Morfologi Kepiting Bakau Habitat dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau
Sebagai pemakan bangkai mereka mudah tertangkap dengan perangkap berumpan baik dalam penangkapan komersial maupun rekreasional Hill 2007. Kepiting
bakau adalah pemakan bangkai yang rakus voracious scavenger, yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang keruh dan berhutan
bakau. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai oportunistik opportunistic scavenger Webley 2008. Garthe et al. 1996 menyatakan berbagai hewan
karnivora dan omnivora akan segera memangsa bangkai segar begitu mereka menemukannya karena ini merupakan sumber nutrisi yang setara dengan mangsa
yang biasa mereka tangkap dalam kondisi hidup. Ketika jumlah bangkai dalam suatu ekosistem berlimpah maka kestabilan populasi opportunistic scavenger
akan lebih terjaga. Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu sit and wait strategy untuk mencari bangkai Rose dan Polis
1998 dalam Webley 2008 sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk.
Dalam perairan keruh atau gelap maka penglihatan menjadi tidak berfungsi dalam pencarian bangkai dan kemoresepsi akan lebih berfungsi seperti digunakan
oleh banyak gastropoda dan krustasea estuarin Ferner dan Weissburg 2005. Kemoresepsi adalah mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas
stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan eksternalnya yang terkait erat dengan stimulus kimiawi umpan yang
ditangkap oleh organ reseptor kepiting bakau. Hill 1978 menyatakan bahwa kemoresepsi lebih dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau.
Gambar 2 Kepiting bakau Scylla serrata Forskal 1775
Hill 1979 menyatakan bahwa kepiting bakau mencari lokasi mangsa dengan kemoresepsi dan dactyls pada kaki-kaki jalannya. Mangsa utamanya
adalah bivalvia dan kepiting-kepiting kecil. Menurut Pagcatipunan 1972; Hill 1976; Hutching dan Sesanger 1987
dalam Mulya 2000, kepiting bakau dewasa juga pemakan organisme benthos dan organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang,
cacing, dan jenis-jenis gastropoda dan krustasea. Selain itu kepiting bakau yang hidup di sekitar hutan bakau juga memakan akar-akar pohon bakau
pneumatophore. Perairan di sekitar hutan bakau sangat cocok untuk kehidupan kepiting
bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia Hill 1976 dalam Mulya 2000. Pendapat ini didukung Moosa et al. 1985 yang
menyatakan kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal dekat hutan bakau yang bersubstrat
lumpur. Di alam biasanya kepiting bakau yang lebih besar akan menyerang kepiting
yang lebih kecil dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan, selanjutnya mengambil bagian-
bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkannya untuk menyerang musuh dengan ganas atau
merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya Arriola 1940 dalam Moosa et al. 1985.
Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan, tetapi pada malam hari lebih aktif dibandingkan siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan
nokturnal yang aktif pada malam hari. Dalam hasil penelitian Almada 2001, dijelaskan bahwa waktu makan
kepiting bakau cenderung pada malam hari yaitu sekitar pukul 18.00 – 06.00
WIB. Waktu makan yang dominan yaitu pada selang waktu 18.00 – 24.00 WIB,
yang diindikasikan dengan persentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut.
Kebiasaan makan ini selanjutnya telah banyak diadopsi untuk menentukan jenis pakan dalam usaha budidaya kepiting bakau. Sivasubramaniam dan Angell,
1992, menyatakan di India umpan yang banyak diberikan adalah keong, cerithidia, dan ikan rucah. Pakan buatan justru tidak digunakan. Di Bangladesh,
umpan yang digunakan adalah potongan daging ikan hiu, ikan pari, belut, dan ikan rucah Khan dan Alam 1992. Secara konvensional pakan yang dipakai untuk
budi daya kepiting bakau pada umumnya adalah ikan rucah, kerang-kerangan, dan limbah dari pabrik pengolahan ikan Chalyakam dan Parnichsula 1978; Lijauco et
al. 1980; Bensam 1986; Marichamy et al. 1986 dalam Cheong et al. 1992.