retensi yang rendah. Klasifikasi keterawetan kayu yang digunakan untuk metode vakum tekan dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori seperti pada Tabel 2.
(22)
Tabel 2 Kelas keterawetan kayu
Kelas Keterawetan (Treatability) Dalamnya Penetrasi
I Mudah (Permeable) >90
II Sedang (Moderately resistant) 50-90
III Sukar (Resistant) 10-50
IV Sangat Sukar (Extremely resistant) <10 Sumber: Martawijaya 1981
Berdasarkan tim ELSPPAT (1997) dalam Kurnia (2009) retensi bahan pengawet merupakan kemampuan kayu untuk menyerap bahan pengawet yang dinyatakan dalam kg/m3. Penetrasi adalah penembusan bahan pengawet yang masuk kedalam kayu. Paling tidak besarnya retensi serta penetrasi bahan pengawet harus dapat melindungi bagian-bagian sebelah dalam kayu yang tidak dimasuki oleh bahan pengawet tersebut.
2.4 Pengawetan Kayu
Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu untuk melindungi kayu atau memperpanjang masa pakai kayu sehingga dapat mengurangi frekuensi penggantian kayu pada bangunan konstruksi permanen atau bangunan semi permanen, sedangkan Dumanau (2001) mengartikan pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan racun ke dalam kayu, sebagai pelindung dari kerusakan oleh makhluk-makhluk perusak kayu yang datang dari luar seperti rayap, jamur dan binatang laut.
Menurut Nandika et al. (1996), manfaat yang dapat diraih melalui penerapan pengawetan kayu antara lain :
1. Nilai guna jenis-jenis kayu kurang awet dapat meningkat secara nyata, sejalan dengan peningkatan umur pakainya.
2. Biaya untuk perbaikan dan penggantian kayu dalam suatu penggunaan akan berkurang.
3. Dalam jangka panjang, kelestarian hutan lebih terjamin karena konsumsi kayu per satuan waktu lebih rendah.
2.5 Metode Pengawetan Kayu
Efektifitas bahan pengawet tidak hanya ditentukan oleh daya racunnya saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam kayu.
(23)
Hunt dan Garrat (1986) menyatakan metode pengawetan dibagi atas 4 golongan yaitu:
1. Metode pengawetan tanpa tekanan, kayu-kayu diawetkan secara pelaburan/penyemprotan, pencelupan, rendaman, rendaman dingin dan rendaman panas-dingin.
2. Metode pengawetan dengan tekanan atau vakum, kayu-kayu diawetkan dalam silinder tertutup dan diberi tekanan atau diberi vakum.
3. Metode difusi, kayu-kayu basah atau kayu segar diawetkan dengan bahan-bahan pengawet yang berkonsentrasi tinggi.
4. Sap replacement method, cara ini digunakan hanya untuk batang yang baru ditebang.
Metode pengawetan tanpa tekanan yang terdiri dari pelaburan/ penyemprotan (brushing dan spraying); pencelupan (dipping), rendaman (steeping); rendaman dingin (cold soaking); dan rendaman panas-dingin (hot and cold bath). Metode dengan tekanan dan vakum tekan terdiri dari metode sel penuh (full cell) dan sel kosong (empty cell).
2.5.1 Pelaburan / penyemprotan
Dalam cara ini, bahan pengawet dilaburkan/disemprotkan ke permukaan kayu yang telah dikeringkan lebih dahulu dan dibiarkan dalam beberapa waktu. Dalam penggunaan cara pelaburan atau penyemprotan, bahan pengawet haruslah menutupi seluruh permukaan kayu dan dibiarkan masuk ke dalam kayu sebanyak mungkin, jangan dilaburkan terlalu tipis seperti cat. Hasilnya dipengaruhi oleh mudah tidaknya kayu dipenetrasi dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan. Biasanya digunakan bahan pengawet minyak/larut minyak. Dapat juga menggunakan bahan pengawet larut air yang tidak mudah berfiksasi. Penetrasi yang dicapai dangkal sehingga perlindungan kayu tidak maksimal (Hunt & Garrat 1986).
2.5.2 Pencelupan
Dalam cara ini kayu-kayu diawetkan dengan mencelupkannya ke dalam larutan bahan pengawet selama beberapa detik atau beberapa menit. Umumnya metode ini lebih mahal daripada pelaburan dan penyemprotan, karena
(24)
memerlukan lebih banyak alat dan bahan pengawet yang lebih banyak, dan tidak cocok untuk mengawetkan kayu yang jumlahnya sedikit, terutama bila dilakukan di tempat langsung. Tetapi dibandingkan dengan metode pelaburan, metode ini memiliki nilai penetrasi yang lebih baik. Meskipun dalam penggunaannya, tingkat perlindungan yang ingin dicapai tidak jauh berbeda dengan pelaburan, karena penetrasinya dangkal dan retensinya rendah (Hunt & Garrat 1986).
2.5.3 Rendaman
Dalam cara ini kayu-kayu direndam di dalam tanki-tanki yang berisi bahan pengawet larut air selama beberapa hari atau beberapa minggu. Umumnya lama perendaman maksimum 2 minggu. Retensi yang cepat terjadi dalam 2-3 hari pertama, setelah itu retensi berjalan sangat lambat. Karena retensi yang rendah maka konsentrasi bahan pengawet harus lebih tinggi dibanding untuk proses tekanan. Salah satu cara rendaman yang mendapat paten di Inggris pada tahun 1832 disebut Kyanizing. Disini kayu direndam selama 7-10 hari dalam larutan
mercuric chloride (sublimat) 0,67%. Kyanizing ini mengalami modifikasi dan cara baru ini disebut improved Kyanizing dimana bahan pengawet yang digunakan adalah campuran mercuric chloride 0,67% dengan NaCl 1%. Dalam kedua cara ini, digunakan peralatan-peralatan yang tahan karat. Saat ini senyawa merkuri sudah tidak digunakan lagi mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya (Hunt & Garrat 1986).
2.5.4 Rendaman dingin
Metode ini banyak digunakan menggunakan larutan minyak, umumnya digunakan bahan pengawet pentachlorophenol. Lebih dari separuh retensi terjadi pada hari pertama (24 jam pertama), tetapi absorpsi akan berlangsung terus dengan lebih lambat selama beberapa hari. Penetrasi pada kayu-kayu yang tidak mengalami pengeringan lebih dulu biasanya sangat dangkal. Juga cara ini kurang baik hasilnya bila dilakukan terhadap jenis-jenis kayu daun lebar karena retensi dan penetrasinya dangkal (Hunt & Garrat 1986).
2.5.5 Rendaman panas-dingin
Cara ini mendapat paten dalam tahun 1867 atas nama C.A. Seely dan dikenal juga dengan nama open tank treatment atau thermal process. Disini
(25)
kayu-kayu yang telah dikeringkan direndam di dalam bahan pengawet panas, kemudian dipindahkan ke dalam bahan pengawet dingin (Hunt & Garrat 1986).
Berdasarkan Nandika et al. (1996), untuk melaksanakan proses rendaman panas dan rendaman dingin ada beberapa cara yaitu:
1. Memindahkan kayu-kayu yang telah direndam dalam bahan pengawet yang dipanaskan ke tanki lain dimana bahan pengawet relatif dingin.
2. Dengan mengeluarkan bahan pengawet panas dan segera diganti dengan bahan pengawet dingin.
3. Dengan menghentikan pemanasan dan membiarkan kayu serta bahan pengawet tadi menjadi dingin bersama-sama.
Untuk cara 1 dan 2, pemindahan harus dilakukan secara cepat supaya tidak dingin oleh udara. Dalam metode pengawetan ini sebaiknya digunakan bahan pengawet larut minyak, karena suhu sangat berpengaruh terhadap absorbsi dan penetrasi. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet
Jenis Bentuk/Formulasi Retensi (Kg/m3) Penetrasi
(mm) Di bawah atap Di luar atap
CCB1 Bahan aktif garam
Formulasi 8,0 8,4 11,0 11,6 5 5
CCB2 Bahan aktif garam
Formulasi 8,0 8,2 11,0 11,3 5 5
CCB3 Bahan aktif garam
Formulasi 8,0 8,0 11,0 11,0 5 5
CCB4 Bahan aktif garam
Formulasi 8,0 8,0 11,0 12,2 5 5
CCF Bahan aktif garam
Formulasi 6,0 6,0 8,6 8,6 5 5 Sumber: SNI 03-5010.1-1999
2.5.6 Metode pengawetan dengan tekanan
Pada umumnya dilakukan di dalam suatu tabung silinder tertutup. Dibandingkan dengan metode-metode lain, metode tekanan mempunyai beberapa keuntungan yaitu a) proses pengawetan relatif lebih cepat, b) proses pengawetan dapat dikontrol sehingga retensi/penetrasi dapat diatur sesuai dengan keinginan dan dengan sendirinya pemakaian bahan pengawet menjadi lebih efisien, c) retensi lebih tinggi serta penetrasinya lebih dalam dan merata. Adapun kelemahannya adalah a) memerlukan alat-alat yang khusus yang harganya mahal
(26)
sehingga investasinya tinggi, b) kayu-kayu yang akan diawetkan harus diangkut sehingga menambah biaya dalam transportasi, dan c) alat-alat yang dipergunakan harus tahan tekanan, vakum dan tahan karat (Hunt & Garrat 1986).
2.5.7 Metode difusi
Sesuai dengan namanya maka dalam metode ini seluruh/sebagian besar masuknya bahan pengawet ke dalam kayu adalah berdasarkan prinsip difusi. Agar hasil retensi dan penetrasi cukup dalam maka kadar air kayu yang diawetkan harus cukup tinggi serta konsentrasi bahan pengawet yang tinggi. Biasanya bahan pengawet yang digunakan adalah berbentuk pasta atau cream, yang tidak mudah berfiksasi (Hunt & Garrat 1986).
Beberapa metode difusi yang dikenal antara lain adalah (Hunt & Garrat 1986):
a. Double diffusion process. Tujuan utama dari metode ini adalah untuk membentuk endapan didalam kayu yang tahan terhadap pelunturan.
b. Osmose process. Dalam cara ini, bahan pengawet yang digunakan adalah berbentuk pasta atau cream dan disapukan ke seluruh permukaan kayu setelah kayu dilapisi dengan bahan yang waterproof. Kemudian dibiarkan selama ± 30 hari. Lamanya proses ini tergantung pada ukuran dan jenis kayu yang diawetkan. Retensi minimum yang disarankan adalah 1/2-1/4 . lb per cu.ft. (4-8 kg/m3).
2.5.8 Metode sap-replacement
Metode ini mendapat paten pada tahun 1838 atas nama penemunya yaitu Dr. Boucheri dari Perancis. Semula metode ini dilakukan terhadap pohon-pohon yang baru ditebang, dimana cabang-cabang, ranting-ranting dan daunnya masih lengkap. Bahan pengawet diberikan dari pangkal batang dan mengalir keseluruh pohon (pada kayu gubal) karena adanya transpirasi oleh daun. Metode ini mengalami perubahan yang dibuat oleh Mathis (Inggris) dimana sekarang ini, proses ini hanya dilakukan untuk log atau poles yang baru ditebang. Bahan pengawet disimpan pada sebuah bak setinggi 10 m dari tanah, dan dialirkan ke pangkal batang melalui slang atau pipa. Proses ini selesai apabila bahan pengawet telah mengisi seluruh kayu gubal dan ini dapat dilihat pada ujung batang.
(27)
Biasanya digunakan bahan pengawet copper sulfate (blue vitriol), karena mempunyai keuntungan dibandingkan bahan-bahan pengawet larut air yang tidak berwarna, dimana mudah dilihat apakah proses sudah cukup apa belum (Hunt & Garrat 1986).
2.6 Bahan Pengawet
Bahan pengawet adalah bahan kimia yang bila dimasukkan (diimpregnasikan) ke dalam kayu akan menyebabkan kayu menjadi tahan terhadap serangan faktor-faktor perusak kayu golongan biologis (Syarif 2010).
Menurut Tsoumis (1991), bahan pengawet dibagi dalam tiga golongan yaitu: (a) bahan pengawet berupa minyak, (b) bahan pengawet larut minyak, dan (c) bahan pengawet larut air.
2.6.1 Bahan pengawet berupa minyak (kreosot)
Kreosot dihasilkan dari destilasi batubara dan bahan ini mengandung berbagai macam senyawa yang beberapa diantaranya sangat efektif terhadap faktor-faktor perusak kayu. Bahan pengawet ini telah digunakan lebih dari 100 tahun dan memberikan hasil yang baik. Kreosot mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan antara lain sangat beracun terhadap cendawan, serangga dan
marine borer, permanen, juga didalam air asin, dapat digunakan dalam berbagai metode pengawetan, tidak bersifat korosif terhadap metal, penetrasi mudah dikontrol, dan harganya murah. Disamping sifat-sifat yang menguntungkan, kreosot juga mempunyai kekurangan-kekurangan seperti baunya tidak enak, mempunyai tendensi meleleh terutama bila disingkapkan terhadap sinar matahari, kayu menjadi tidak dapat dicat, merangsang kulit dan komposisi kimianya sangat bervariasi.
2.6.2 Bahan pengawet larut minyak
Banyak yang bersifat sangat beracun terhadap organisme perusak kayu, akan tetapi umumnya sangat mahal serta tidak baik digunakan secara tunggal. Beberapa bahan pengawet ini sangat mudah menguap (volatile) sehingga tidak tahan lama di dalam kayu. Selain itu karena bersifat korosif terhadap metal, tidak stabil pada penyingkapan di udara terbuka, resistensinya rendah terhadap pelunturan, berbahaya terhadap manusia dan binatang, bau yang keras dan lain
(28)
sebagainya. Dari berbagai macam bahan pengawet golongan ini baru 3 macam yang nyata-nyata efektif berdasarkan American Wood Preservers Association (AWPA) Standard dalam Hunt dan Garrat (1986) yaitu pentachlorophenol (PCP),
coppernaphthenate, dan copper-8-guinalinolate. Sayangnya meskipun PCP mempunyai sifat-sifat yang lebih baik, penggunaan PCP sudah sejak lama dilarang karena sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
2.6.3 Bahan pengawet larut air
Sifat-sifat yang menguntungkan dari bahan pengawet kelompok ini antara lain: a) dapat diangkut dalam bentuk padat atau dalam konsentrasi tertentu ke tempat penggunaan, sedangkan bahan-bahan pelarutnya (air) harganya murah, b) formulasinya mudah diatur agar bersifat racun terhadap cendawan atau serangga, c) kayunya tetap bersih dan dapat dicat, d) umumnya tidak berbau, dan e) tidak meninggikan sifat bakar kayu dan dapat dikombinasikan dengan bahan penghambat api (fire retardant).
Keburukan dari bahan pengawet ini adalah bahan ini membasahkan kembali kayu sehingga menimbulkan perubahan dimensi kayu. Karena itu diperlukan pengeringan kembali setelah kayu diawetkan. Kelemahan lain bahan pengawet larut air adalah pada umumnya mudah tercuci atau mudah luntur.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bahan pengawet yang baik haruslah memiliki sifat-sifat, diantaranya adalah:
a. Bersifat racun terhadap organisme perusak kayu walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.
b. Permanen.
c. Mudah diimpregnasikan (daya penetrasi tinggi) serta mudah dikontrol. d. Aman didalam pengangkutan dan penggunaan.
e. Tidak bersifat korosif
f. Tersedia dalam jumlah yang banyak.
Bahan pengawet Diffusol CB adalah bahan pengawet kayu larut air yang berbentuk garam yang terdiri dari asam borat, boraks, tembaga dan khromium dengan formulasi CuSO4 (32,4%), H3BO3 (21,6%), dan Na2Cr2O7 (36,0%). Bahan
berbentuk pasta berwarna coklat gelap serta berbau. Menurut Hunt dan Garrat (1986), Diffusol CB merupakan salah satu bahan pengawet yang larut air.
(29)
Senyawa bor merupakan salah satu bahan yang dapat dipakai untuk mempertinggi daya tahan kayu terhadap api. Selain itu senyawa bor juga dapat pula mempertinggi daya tahan kayu terhadap jamur.
Beberapa sifat persenyawaan bor (Supriana 1978) adalah:
1. Beracun terhadap jamur dan serangga perusak kayu, tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak.
2. Dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses difusi. 3. Tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna kayu
sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan alat rumah tangga yang terbuat dari kayu.
4. Kayu yang diawetkan dengan persenyawaan bor dapat dicat, diplitur atau direkat dengan baik.
Senyawa tembaga yang digunakan sebagai bahan pengawet kayu larut air pada umumnya dalam bentuk sulfat, biasanya pentahidrat (CuSO4.5H2O),
hidroksida (Cu(OH)2), oksida (CuO), dan dalam basa-basa karbonat terutama
Cu2(OH)2CO3. Cu(OH)2CO3 biasanya berbentuk bubuk yang berwarna hijau
dengan kandungan tembaga ± 55%. Diperoleh dengan menambahkan larutan tembaga sulfat kepada larutan natrium karbonat. Tembaga sulfat adalah senyawa tembaga yang paling penting dan merupakan sumber utama untuk kebanyakan senyawa tembaga lainnya (Hatford 1973 dalam Mulyadi 2011).
Tembaga sulfat merupakan anti hama yang baik dan sangat baik untuk melawan jamur. Kelemahan utama tembaga sulfat adalah adanya korosif yang tinggi terhadap besi. Kelemahan lainnya adalah daya larutnya yang tinggi dalam air sehingga mudah tercuci kembali. Tembaga sulfat sangat cocok untuk mencegah serangan rayap apabila kayu yang diawetkan bebas dari pengaruh pelunturan.
Senyawa khrom digunakan di dalam bahan pengawet kayu dalam bentuk dikromat natrium (Na2Cr2O7.2H2O), potasium dichromat (K2Cr2O7), sodium
khromat (Na2CrO4) dan asam kromat (HCrO3). Dikhromat natrium berwarna
merah jingga, berbentuk garam kristal, sangat mudah larut dalam air, yaitu sekitar 69-70% (Hartford 1973 dalam Mulyadi 2011). Potasium dikhromat lebih mahal daripada garam natrium tetapi karena sifat kurang higroskopik, maka ia banyak
(30)
digunakan sebagai campuran bahan pengawet. Senyawa khrom digunakan secara luas sebagai campuran tambahan bahan pengawet kayu larut air. Senyawa khrom tersebut dicampurkan dalam bentuk dikhromat, khromat, asam khromat, atau trioksida khromium. Perkembangan selanjutnya digunakan khrom asetat sebagai campuran celcure. Selanjutnya dikatakan bahwa garam khrom yang paling efektif adalah yang mengandung trioksida khromium yang tinggi. Akan tetapi karena harganya mahal dan juga daya larutnya rendah maka jarang digunakan.
2.7 Sifat Mekanis Kayu
Sifat mekanis kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan kekuatan dan merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimampatkan, terpuntir, dan terlengkungkan oleh suatu beban yang mengenainya (Heygreen & Bowyer 1982).
Sifat mekanis kayu merupakan faktor terpenting yang harus diperhatikan apabila kayu akan digunakan untuk bahan bangunan. Beberapa sifat mekanis yang penting untuk menilai kekuatan kayu diantaranya adalah keteguhan lentur statis (static bending strength), keteguhan tekan (compressive strength), keteguhan tarik (tensile strength), keteguhan geser (shearing strength), kekerasan (hardness), kekakuan (stiffness), keuletan (toughness), dan ketahanan belah (cleavage resistance).
2.7.1 Keteguhan lentur statis (static bending strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan lentur statis merupakan salah satu sifat mekanis yang sangat penting karena banyak penggunaan struktural kayu mengalami tegangan sepeti ini. Apabila sebuah balok diberi beban dan bengkok, pada dasarnya ada tiga tekanan yang bekerja pada balok itu yaitu tekanan tarik, tekanan tekan, dan tekanan geser. Di bawah batas proporsi tedapat hubungan positif antara tegangan dengan regangan, nilai perbandingan antara regangan dan tegangan ini disebut modulus elastisitas (Modulus of Elasticity, MOE). Sementara tegangan patah (Modulus of Repture, MOR) dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah).
(31)
2.7.2 Keteguhan tekan (compressive strength)
Menurut Tsoumis (1991) keteguhan tekan ialah kemampuan kayu untuk menahan beban atau tekanan yang berusaha memperkecil ukurannya. Kekuatan tekan longitudinal (sejajar serat) lebih besar dibandingkan dengan kekuatan tekan tegak lurus serat (sampai 15 kali). Besarnya keteguhan ini sama dengan besarnya beban maksimum dibagi dengan luas penampang dimana beban tersebut bekerja.
2.7.3 Keteguhan tarik (tensile strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan tarik kayu ialah kemampuan kayu untuk menahan gaya yang berusaha menarik atau memanjangkan ukurannya. Kekuatan tarik longitudinal (sejajar serat) jauh lebih tinggi dari kekuatan tarik transversal (sampai 50 kali lipat). Keteguhan tarik dipengaruhi oleh ukuran atau dimensi kayu, kekuatan serat-serat dan susunan serat kayu. Keteguhan tarik sangat penting diketahui untuk suku bawah (busur) pada penopang kayu dan dalam rancangan sambungan antara rangka kuda-kuda bangunan (Heygreen & Bowyer 1982).
2.7.4 Keteguhan geser (shearing strength)
Menurut Tsoumis (1991) kekuatan geser ialah kekuatan kayu untuk menahan beban yang berusaha menggeser atau bagian dengan bagian lainnya pada sepotong kayu. Dimana pergeseran dapat terjadi pada arah longitudinal (searah serat) dan transversal (tegak lurus serat).
Terdapat tiga macam bentuk geseran bila ditinjau dari arah geseran terhadap serat kayu: (1) geser sejajar serat, (2) geser tegak lurus serat, (3) geser miring serat. Tetapi yang lazim diperhitungkan adalah keteguhan geser sejajar serat karena dalam penggunaan sehari-hari kerusakan kayu akibat geseran kebanyakan berupa geseran sejajar serat. Keteguhan geser ini dipengaruhi oleh kekuatan ikatan antar serat (sel kayu).
2.7.5 Kekerasan (hardness)
Menurut Tsoumis (1991) kekerasan adalah ukuran ketahanan kayu terhadap benda luar yang berusaha masuk ke dalam massanya. Kekerasan lebih tinggi sampai 2 kali lipat pada bidang longitudinal dibanding sisi yang lain, tetapi perbedaan antara bidang radial dan tangensial tidak jauh berbeda. Kekerasan berhubungan dengan kekuatan kayu terhadap pengikisan dan goresan dengan
(32)
berbagai bahan, serta mudah tidaknya dikerjakan dengan alat dan mesin. Sifat kekerasan ini penting untuk berbagai penggunaan seperti lantai, furniture, alat olahraga, pensil, dan lain-lain.
2.7.6 Keteguhan pukul dan keuletan (toughness)
Keteguhan pukul adalah ukuran kemampuan kayu untuk menahan pukulan sampai kayu mengalami kerusakan, sedangkan menurut Tsoumis (1991) keuletan berhubungan dengan kekuatan kayu terhadap beban statis atau beban yang diaplikasikan secara perlahan-lahan. Energi yang diserap oleh kayu lebih tinggi pada beban tiba-tiba dibandingkan dengan beban statis.
2.7.7 Keteguhan belah (cleavage resistance)
Tsoumis (1991) keteguhan belah ialah ketahanan kayu terhadap beban yang berusaha memisahkan antara bagian kayu yang satu dengan bagian lainnya. Kayu memiliki kekuatan belah yang rendah pada arah longitudinal sehingga menguntungkan untuk penggunaan tertentu seperti untuk kayu bakar. Pada umumnya kayu mudah dibelah sepanjang jari-jari (arah radial) daripada`arah tangensial.
(33)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2012-Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Tekhnologi Peningkatan Mutu Kayu dan Laboratorium Rekaya Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian teras 3 jenis kayu dari hutan rakyat, yaitu kayu nangka, kayu rambutan, kayu kecapi. Dalam penelitian ini dilakukan uji penetrasi, retensi dan uji mekanis pada ketiga jenis kayu terhadap pengaruh waktu perebusan pada metode rendaman panas dingin dan perbedaan suhunya. Adapun bahan pengawet yang digunakan adalah bahan pengawet jenis CCB (Copper-Chromium-Boron) dengan merk dagang Diffusol-CB dengan konsentrasi 5%. Pereaksi boron 1 (2 gram ekstrak curcuma, dan 100 ml alkohol), pereaksi boron 2 (80 ml alkohol, dan 20 ml HCl yang dijenuhkan dengan asam salisilat), pereaksi tembaga 1 (1 bagian ammonia pekat, dan 6 bagian air suling), dan pereaksi tembaga 2 (5 gram asam rubianat, 900 ml alkohol dan 100 ml aseton).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, (a) peralatan pengawetan kayu yaitu bejana, gelas ukur, kompor, termometer, kaliper (b) peralatan untuk pengujian retensi dan penetrasi yaitu timbangan analitik, sprayer, kuas, sarung tangan, masker, cutter, koran bekas, kertas amplas dan alat tulis. (c) peralatan pengujian mekanis menggunakan mesin UTM (Universal Testing Machine) merk Instron.
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa prosedur yaitu persiapan bahan baku, pengujian keterawetan kayu, uji penetrasi, retensi dan uji mekanis terhadap bahan pengawet Difussol-CB.
(34)
3.3.1 Persiapan bahan baku
Untuk uji keterawetan terhadap bahan pengawet yaitu kayu nangka, kayu rambutan, kayu kecapi yang digunakan berupa balok berukuran 5 cm x 5 cm x 30 cm (Gambar 1). Jumlah seluruh contoh uji yang digunakan adalah sebanyak 5 ulangan x 3 jenis kayu x [(2 x 2 perbedaan waktu)+1] x 2 suhu = 150 buah contoh uji. Uji keterawetan terhadap bahan pengawet Difussol-CB ini digunakan kayu bagian teras pada ketiga kayu contoh uji.
a b c
Gambar 1 Kayu rambutan (a) kayu nangka (b) dan kayu kecapi (c) yang digunakan dalam penelitian.
3.3.2 Pengujian keterawetan kayu 3.3.2.1 Metode pengawetan kayu
Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari golongan CCB (Copper-Chromium-Boron) dengan merk dagang Diffusol-CB. Adapun formulasi Diffusol-CB dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Formulasi Difussol-CB
No Chemical Name CAS No. Nominal Proportion (%)
1 Sodium Dichromate 10588-01-9 36.0
2 Copper Sulphate 7758-99-8 39.0
3 Boric Acid 10043-35-3 25.0
Sumber: Material Safety Data Sheet Diffusol CB 2004.
Sebelumnya dilakukan proses pengawetan, kayu terlebih dahulu dilakukan perlakukan pengeringan sehingga mencapai kadar air sekitar 15%. Pada metode rendaman panas dingin, contoh uji kayu direndam dalam bejana yang telah diisi larutan Diffusol-CB dengan konsentrasi 5% lalu dipanaskan pada suhu 75 °C dan 50 °C. Perendaman contoh uji dalam bahan pengawet dilakukan selama 24 jam
(35)
dan 48 jam, dengan waktu perendaman panas selama 4 jam dan 8 jam. Kemudian api dimatikan dan rendaman dingin berlangsung selama 20 dan 16 jam untuk waktu perendaman total 24 jam, sedangkan 44 dan 40 jam untuk waktu perendaman total 48 jam. Pada waktu merendam diusahakan seluruh contoh uji tenggelam. Contoh uji yang telah diawetkan selanjutnya diangin-anginkan pada suhu kamar sampai menjadi kering udara kembali.
3.3.2.2 Penentuan retensi bahan pengawet
Untuk menghitung besarnya retensi hasil pengawetan, dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Contoh uji yang telah diawetkan diangkat dari bak pengawetan.
b. Contoh-contoh uji diangin-anginkan sampai tidak ada tetesan larutan bahan pengawet.
c. Contoh uji segera ditimbang beratnya.
d. Nilai retensi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
R = Retensi bahan pengawet (kg/m³) A = Absorbsi (kg)
V = Volume contoh uji kayu (m³)
K = Konsentrasi larutan bahan pengawet yang digunakan (%)
3.3.2.3 Penentuan penetrasi bahan pengawet
Pengukuran penetrasi dilakukan pada contoh uji berukuran 5 cm x 5 cm x 30 cm (Gambar 2). Contoh uji dipotong masing-masing menjadi 2 bagian lalu dilakukan uji penetrasi boron dan tembaga. Berikut ini adalah cara pemotongan contoh uji untuk pengujian penetrasi setelah contoh uji diawetkan dengan metode rendaman panas dingin.
30 cm
15 cm 15 cm
(36)
Pada uji penetrasi boron, permukaan bidang potong disemprot dengan larutan yang terdiri dari 2 gram ekstrak curcuma dalam 100 ml alkohol. Setelah permukaan bidang dipotong itu mengering, dilanjutkan dengan penyemprotan dengan larutan yang terdiri dari 80 ml alkohol dan 20 ml HCl yang dijenuhkan dengan asam salisilat. Adanya boron ditunjukan oleh timbulnya warna merah jambu.
Sedangkan pada uji penetrasi tembaga, permukaan bidang potong mula-mula disemprot dengan larutan yang terdiri dari 1 bagian ammonia pekat dan 6 bagian air suling. Setelah mengering, permukaan bidang potong ini disemprot dengan larutan yang terdiri dari 5 gram asam rubianat, 900 ml alkohol dan 100 ml aseton. Setelah kering maka bagian yang ditembus tembaga menjadi biru gelap.
Dengan terbentuknya warna yang menandakan terdapatnya unsur boron dan tembaga, maka warna tersebut langsung ditandai dan digambar pada plastik transparan. Tanda batas yang telah dipindahkan selanjutnya diukur kedalamannya. Berikut ini adalah gambar penampang contoh uji yang telah dipotong menjadi 2 bagian dan telah disemprotkan larutan pereaksi boron atau tembaga.
X4
a b
X1 X3
X2
Gambar 3 Penampang contoh uji yang telah diberikan larutan pereaksi. Keterangan:
a = Bagian yang ditembus bahan pengawet b = Bagian yang tidak ditembus bahan pengawet X1 = Penetrasi pada sisi 1 (mm)
X2 = Penetrasi pada sisi 2 (mm) X3 = Penetrasi pada sisi 3 (mm) X4 = Penetrasi pada sisi 4 (mm) Z = Penetrasi rata-rata (mm)
Pada keempat sisi diukur penembusan bahan pengawet lalu nilai penetrasi
(37)
3.4 Pengujian Sifat Mekanis
Pengujian sifat mekanis yang dilakukan untuk mengetahui kekuatan lentur (bending strength) statis. Pengujian berdasarkan BS-373:1957. Pengujian keteguhan lentur statis dilakukan dengan memberikan beban tunggal di tengah bentang (centre loading) tegak lurus arah serat menggunakan alat uji mekanis merk Instron pada jarak sangga 28 cm (Gambar 4). Data yang diperoleh berupa beban dan defleksi yang terjadi. Beban maksimum diperoleh sampai contoh uji mengalami kerusakan. Hasil pengujian ini dapat ditentukan besarnya Modulus of Elasticity (MOE)dan Modulus of Rupture (MOR).
Gambar 4 Alat uji mekanis merk Instron.
Besarnya nilai Modulus of Elastisity (MOE) dan Modulus of Rupture
(MOR) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut :
Keterangan :
MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm2) MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2)
Δ P = Perubahan beban yang terjadi di bawah batas proporsi (kg)
P = Beban maksimum pada saat contoh uji mengalami kerusakan (Kg) L = Panjang bentang (cm)
Δ y = Perubahan defleksi akibat beban (cm) B = Lebar penampang contoh uji (cm) H = Tebal penampang contoh uji (cm)
(38)
3.5 Analisis Data
Analisis data untuk pengujian keterawetan kayu pada penelitian ini adalah analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yakni jenis kayu (kecapi, rambutan, nangka) dan metode pengawetan. Setiap perlakuan terdiri dari tiga kali ulangan. Model persamaan yang digunakan sebagai berikut:
Yijk= μ + Ai+ Bj+ (AB)ij+ Cij
Keterangan:
Yijk = Respon percobaan pada unit percobaan yang dikenai perlakuan ke-I
dan ulangan ke-j
μ = Rata-rata umum
Ai = Pengaruh perlakuan ke-i
Bj = Pengaruh perlakuan ke-j
ABij = Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan ke-I dan perlakuan ke-j Cij = Galat percobaan
Data yang diperoleh diolah dengan program MS Excel dan SAS 9.1. Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang digunakan, maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis ragam kemudian diuji lanjut dengan menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).
(39)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keterawetan Kayu
4.1.1 Retensi Bahan Pengawet
Keberhasilan pengawetan kayu ditentukan oleh tinggi rendahnya retensi bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Rata-rata nilai retensi bahan pengawet pada berbagai perlakuan pengawetan pada kayu kecapi, kayu rambutan, dan kayu nangka disajikan pada Gambar 5, sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 5 memuat hasil analisis sidik ragamnya.
Kayu rambutan memiliki nilai retensi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu kecapi maupun kayu nangka hampir di semua perlakuan pengawetan, sehingga dapat dikatakan kayu rambutan memiliki sifat keterawetan yang lebih baik. Hasil analisis ragam menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap retensi bahan pengawet. Jenis kayu berpengaruh terhadap keterawetan kayu karena setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi yang beragam. Struktur anatomi penyusun kayu daun lebar yang mempengaruhi retensi bahan pengawet adalah sel pembuluh, sel serabut, sel parenkim, sel trakeida, dan sel ephitel (Pandit & Kurniawan 2008).
Pengawetan rendaman panas-dingin dengan lama perendaman 24 dan 48 jam menghasilkan retensi bahan pengawet yang lebih tinggi dibandingkan dengan rendaman dingin pada ketiga jenis kayu. Hal tersebut diduga perendaman panas mempengaruhi retensi masuknya bahan pengawet. Menurut Nandika et al. (1996), tujuan pemanasan pada metode rendaman panas-dingin berfungsi untuk mengeluarkan udara dan uap air dari rongga sel kayu. Sedangkan pendinginan menyebabkan seolah-olah terjadi vakum dalam rongga sel kayu yang dengan sendirinya menarik larutan bahan pengawet masuk. Untuk mengatasi kevakuman ini, tekanan udara cenderung menghisap bahan pengawet masuk ke dalam kayu.
(40)
Gambar 5 Nilai retensi (kg/m3) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman
panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c).
Pada pengawetan rendaman dingin maupun rendaman panas-dingin selama 48 jam dibandingkan dengan perendaman 24 jam. Pada pengawetan rendaman panas-dingin 24 jam digunakan perendaman panas selama 4 dan 8 jam. Peningkatan lama rendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi sekitar hampir 1,5 kalinya pada suhu 50 ºC, dan sekitar 1,25 kalinya terjadi pada suhu 75 ºC. Sedangkan pada perendaman panas-dingin 48 jam, peningkatan lama perendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi sekitar 1,25 kali pada suhu 50 ºC dan hampir 1,5 kali pada suhu 75 ºC. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abdurrohim dan Martawijaya (1983) semakin lama perendaman panas maka retensi bahan pengawet semakin besar. Panas dapat meningkatkan permeabilitas membran noktah sehingga pergerakan larutan pengawet lebih mudah menembus ke dalam kayu.
Peningkatan suhu pada proses pengawetan rendaman panas-dingin juga mempengaruhi retensi bahan pengawet. Peningkatan suhu dari 50 ºC menjadi 75 ºC menyebabkan peningkatan retensi sekitar hampir 1,5 kali pada perendaman panas 4 jam yang dilanjutkan perendaman dingin 20 jam yang selanjutnya akan ditulis rendaman panas-dingin 4/20 jam dan sekitar 1,5 kali pada perendaman
(41)
panas-dingin 4/44 jam. Adapun pada perendaman panas-dingin 8/16 jam mengalami peningkatan retensi sekitar 1,25 kali sedangkan pada perendaman panas dingin 8/40 jam peningkatan retensi pengawetan sekitar hampir 2 kali. Tabel 5 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan
terhadap retensi bahan pengawet.
Sumber Keragaman DF Anova SS Mean Square F
value
Pr > F
Jenis Kayu *** 2 223,8318582 111,9159291 141,55 <,0001
Pengawetan *** 9 239,5349874 26,6149986 33,66 <,0001
Jenis Kayu_Pengawetan *** 18 88,7461045 4,9303391 6,24 <,0001
Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata
Metode pengawetan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai retensi bahan pengawet, demikian pula halnya jenis kayu (Tabel 5). Selain itu interaksi antara jenis kayu dan metode pengawetan juga berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kayu rambutan, kayu kecapi, dan kayu nangka memberikan nilai retensi yang berbeda nyata hampir di semua perlakuan pengawetan, sedangkan untuk metode pengawetan rendaman panas-dingin nilai retensinya berbeda nyata dengan rendaman dingin. Pada lama perendaman yang sama dengan suhu yang berbeda nilai retensinya berbeda nyata hampir di sebagian besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu, sedangkan pada suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut menghasilkan nilai retensi tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran 8.
Nilai retensi yang dicapai dalam penelitian ini belum sepenuhnya memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi sebesar 8 kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sedangkan retensi yang dicapai dalam penelitian ini hanya berkisar antara 3,435-5,950 kg/m3 untuk kayu kecapi; 3,921-12,488 kg/m3 untuk kayu rambutan; dan 1,853-3,782 kg/m3 untuk kayu nangka. Hanya kayu rambutan dengan perendaman panas-dingin selama 8/40 jam suhu 75 °C saja yang memenuhi standar dengan nilai retensi 12,488 kg/m3.
Produsen pengawet Diffusol CB juga merekomendasikan retensi kayu sebesar 5-8 kg/m3. Dari rekomendasi tersebut hanya kayu rambutan yang sebagian besar masuk ke dalam standar. Artinya kayu kecapi dan kayu nangka termasuk
(42)
dalam kayu yang sulit diawetkan sehingga perlu dilakukan perlakuan metode pengawetan lain seperti vakum tekan. Seperti yang diungkapkan oleh Batubara (2006) bahwa sifat keterawetan kayu dapat digunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu jenis kayu. Jenis kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat keterawetan rendah harus diawetkan dengan proses vakum tekan dan mungkin pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga bahan pengawet lebih mudah untuk masuk ke dalam kayu.
4.1.2 Penetrasi Bahan Pengawet 4.1.2.1Penetrasi boron
Penetrasi atau masuknya bahan pengawet ke dalam kayu menjadi salah satu indikator keberhasilan proses pengawetan, semakin dalam bahan pengawet yang masuk maka keterawetannya semakin baik. Rata-rata nilai penetrasi boron dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka pada berbagai perlakuan perendaman bahan pengawet disajikan pada Gambar 6. Sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 6 memuat hasil analisis sidik ragamnya.
Kayu kecapi memiliki nilai penetrasi boron yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu rambutan maupun kayu nangka hampir di semua perlakuan pengawetan, sehingga dapat dikatakan kayu kecapi memiliki sifat keterawetan yang lebih baik dibandingkan kayu rambutan maupun kayu nangka. Dari data yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian Martawijaya dan Barly (1982) keterawetan kayu kecapi tergolong ke dalam kelas sedang, kayu rambutan tergolong ke dalam kelas sukar, dan kayu nangka tergolong ke dalam kelas sangat sukar.
Hasil analisis ragam menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi boron. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Martawijaya dan Abdurrohim (1983) bahwa jenis kayu berpengaruh terhadap penetrasi karena setiap jenis mempunyai struktur anatomi yang beragam, bahkan keragaman ini tidak hanya antar jenis kayu yang berlainan saja, tetapi juga dapat terjadi antar bagian dari suatu jenis kayu yang sama.
(43)
Gambar 6 Nilai penetrasi boron (mm) bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman
panas/dingin 4/20…8/40 dan variasi suhu 50 °C/ 30 °C (a), 30 °C (b), dan 75 °C (c).
Nilai penetrasi boron tertinggi dihasilkan pada pengawetan perendaman panas-dingin dibandingkan dengan pengawetan rendaman dingin pada perendaman total 24 dan 48 jam pada ketiga jenis kayu. Hal ini menunjukkan bahwa rendaman panas berpengaruh terhadap seberapa dalam masuknya bahan pengawet
Pada perendaman panas-dingin selama 24 jam peningkatan lama perendaman panas dari 4 jam menjadi 8 jam meningkatkan nilai penetrasi boron sekitar 1,25 kali pada suhu 50 °C dan 1,5 kali pada suhu 75 °C. Sedangkan pada perendaman panas-dingin 48 jam peningkatan lama perendaman panas dari 4 jam menjadi 8 jam mengalami peningkatkan nilai penetrasi boron sekitar 1,5 kali baik suhu 50 °C maupun 75 °C. Percobaan pengawetan kayu dengan metode rendaman panas-dingin telah dilakukan oleh Martawijaya dan Supriana (1973) dan hasilnya menunjukkan bahwa pada umumnya perpanjangan waktu rendaman panas menyebabkan kenaikkan penetrasi.
Perlakuan suhu pada proses pengawetan rendaman panas-dingin juga mempengaruhi penetrasi boron. Peningkatan suhu rendaman panas dari 50 ºC
(44)
menjadi 75 ºC cenderung menyebabkan peningkatan penetrasi boron sekitar 1,25 kali baik pada rendaman panas dingin 4/20, 4/44, 8/16 dan 8/40 jam.
Tabel 6 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi boron
Sumber Keragaman DF Anova SS Mean Square F
value
Pr > F
Jenis Kayu *** 2 165,6125000 82,8062500 67,67 <,0001
Pengawetan *** 9 262,6972222 29,1885802 23,85 <,0001
Jenis Kayu_Pengawetan ** 18 58,8736111 3,2707562 2,67 0,0023
Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata
Metode pengawetan dan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap nilai penetrasi boron. Selain itu interaksi antara jenis kayu dan metode pengawetan juga berpengaruh nyata. Hasil Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi boron dalam kayu kecapi dan kayu rambutan tidak berbeda nyata pada sebagian besar perlakuan pengawetan, sedangkan penetrasi dalam kayu nangka berbeda nyata pada kedua kayu tersebut. Pada metode rendaman panas-dingin nilai penetrasi boronnya berbeda nyata dibandingkan dalam rendaman dingin. Pada lama perendaman yang sama dengan suhu yang berbeda nilai penetrasinya tidak berbeda nyata hampir disebagian besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu, dan pada suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut nilai penetrasi boronnya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran 9.
Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi kayu yang akan digunakan di bawah atap dan di luar atap yaitu sebesar 5 mm. Kayu kecapi pada perendaman panas-dingin sebagian besar memenuhi standar penetrasi disetiap perlakuan perendaman. Pada kayu rambutan hanya pada perendaman panas-dingin selama 4/20 jam suhu 50 °C saja yang tidak masuk standar penetrasi namun perlakuan panas-dingin lainnya masuk ke dalam standar SNI 03-5010.1-1999. Sedangkan untuk kayu nangka tidak ada yang masuk ke dalam standar penetrasi di setiap perlakuan panas-dinginnya. Hal tersebut diduga struktur anatomi dan sifat kimia berpengaruh terhadap masuknya bahan pengawet. Menurut Hunt dan Garrat (1967) salah satu sifat anatomi yang dapat mempengaruhi masuknya bahan pengawet pada kayu nangka adalah tilosis. Tilosis diduga dapat menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam kayu,
(1)
Lampiran 11 Uji lanjut Duncan nilai MOE terhadap pengaruh jenis kayu dan metode
pengawetan.
The SAS System 00:45 Thursday, February 17, 2005 1
The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values
ul 3 1 2 3 jenis 3 A1 A2 A3
pengawetan 10 P1 P10 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Number of Observations Read 91 Number of Observations Used 90
The SAS System 00:45 Thursday, February 17, 2005 2
The ANOVA Procedure Dependent Variable: moe
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 29 32024072491 1104278362 7.74 <.0001
Error 60 8562918850 142715314 Corrected Total 89 40586991341
R-Square Coeff Var Root MSE moe Mean 0.789023 13.74167 11946.35 86935.22 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F
jenis 2 24130816415 12065408208 84.54 <.0001
pengawetan 9 6261426173 695714019 4.87 <.0001
jenis*pengawetan 18 1631829903 90657217 0.64 0.8571
(2)
Duncan Grouping Mean N jenis A 109034 30 A2 B 81878 30 A1 C 69893 30 A3
The SAS System 00:45 Thursday, February 17, 2005 4
The ANOVA Procedure
Duncan's Multiple Range Test for moe NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 60 Error Mean Square 1.4272E8
Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Critical Range 11265 11850 12237 12518 12734 12907 13050 13169 13271
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N pengawetan
A 102643 9 P1 A
B A 96456 9 P2 B A
B A C 91935 9 P3 B A C
B A C 91056 9 P4 B C
B C 87286 9 P7 B C
B D C 84559 9 P9 D C
D C 82755 9 P5 D C
D C 79993 9 P8 D C
D C 79516 9 P6 D
(3)
Lampiran 12 Uji lanjut Duncan nilai MOR terhadap pengaruh jenis kayu dan metode
pengawetan.
The SAS System 00:51 Thursday, February 17, 2005 1
The ANOVA Procedure Class Level Information Class Levels Values
ul 3 1 2 3 jenis 3 A1 A2 A3
pengawetan 10 P1 P10 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9
Number of Observations Read 91 Number of Observations Used 90
The SAS System 00:51 Thursday, February 17, 2005 2
The ANOVA Procedure Dependent Variable: mor
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 29 250185.0343 8627.0701 4.01 <.0001
Error 60 129027.1117 2150.4519 Corrected Total 89 379212.1460
R-Square Coeff Var Root MSE mor Mean 0.659750 17.46063 46.37296 265.5859 Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F jenis 2 184812.2604 92406.1302 42.97 <.0001 pengawetan 9 44555.1281 4950.5698 2.30 0.0270 jenis*pengawetan 18 20817.6458 1156.5359 0.54 0.9277
(4)
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jenis
A 329.63 30 A2 B 235.62 30 A3 B
B 231.51 30 A1
The SAS System 00:51 Thursday, February 17, 2005 4
The ANOVA Procedure
Duncan's Multiple Range Test for mor NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 60 Error Mean Square 2150.452
Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Critical Range 43.73 46.00 47.50 48.59 49.43 50.10 50.66 51.12 51.52
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N pengawetan A 304.35 9 P1
A
B A 294.23 9 P2 B A
B A C 280.15 9 P9 B A C
B A C 276.02 9 P3 B A C
B A C 265.98 9 P4 B A C
B A C 261.65 9 P5 B A C
B A C 255.22 9 P8 B C
B C 248.67 9 P7 C
C 235.58 9 P10 C
(5)
Preservative Treatability and Mechanical
Properties of Kecapi, Rambutan, and
Nangka Woods Preserved with Hot and Cold
Soaking of Diffusol CB
Nur Aisyah K
1, Trisna Priadi
2INTRODUCTION :
Various types of wood from the forests and lands owned by
community, hopefully can be used as commercial timbers for constructions or
furnitures. However, it should be supported by technology that can improve the
properties of woods, one of them is preservation which makes wood more
resistant to biodeterioration. The objective of this research was to determine the
effect of temperatures and periods of soaking on the retention and penetration of
preservative Diffusol CB and their influence to the mechanical properties of
kecapi wood (
Sandoricum koetjape
), rambutan wood (
Nephelium lappaceum
), and
nangka wood (
Arthocarpus heterophyllus
).
METHOD :
In this research mechanical properties and preservative treatibility of
kecapi wood, rambutan wood, and nangka wood were tested. Cold soaking and
hot-cold soaking preservation methods were applied using Diffusol CB 5% to the
wood samples. The cold soaking method use 24 and 48 hours periods with 30°C
temperature, while hot-cold preservation method use 24 and 48 hours total
soaking periode including 4 and 8 hours hot soaking prior to the cold soaking. The
temperature of hot soaking were 50 °C and 75 °C. Data were analyzed using
Complete Randomized Design (CRD) two factors, one factor was the type of
wood and B factor was preservation methods.
RESULT :
This research showed that the hot-cold soaking methods resulted in
highly retention and penetration about 2-3 times compared to the cold soaking
method. The highest retention found in rambutan wood, while the highest
penetration of boron and copper occured in kecapi wood. The 48 hours soaking
periods increased the retention and penetration nearly 2 times compared to the 24
hours soaking period. The increase of hot soaking periods 4 to 8 hours caused the
increase of retension and penetrasion of boron and copper about 1,25 to 1,5 times.
While the increase of temperature from 50 °C to 75 °C raised the retention and
penetration of boron and copper about 1,25-2 times. Preservation 8 hours hot
soaking and 40 hours cold soaking at 75 °C met the wood preservatives ISO
03-5010.1-1999 standard retension and penetrasion. In this research the increase of
soaking times and temperature didn’t significantly in
fluence wood mechanical
properties (MOE and MOR).
KEYWORDS :
kecapi wood, rambutan wood, nangka wood, preservative
treatability, mechanical properties, Diffusol CB
1
.Student of Forest Products Departement, Faculty of Forestry IPB
2
.Faculty member, Faculty of Forestry IPB
(6)