Menurut Ong 1977 dalam Moosa et al. 1985, kepiting bakau mulai dari telur hingga dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat
perkembangan tersebut adalah zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Pada setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang yang
antara lain ditandai dengan setae renang pada endopod maxilliped-nya Warner 1977 dalam Kasry 1996. Megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering
dirujuk sebagai kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda diperlukan waktu 11
– 12 hari Motoh 1977 dalam Dianthani 2002.
2.4 Pergerakan Kepiting Bakau
Respons kepiting bakau terhadap rangsangan umpan dapat dilihat dari kecepatan pergerakan speed of movement kepiting bakau menuju umpan. Hill
1978 mengungkapkan bahwa melalui transmiter ultrasonik disimpulkan bahwa Scylla serrata selama 24 jam rata-rata aktif selama 13 jam, mayoritas pada malam
hari. Jarak yang ditempuh per malam mencapai rata-rata 461 m pada kisaran 219 m dan 910 m. Mayoritas pergerakan lambat, dengan modal speed 10
– 19 mdt. Pergerakan lambat tersebut tidak bergantung pada arah arus dan diasumsikan
berhubungan dengan contact chemoreseption terhadap lokasi mangsa. Kurang lebih sepertujuh gerakan lebih cepat daripada 70 mdt, lebih sering karena
melawan arus dan mungkin berhubungan dengan rangsang penciuman terhadap lokasi mangsa.
2.5 Teknologi Penangkapan Kepiting Bakau
Cholik dan Hanafi 1992 mengungkapkan wadong, pintur, rakkang, tangkul, dan pancing adalah alat tangkap yang banyak digunakan untuk
penangkapan kepiting bakau di Indonesia Gambar 3. Empat alat tangkap tersebut secara berurutan adalah jenis perangkap sedangkan pancing yang
digunakan adalah dengan atau tanpa hook. Semua alat tangkap tersebut menggunakan umpan bait. Ada pula alat tangkap tanpa umpan berupa batang
besi dengan ujung bengkok hooked end yang disebut cangkok.
Di Bangladesh alat tangkap kepiting bakau adalah boom bamboo trap, don angling without hook, iron hook dan scoopnet Khan dan Alam 1992.
Gambar 3 Alat tangkap kepiting bakau di Indonesia Cholik dan Hanafi 1992
2.6 Karakteritik Keong Emas
Keong mas Pomacea canaliculata Lamarck 1822 dikenal sebagai hama potensial tanaman padi. Hewan ini memiliki tingkat reproduksi tinggi, dalam
sebulan seekor keong emas mampu memproduksi 1.000 hingga 1.200 butir telur, tingkat mortalitasnya rendah, dan siklus hidupnya hanya 60 hari. Keong emas
disebut sebagai hama unggul karena memakan segala tanaman terutama tanaman padi muda dan pembibitan. Berdasar data Badan Pangan Dunia FAO pada
1989, kekurangan hasil panen padi di Filipina akibat keong emas mencapai 40 persen dari areal sawah. Di Indonesia, kerusakan tanaman padi bahkan bisa
mencapai 80 hingga 100 persen dengan kasus terjadi di hampir seluruh provinsi di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua. Penyebaran populasi spesies ini sudah
mencapai hampir seluruh wilayah Indonesia.