Menurut Isrianto 2007 dalam Nurmawan 2011, kayu nangka memiliki berat jenis maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat
jenis rata-rata 0,61 sehingga masuk ke dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan struktural. Kayu nangka dapat
digunakan untuk pembuatan meubel, konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, dayung, perkakas, dan alat musik. Di jawa banyak digunakan sebagai tiang
bangunan, kentongan, dan lesung.
2.1.3 Kayu Kecapi Sandoricum koetjape
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan, tingginya dapat mencapai 25
– 30 m dengan diameter 70 – 90 cm, di Jawa tumbuh di bawah 1000 m di atas permukaan laut dan ditanam oleh penduduk. Kayu kecapi mempunyai
kayu teras berwarna putih-kelabu sampai cokelat muda, gambar polos, dan tektur agak kasar Mandang 2005. Menurut Martawijaya et al. 1983 kayu ini
mempunyai BJ 0,29-0,59 dengan kelas awet IV – V, dan kelas kuat III – IV .
Kayunya dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, untuk perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya Verbeij Coronel dalam
Nurmawan 2011. Taksonomi untuk kecapi adalah sebagai berikut Anonim
2011: Kerajaan
: Plantae Divisi
: Magnoliophyta Kelas
: Magnoliopsida Ordo
: Sapindales Famili
: Meliaceae Genus
: Sandoricum Species
: Sandaricum koetjape Burm.F. Merr
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kegunaan jenis kayu. Penggunaan kayu akan menjadi terbatas jika keawetannya rendah.
Salah satu kekurangan kayu adalah dapat dirusak oleh organisme hidup seperti jamur, serangga, dan binatang laut yang dapat merombak komponen utama
pembentuk kayu seperti lignin dan selulosa, serta menurunkan kekuatan kayu
Batubara 2006. Organisme tersebut merusak kayu karena menjadikan sumber makanan maupun sebagai tempat tinggalnya.
Menurut Dumanau 2001, keawetan kayu ialah daya tahan suatu jenis kayu terhadap organisme perusak yang datang dari luar kayu tersebut. Zat ekstraktif
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap keawetan alami, meskipun tidak semua zat ekstraktif kayu bersifat racun terhadap organisme perusak.
Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat Wistara et al. 2002.
Oey Djoen Seng 1951 dalam Syarif 2010, membagi kayu dalam lima kelas keawetan di Indonesia berdasarkan usia pakai kayu pada berbagai kondisi
tempat pemakaian, tanpa menyebutkan secara spesifik jenis organisme yang menyebabkan kerusakan kayu tersebut. Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia
disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu di Indonesia
No. Kondisi Tempat
Kelas Awet I
Kelas Awet II
Kelas Awet III
Kelas Awet IV
Kelas Awet V
1 Selalu berhubungan
dengan tanah 8
tahun 5 tahun
3 Tahun Sangat
pendek Sangat
pendek 2
Hanya dipengaruhi cuaca, tetapi dijaga agar
tidak terendam air dan tidak kekurangan udara
20 tahun
15 tahun 10 Tahun
Beberapa tahun
Sangat pendek
3 Di bawah atap, tidak
berhubungan dengan tanah lembab, dan tidak
kekurangan udara Tak
terbatas Tak
terbatas Sangat
Lama Beberapa
tahun Pendek
4 Seperti diatas tetapi
dipelihara dengan baik dan dicat teratur
Tak terbatas
Tak terbatas
Tak terbatas
20 tahun 20 tahun
5 Serangan rayap tanah
Tidak Jarang
Cepat Sangat
cepat Sangat
cepat 6
Serangan bubuk kayu kering
Tidak Tidak
Hampir tidak
Tidak berarti
Sangat cepat
Sumber: Oen Djoen Seng 1990 dalam Kurnia 2009
Barly 2009 menyatakan bahwa beberapa kayu tropis mempunyai keawetan alami yang tinggi, namun di Indonesia sebagian kecil saja kayu-kayu yang
mempunyai keawetan yang tinggi sehingga umur pakai kayu tersebut pendek. Dari 4000 jenis kayu yang terdapat di Indonesia diperkirakan hanya 15 sampai
20 saja yang sifat keawetannya baik, sisanya merupakan jenis-jenis yang sifat keawetannya rendah Martawijaya Barly 1982.
2.3 Keterawetan Kayu