Retensi Bahan Pengawet Keterawetan Kayu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterawetan Kayu

4.1.1 Retensi Bahan Pengawet

Keberhasilan pengawetan kayu ditentukan oleh tinggi rendahnya retensi bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Rata-rata nilai retensi bahan pengawet pada berbagai perlakuan pengawetan pada kayu kecapi, kayu rambutan, dan kayu nangka disajikan pada Gambar 5, sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 5 memuat hasil analisis sidik ragamnya. Kayu rambutan memiliki nilai retensi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu kecapi maupun kayu nangka hampir di semua perlakuan pengawetan, sehingga dapat dikatakan kayu rambutan memiliki sifat keterawetan yang lebih baik. Hasil analisis ragam menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap retensi bahan pengawet. Jenis kayu berpengaruh terhadap keterawetan kayu karena setiap jenis kayu mempunyai struktur anatomi yang beragam. Struktur anatomi penyusun kayu daun lebar yang mempengaruhi retensi bahan pengawet adalah sel pembuluh, sel serabut, sel parenkim, sel trakeida, dan sel ephitel Pandit Kurniawan 2008. Pengawetan rendaman panas-dingin dengan lama perendaman 24 dan 48 jam menghasilkan retensi bahan pengawet yang lebih tinggi dibandingkan dengan rendaman dingin pada ketiga jenis kayu. Hal tersebut diduga perendaman panas mempengaruhi retensi masuknya bahan pengawet. Menurut Nandika et al. 1996, tujuan pemanasan pada metode rendaman panas-dingin berfungsi untuk mengeluarkan udara dan uap air dari rongga sel kayu. Sedangkan pendinginan menyebabkan seolah-olah terjadi vakum dalam rongga sel kayu yang dengan sendirinya menarik larutan bahan pengawet masuk. Untuk mengatasi kevakuman ini, tekanan udara cenderung menghisap bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Gambar 5 Nilai retensi kgm 3 bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panasdingin 420…840 dan variasi suhu 50 °C 30 °C a, 30 °C b, dan 75 °C c. Pada pengawetan rendaman dingin maupun rendaman panas-dingin selama 48 jam dibandingkan dengan perendaman 24 jam. Pada pengawetan rendaman panas-dingin 24 jam digunakan perendaman panas selama 4 dan 8 jam. Peningkatan lama rendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi sekitar hampir 1,5 kalinya pada suhu 50 ºC, dan sekitar 1,25 kalinya terjadi pada suhu 75 ºC. Sedangkan pada perendaman panas-dingin 48 jam, peningkatan lama perendaman panas tersebut menyebabkan peningkatan retensi sekitar 1,25 kali pada suhu 50 ºC dan hampir 1,5 kali pada suhu 75 ºC. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Abdurrohim dan Martawijaya 1983 semakin lama perendaman panas maka retensi bahan pengawet semakin besar. Panas dapat meningkatkan permeabilitas membran noktah sehingga pergerakan larutan pengawet lebih mudah menembus ke dalam kayu. Peningkatan suhu pada proses pengawetan rendaman panas-dingin juga mempengaruhi retensi bahan pengawet. Peningkatan suhu dari 50 ºC menjadi 75 ºC menyebabkan peningkatan retensi sekitar hampir 1,5 kali pada perendaman panas 4 jam yang dilanjutkan perendaman dingin 20 jam yang selanjutnya akan ditulis rendaman panas-dingin 420 jam dan sekitar 1,5 kali pada perendaman panas-dingin 444 jam. Adapun pada perendaman panas-dingin 816 jam mengalami peningkatan retensi sekitar 1,25 kali sedangkan pada perendaman panas dingin 840 jam peningkatan retensi pengawetan sekitar hampir 2 kali. Tabel 5 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap retensi bahan pengawet. Sumber Keragaman DF Anova SS Mean Square F value Pr F Jenis Kayu 2 223,8318582 111,9159291 141,55 ,0001 Pengawetan 9 239,5349874 26,6149986 33,66 ,0001 Jenis Kayu_Pengawetan 18 88,7461045 4,9303391 6,24 ,0001 Keterangan : = tidak nyata ; = nyata ; = sangat nyata Metode pengawetan berpengaruh sangat nyata terhadap nilai retensi bahan pengawet, demikian pula halnya jenis kayu Tabel 5. Selain itu interaksi antara jenis kayu dan metode pengawetan juga berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kayu rambutan, kayu kecapi, dan kayu nangka memberikan nilai retensi yang berbeda nyata hampir di semua perlakuan pengawetan, sedangkan untuk metode pengawetan rendaman panas-dingin nilai retensinya berbeda nyata dengan rendaman dingin. Pada lama perendaman yang sama dengan suhu yang berbeda nilai retensinya berbeda nyata hampir di sebagian besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu, sedangkan pada suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut menghasilkan nilai retensi tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran 8. Nilai retensi yang dicapai dalam penelitian ini belum sepenuhnya memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi sebesar 8 kgm 3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kgm 3 untuk penggunaan di luar atap. Sedangkan retensi yang dicapai dalam penelitian ini hanya berkisar antara 3,435- 5,950 kgm 3 untuk kayu kecapi; 3,921-12,488 kgm 3 untuk kayu rambutan; dan 1,853-3,782 kgm 3 untuk kayu nangka. Hanya kayu rambutan dengan perendaman panas-dingin selama 840 jam suhu 75 °C saja yang memenuhi standar dengan nilai retensi 12,488 kgm 3 . Produsen pengawet Diffusol CB juga merekomendasikan retensi kayu sebesar 5-8 kgm 3 . Dari rekomendasi tersebut hanya kayu rambutan yang sebagian besar masuk ke dalam standar. Artinya kayu kecapi dan kayu nangka termasuk dalam kayu yang sulit diawetkan sehingga perlu dilakukan perlakuan metode pengawetan lain seperti vakum tekan. Seperti yang diungkapkan oleh Batubara 2006 bahwa sifat keterawetan kayu dapat digunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu jenis kayu. Jenis kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat keterawetan rendah harus diawetkan dengan proses vakum tekan dan mungkin pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga bahan pengawet lebih mudah untuk masuk ke dalam kayu.

4.1.2 Penetrasi Bahan Pengawet