Penetrasi boron Penetrasi Bahan Pengawet

dalam kayu yang sulit diawetkan sehingga perlu dilakukan perlakuan metode pengawetan lain seperti vakum tekan. Seperti yang diungkapkan oleh Batubara 2006 bahwa sifat keterawetan kayu dapat digunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu jenis kayu. Jenis kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat keterawetan rendah harus diawetkan dengan proses vakum tekan dan mungkin pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga bahan pengawet lebih mudah untuk masuk ke dalam kayu.

4.1.2 Penetrasi Bahan Pengawet

4.1.2.1 Penetrasi boron

Penetrasi atau masuknya bahan pengawet ke dalam kayu menjadi salah satu indikator keberhasilan proses pengawetan, semakin dalam bahan pengawet yang masuk maka keterawetannya semakin baik. Rata-rata nilai penetrasi boron dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka pada berbagai perlakuan perendaman bahan pengawet disajikan pada Gambar 6. Sedangkan rekapitulasi hasil pengukuran disajikan pada Lampiran 1. Tabel 6 memuat hasil analisis sidik ragamnya. Kayu kecapi memiliki nilai penetrasi boron yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kayu rambutan maupun kayu nangka hampir di semua perlakuan pengawetan, sehingga dapat dikatakan kayu kecapi memiliki sifat keterawetan yang lebih baik dibandingkan kayu rambutan maupun kayu nangka. Dari data yang didapatkan ini sesuai dengan penelitian Martawijaya dan Barly 1982 keterawetan kayu kecapi tergolong ke dalam kelas sedang, kayu rambutan tergolong ke dalam kelas sukar, dan kayu nangka tergolong ke dalam kelas sangat sukar. Hasil analisis ragam menunjukkan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi boron. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Martawijaya dan Abdurrohim 1983 bahwa jenis kayu berpengaruh terhadap penetrasi karena setiap jenis mempunyai struktur anatomi yang beragam, bahkan keragaman ini tidak hanya antar jenis kayu yang berlainan saja, tetapi juga dapat terjadi antar bagian dari suatu jenis kayu yang sama. Gambar 6 Nilai penetrasi boron mm bahan pengawet dalam kayu kecapi, kayu rambutan dan kayu nangka dengan variasi waktu rendaman panasdingin 420…840 dan variasi suhu 50 °C 30 °C a, 30 °C b, dan 75 °C c. Nilai penetrasi boron tertinggi dihasilkan pada pengawetan perendaman panas-dingin dibandingkan dengan pengawetan rendaman dingin pada perendaman total 24 dan 48 jam pada ketiga jenis kayu. Hal ini menunjukkan bahwa rendaman panas berpengaruh terhadap seberapa dalam masuknya bahan pengawet Pada perendaman panas-dingin selama 24 jam peningkatan lama perendaman panas dari 4 jam menjadi 8 jam meningkatkan nilai penetrasi boron sekitar 1,25 kali pada suhu 50 °C dan 1,5 kali pada suhu 75 °C. Sedangkan pada perendaman panas-dingin 48 jam peningkatan lama perendaman panas dari 4 jam menjadi 8 jam mengalami peningkatkan nilai penetrasi boron sekitar 1,5 kali baik suhu 50 °C maupun 75 °C. Percobaan pengawetan kayu dengan metode rendaman panas-dingin telah dilakukan oleh Martawijaya dan Supriana 1973 dan hasilnya menunjukkan bahwa pada umumnya perpanjangan waktu rendaman panas menyebabkan kenaikkan penetrasi. Perlakuan suhu pada proses pengawetan rendaman panas-dingin juga mempengaruhi penetrasi boron. Peningkatan suhu rendaman panas dari 50 ºC menjadi 75 ºC cenderung menyebabkan peningkatan penetrasi boron sekitar 1,25 kali baik pada rendaman panas dingin 420, 444, 816 dan 840 jam. Tabel 6 Analisis sidik ragam pengaruh jenis kayu dan metode pengawetan terhadap penetrasi boron Sumber Keragaman DF Anova SS Mean Square F value Pr F Jenis Kayu 2 165,6125000 82,8062500 67,67 ,0001 Pengawetan 9 262,6972222 29,1885802 23,85 ,0001 Jenis Kayu_Pengawetan 18 58,8736111 3,2707562 2,67 0,0023 Keterangan : = tidak nyata ; = nyata ; = sangat nyata Metode pengawetan dan jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap nilai penetrasi boron. Selain itu interaksi antara jenis kayu dan metode pengawetan juga berpengaruh nyata. Hasil Uji Lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai penetrasi boron dalam kayu kecapi dan kayu rambutan tidak berbeda nyata pada sebagian besar perlakuan pengawetan, sedangkan penetrasi dalam kayu nangka berbeda nyata pada kedua kayu tersebut. Pada metode rendaman panas-dingin nilai penetrasi boronnya berbeda nyata dibandingkan dalam rendaman dingin. Pada lama perendaman yang sama dengan suhu yang berbeda nilai penetrasinya tidak berbeda nyata hampir disebagian besar perlakuan pengawetan rendaman panas-dingin pada ketiga jenis kayu, dan pada suhu yang sama dengan peningkatan lama perendaman tersebut nilai penetrasi boronnya tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan disajikan pada Lampiran 9. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi kayu yang akan digunakan di bawah atap dan di luar atap yaitu sebesar 5 mm. Kayu kecapi pada perendaman panas-dingin sebagian besar memenuhi standar penetrasi disetiap perlakuan perendaman. Pada kayu rambutan hanya pada perendaman panas- dingin selama 420 jam suhu 50 °C saja yang tidak masuk standar penetrasi namun perlakuan panas-dingin lainnya masuk ke dalam standar SNI 03-5010.1- 1999. Sedangkan untuk kayu nangka tidak ada yang masuk ke dalam standar penetrasi di setiap perlakuan panas-dinginnya. Hal tersebut diduga struktur anatomi dan sifat kimia berpengaruh terhadap masuknya bahan pengawet. Menurut Hunt dan Garrat 1967 salah satu sifat anatomi yang dapat mempengaruhi masuknya bahan pengawet pada kayu nangka adalah tilosis. Tilosis diduga dapat menghambat masuknya bahan pengawet ke dalam kayu, karena tilosis dapat mengurangi permeabilitas sel-sel pembuluh atau bahkan menutup sama sekali saluran-saluran di dalam kayu terhadap aliran cairan bahan pengawet. Selain itu, adanya getah-getah dan benda-benda asing lainnya dalam kaitannya dengan tilosis juga cenderung untuk menutup sel-sel pembuluh yang ada di dalam kayu. Kayu rambutan menghasilkan retensi yang paling tinggi tetapi menghasilkan penetrasi boron yang lebih rendah dibandingkan kayu kecapi. Hal tersebut diduga karena bahan pengawet pada kayu rambutan hanya masuk di sekitar bagian permukaan atas. Penelitian ini membuktikan bahwa tidak selamanya retensi tinggi menyebabkan penetrasi lebih dalam. Hal ini sesuai dengan Hunt dan Garrat 1986 yang menyatakan bahwa retensi tidak berkorelasi dengan penetrasi.

4.1.2.2 Penetrasi tembaga