Stabilitas emulsi S u r f a k t a n

hasil reaksi glukosa dan butanol dengan bantuan ion H + dari katalis Lueders 1989. Alkoholisis pati menjadi glikosida memerlukan kondisi yang lebih kompleks daripada glikosidasi dari D-glukosa atau transglikosidasi dari alkil glikosida sederhana. Penyebabnya adalah struktur molekul dari pati yang tersusun dari amilosa dan amilopektin yang memiliki kemampuan swelling terbatas pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik, dan berkurangnya jembatan hidrogen antar mole kul. Ikatan α1,6 glikosida pada atom karbon kedua menunjukkan kestabilan yang lebih besar daripada ikatan atom yang pertama pada alkil glikosida sederhana Lueders 2000.

2.2.2 Transasetalisasi

Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati glukosa dan alkohol rantai panjang C 8 –C 22 . Sehingga proses pengikatan glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi Wuest et al. 1992. Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi pembentukan ikatan glikosida glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi. Gugus hidrofobik pada APG diperoleh dari alkohol rantai panjang alkohol lemak. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil OH yang sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didihnya semakin tinggi. Selama proses transasetalisasi berlangsung, sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan keluar melalui proses distilasi vakum. Selama proses transasetalisasi diharapkan air yang terdapat pada bahan segera mungkin diuapkan bersamaan dengan butanol yang tidak bereaksi selama proses butanolisis. Kehadiran air dan glukosa dapat menyebabkan terbentuknya polidektrosa yang merupakan hasil samping yang tidak diinginkan dan merupakan salah satu penyebab terbentuknya warna gelap. Kondisi asam dan suhu tinggi selama sintesis alkil poliglikosida menghasilkan produk sekunder seperti polidekstrosa, dan warna kotoran. Dengan menggunakan suhu yang lebih rendah 100 O C pada proses asetalisasi menghasilkan produk sekunder yang rendah, namun waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama. Pada penggunaan suhu tinggi 120 O C dapat mempercepat pembentukan polidekstrosa dan perubahan warna pada karbohidrat. Namun hal penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu bagaimana cara untuk menghilangkan air dalam sistem reaksi dengan mengurangi tekanan. Namun air masih diperlukan dalam jumlah tertentu sekitar 0,1-0,25 untuk menghindari terjadinya dehidrasi pada glukosa yang dapat menyebabkan karamelisasi Eskuchen dan Nitsche 1997.

2.2.3 Netralisasi

Tahapan netralisasi bertujuan unutk menghentikan proses transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga mencapai pH 8 –10. Basa yang digunakan untuk proses netralisasi meliputi alkali metal, almunium salt, selain itu dapat digunakan dari anion, dari basa organik maupun inorganik seperti sodium peroksida NaOH, potasium hidroksida, kalsium hidroksida, almunium hidroksida dan sebagainya. Penggunaan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Proses penambahan dengan menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk Wuest et al. 1992. Proses netralisasi juga diperlukan karena sakarida akan lebih mudah rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang tinggi. Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat destilasi menggunakan suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat NaBH 4 yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH 4 untuk setiap 10 -20 g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses distilasi McCurry 2000. Luders 2000, mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol dengan menambahkan 0,1 sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol lemak pada suhu 180 O C, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat. Lueders 1991, melakukan penambahan arang aktif 1 –10 sebelum dan sesudah proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan sebelum proses distilasi. Namun karena sifat arang aktif yang hidrofobik maka akan mengurangi sifat nonpolar dari surfaktan Rosu 2007

2.2.4 Distilasi

Tahapan distilasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini memerlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk memisahkanmenguapkan alkohol lemak yang tidak ikut bereaksi. Proses distilasi ini dapat dilakukan pada suhu sekitar 140-180 O C dengan tekanan vakum, tergantung alkohol lemak yang digunakan. Semakin panjang rantai alkohol lemak maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Pada tahapan destilasi diharapkan memperoleh kandungan alkohol lemak sekecil mungkin pada produk APG yaitu kurang dari 5 dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi pada produk akan mengurangi efektifitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh produk surfaktan APG kasar berbentuk pasta yang berwarna kecoklatan dan berbau kurang enak. Oleh karena itu perlu dilakukan proses pemurnian untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.

2.2.5 Pemucatan bleaching

Proses pemurnian APG terdiri dari beberapa tahap yaitu : tahap netralisasi, distilasi, pelarutan dan tahap pemucatan serta isolasi produk Buchanan et al. 2000. Proses pemucatan merupakan tahapan akhir dari sintesis APG untuk menghasilkan APG dengan penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatanan dilakukan dengan menambahkan larutan H 2 O 2 dengan penambahan air dan NaOH yang dilakukan pada suhu 80-90 O C selama 30-120 menit pada tekanan normal Hill et al. 2000. Buchanan et al. 2000 menyatakan bahwa warna gelap produk surfaktan APG dapat terjadi selama proses sintesis yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Suhu pemanasan yang tinggi dan tidak terkontrol pada tahapan distilasi, sehingga menimbulkan kerusakan warna dan kegosongan pada produk yang terjadi selama distilasi. 2. Penggunaan katalis asam pada proses sintesis. Pemilihan katalis ini merupakan titik kritis terhadap warna dari produk akhir APG. 3. Turunan furan dengan warna yang gelap yang tinggi seperti furfuraldehid. Turunan furan ini dihasilkan pada proses dehidrasi monosakarida oleh katalis asam kuat. 4. Logam seperti Fe, Ca, dan Mn akan menimbulkan warna yang tidak diinginkan dalam produk APG.

2.2.6 Bahan Pemucat

Bahan pemucat bleaching agents merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan Kirk dan Othmer 1985. Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi dua macam pemucatan, yaitu pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan reaksi reduksi. Pemucatan dengan menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keunggulan penggunaan bahan kimia sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna diubah menjadi zat yang tidak berwarna yang tetap tinggal dalam produk Djatmiko dan Ketaren 1985 Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucatpemutih disebut bleaching agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO 4 , TiO 2 , dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida H 2 O 2 yang cukup kuat. Hidrogen peroksida H 2 O 2 tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam air. Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Hidrogen peroksida biasa digunakan sebagai bleaching agent pada industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa dipakai pada proses pengolahan limbah cair, industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika pembuatan PCB. Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi H 2 O 2 . Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan konsentrasi 30 Buchanan et al. 1998. Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi. Hidrogen peroksida dalam kondisi asam sangat stabil, sedangkan pada kondisi basa sangat mudah terurai. Peruraian hidrogen peroksida juga dipercepat dengan naiknya suhu. Zat reaktif dalam sistem pemucatan dengan hidrogen peroksida dalam suasana basa yaitu anion perhidroksil HOO - . Anion yang terbentuk berasal dari penambahan alkali dan terjadi reaksi sebagai berikut : H 2 O 2 + HO - ↔ HOO - + H 2 O Ion HOO - inilah yang mempunyai peran aktif didalam proses pemutihan. Namun jika terdapat logam transisi seperti Fe, Mn, Mg dan Cu, dekomposisi hidrogen peroksida dalam larutan basa berlangsung menurut reaksi berikut :