Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Belakangan tahun terakhir, kondisi ekonomi dunia terus bergerak fluktuatif. Krisis keuangan yang dialami di berbagai negara adidaya ikut berimbas pada kondisi ekonomi di Indonesia. Sebagai negara berkembang, pergerakan ekonomi negara lain yang lebih maju menyebabkan Indonesia mau tidak mau juga terkena dampak yang seharusnya tidak diharapkan untuk terjadi. Akibatnya, perusahaan yang berperan sebagai salah satu penggerak ekonomi sudah pasti harus menanggung resiko kesulitan keuangan. Salah satu jenis perusahaan yang terkena dampak kesulitan keuangan tersebut adalah perusahaan jasa. Tidak sedikit perusahaan jasa yang terkena dampak tersebut, banyak perusahaan level mikro hingga makro yang mengalami kerugian besar dan tidak sedikit pula perusahaan yang collapse hingga tidak bisa melanjutkan usahanya. Ketidakmenentuan kondisi dunia usaha yang dipengaruhi berbagai faktor seperti politik, ekonomi, maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berdampak pada langkah manajemen suatu perusahaan agar tetap dapat mempertahankan eksistensinya dalam hal kelangsungan hidup perusahaan going concern. Padahal perusahaan didirikan dengan tujuan memiliki kelangsungan hidup untuk jangka panjang. Kondisi dan peristiwa yang dialami suatu perusahaan dapat memberikan indikasi-indikasi tentang kelangsungan usaha going concern perusahaan tersebut Foroghi, 2012. 2 Kapabilitas dalam suatu manajemen akan menentukan kelangsungan hidup perusahaan yang dikelolanya. Manajemen selalu berusaha mencari cara agar perusahaannya dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan agar berada pada posisi yang menguntungkan. Hal tersebut dilakukan pihak manajemen agar dapat menarik minat para investor atau nasabah untuk mentitipkan dananya di perusahaan karena merasa aman untuk melakukan investasi. Tetapi tak jarang dalam prosesnya terdapat kepentingan pribadi yang berimbas pada munculnya praktik-praktik curang yang dilakukan pihak manajemen. Ketika terjadi ketidaksesuaian antara kondisi perusahaan yang sebenarnya dengan hasil laporan audit perusahaan, maka pihak yang pertama kali disalahkan adalah pihak manajemen baru kemudian auditor. Oleh karena itu, dibutuhkan pihak ketiga auditor yang independen sebagai mediator pada hubungan prinsipal dengan agen. Pihak ketiga ini berfungsi memonitor perilaku manajer agen apakah sudah bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan perusahaan jasa, salah satu jenis sektor yang bergerak dalam bidang jasa adalah sektor industri perbankan. Walaupun masih banyak jenis sektor lain yang juga bergerak di bidang jasa, tetapi sebagai salah satu contoh kasus dapat kita lihat pada kasus yang terjadi di sektor industri perbankan. Tentu masih kita ingat pada beberapa tahun belakangan, perekonomian Indonesia khususnya di sektor perbankan mengalami guncangan dari kasus yang cukup serius yaitu skandal keuangan PT. Bank Century Tbk.. Skandal besar Bank Century hingga saat ini masih 3 menjadi sebuah masalah yang gawat bagi stabilitas ekonomi negara ini. Kasus tersebut bermula dari penemuan surat berharga valuta asing milik PT. Bank Century Tbk. oleh Bank Indonesia BI pada tahun 2005 sebesar US 210 juta, hingga pada akhir 2008 surat berharga tersebut telah jatuh tempo dan menyebabkan Bank Century mengalami kesulitan likuidasi dan gagal bayar dengan jumlah hutang sebesar US 56 juta. Padahal, dua tahun sebelumnya laporan auditor milik Bank Century dinyatakan wajar tanpa pengecualian unqualified opinion, sebuah pernyataan yang seharusnya ditujukan kepada entitas yang tidak memiliki masalah kesulitan keuangan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam laporan tersebut tidak ditambahkan bahasa penjelas explanatory language pertimbangan auditor tentang keraguan atas kelangsungan hidup perusahaan going concern. Seharusnya auditor memberikan opini dengan modifikasi going concern kepada Bank Century jika melihat kondisi kesulitan likuidasi yang dialami. Tetapi kenyataannya auditor tidak menerapkan pertimbangan terhadap keraguan atas kelangsungan hidup perusahaan. Jauh sebelum kasus Bank Century, terdapat beberapa kasus serupa yang terjadi pada awal 1990 hingga 2005 yaitu dilikuidasinya beberapa bank setelah sebelumnya menerima pendapat wajar tanpa pengecualian. Bank Summa yang dilikuidasi pada awal 1990, kemudian terdapat 16 bank telah dilikuidasi oleh pemerintah per 1 November 1997, Bank Prashida Utama dan Bank Ratu dilikuidasi di tahun 2000, Unibank dilikuidasi tahun 2001, Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali dilikuidasi tahun 2004, dan Bank Global 4 International di tahun 2005 Rahayu, 2007. Lebih lanjut Rahayu, 2007 menjelaskan dalam laporan audit yang dibuat oleh Kantor Akuntan Publik KAP pada peristiwa dilikuidasinya beberapa bank tersebut dinyatakan bahwa kondisi perbankan saat itu sangat baik, walaupun dalam kenyataannya buruk. Akibat kesalahan yang dilakukan oleh sejumlah KAP ketika melakukan audit terhadap laporan keuangan 88 Bank Beku Kegiatan Usaha BBKU, terjadi pembekuan izin empat KAP yang dilakukan pada tanggal 18 November 2002. Salah satu dampak yang timbul dari kasus-kasus tersebut, terutama akibat kelalaian auditor dalam menanggapi kelangsungan hidup perusahaan adalah banyaknya investor dan nasabah yang mengalami kerugian karena menerima informasi yang salah tentang kondisi keuangan perusahaan, padahal mereka terlanjur menyalurkan dana yang dimilikinya kepada perusahaan. Informasi tentang kemampuan perusahaan dalam mempertahankan usahanya going concern sangat penting bagi para pengguna laporan keuangan, karena merupakan salah satu faktor pertimbangan investasi Praptitorini dan Januarti, 2007. Dalam pertimbangan investasi, investor membutuhkan berbagai macam informasi bukan hanya dari segi laporan keuangan saja, tetapi juga dari segi yang lainnya. Para investor seringkali hanya melihat pada kondisi keuangan perusahaan khususnya profitabilitasnya tetapi mengesampingkan informasi yang lain seperti kelangsungan hidup perusahaan going concern. Akibatnya selain opini audit yang bermasalah, banyak investor yang kehilangan dana investasinya karena 5 tidak memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan yang dipilihnya untuk berinvestasi Dalam memberikan opini, auditor harus memberikan informasi yang benar-benar menggambarkan bagaimana keadaan perusahaan yang sebenarnya. Jika perusahaan mengalami masalah ketidakpastian akan kelangsungan hidup perusahaan atau auditor ragu akan kelangsungan hidup perusahaan, maka sudah seharusnya seorang auditor harus berani mengambil sikap profesional untuk memberikan opini going concern dalam laporan opini audit. Auditor memiliki suatu tanggung jawab untuk mengevaluasi status kelangsungan hidup perusahaan dalam setiap pekerjaan auditnya Fanny dan Silvia, 2005. Auditor memiliki peran yang begitu penting sebagai penghubung antara kepentingan investor dengan kepentingan perusahaan sebagai pengguna dan penyedia laporan keuangan. Peran auditor dalam memberikan informasi sangat diandalkan untuk memberi keyakinan kepada investor agar dapat mengambil keputusan untuk berinvestasi pada suatu perusahaan. Informasi yang dilaporkan auditor harus dapat mencerminkan kinerja dan kondisi keuangan perusahaan perusahaan berdasarkan berbagai pertimbangan dari kegiatan operasional perusahaan, kondisi ekonomi yang mempengaruhi perusahaan, kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya, serta kebutuhan likuiditas di masa yang akan datang Setyarno et. al ., 2006. Hal tersebut dilakukan auditor dengan tujuan mencegah diterbitkannya laporan yang menyesatkan investor atau para pengguna laporan keuangan lainnya. 6 Pemberian opini going concern lebih sering dikeluarkan oleh auditor kepada perusahaan berskala kecil. Hal ini disebabkan oleh keyakinan auditor bahwa perusahaan berskala besar lebih bisa menyelesaikan kesulitan keuangan yang dihadapinya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan besar juga lebih bisa menawarkan fee audit yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya dengan kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, maka auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan opini going concern pada perusahaan besar Dewayanto, 2011. Besar atau kecilnya skala perusahaan salah satunya dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan seperti kepemilikan aset total perusahaan. Penelitian tentang pengaruh ukuran perusahaan terhadap penerimaan opini going concern dilakukan oleh Santosa dan Wedari 2007 yang menemukan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara ukuran perusahaan dengan opini going concern. Hal tersebut berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Januarti dan Fitrianasari 2008 serta Junaidi dan Hartono 2010 yang menemukan bukti empiris bahwa ukuran perusahaan klien tidak berpengaruh terhadap opini going concern . Salah satu indikator kelangsungan hidup suatu perusahaan dapat diukur berdasarkan kondisi keuangan perusahaan. Salah satu cara untuk menganalisis kondisi keuangan perusahaan adalah dengan cara mengukur tingkat profitabilitas perusahaan. Profitabilitas suatu perusahaan akan menggambarkan kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan 7 keuntungan. Umumnya, tingkat profitabilitas perusahaan dapat diukur dengan menggunakan rasio return on assets ROA. Tingkat ROA yang tinggi menunjukkan efektivitas dan efisiensi penggunaan aktiva yang dimiliki perusahaan. Semakin tinggi tingkat ROA suatu perusahaan akan semakin menjauhkan perusahaan dari masalah going concern. Sebaliknya, tingkat ROA yang rendah akan semakin memungkinkan perusahaan mengalami permasalahan going concern. Audit tenure merupakan jangka waktu perikatan yang terjalin antara Kantor Akuntan Publik KAP dengan auditee yang sama. Ketika hubungan antara auditor independen dengan klien sudah berlangsung lama, maka klien akan dipandang sebagai sumber penghasilan bagi auditor. Karena dipandang sebagai sumber penghasilan, maka akan timbul kekhawatiran bagi KAP jika kehilangan sumber penghasilannya yang berdampak pada timbulnya keraguan bagi auditor untuk memberikan opini going concern kepada kliennya. Dewayanto 2011 menemukan bahwa audit tenure berpengaruh signifikan terhadap opini going concern, sedangkan menurut Januarti dan Fitrianasari 2008 mengungkapkan bahwa audit tenure tidak berpengaruh signfikan. Audit lag atau dalam beberapa penelitian disebut audit delay adalah interval waktu antara tanggal berakhirnya laporan keuangan tahunan 31 Desember dengan tanggal laporan audit. Pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor independen yang bertujuan untuk menilai kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan memerlukan waktu yang 8 cukup panjang. Ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan secara berkala merupakan suatu kewajiban bagi perusahaan. Laporan keuangan yang terlambat dipublikasikan dapat menjadi suatu indikasi adanya masalah dalam laporan keuangan perusahaan. Perusahaan yang mendapatkan opini going concern lebih cenderung membutuhkan waktu audit audit lag yang lebih lama,sehingga penyampaian laporan audit bisa terlambat. Lennox 2002 mengungkapkan bahwa hal ini mungkin terjadi karena auditor lebih banyak melakukan pengujian, manajer melakukan negosiasi yang panjang ketika terdapat ketidakpastian kelangsungan usaha, dan auditor berharap bahwa perusahaan dapat mengatasi masalah yang dihadapi untuk menghindari dikeluarkannya opini going concern. Penelitian yang dilakukan oleh Januarti dan Fitrianasari 2008 menunjukkan bahwa audit terdapat hubungan positif antara audit lag yang panjang dengan opini going concern. Suatu perusahaan diharuskan untuk dapat menerapkan good corporate governance untuk mengantisipasi hal yang berkaitan dengan masalah keagenan yang sering muncul dalam perusahaan. Salah satu mekanisme corporate governance yang penting adalah keberadaan komisaris independen. Hal ini menjadi penting karena komisaris independen diharapkan mampu menempatkan prinsip keadilan dan independensi di dalam perusahaan. Komisaris independen diharapkan membawa pengaruh positif bagi perusahaan dengan laporan keuangan yang berkualitas sehingga perusahaan akan menerima opini going concern dari auditor. Perusahaan yang memiliki proporsi komisaris independen yang lebih besar diharapkan mampu 9 mendapatkan pengawasan yang lebih baik sehingga kemungkinan auditor memberikan opini going concern akan lebih kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Adjani dan Rahardja 2013 mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh negatif proporsi komisaris independen terhadap penerimaan opini going concern . Beberapa penelitian telah menguji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan opini going concern dan mendapatkan hasil penelitian yang berbeda-beda. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Nursasi dan Maria 2015 yang meneliti beberapa faktor yang mempengaruhi kecenderungan penerimaan opini going concern pada perusaahaan perbankan dan pembiayaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Di dalam penelitian tersebut juga digunakan salah satu variabel yang sama dengan penelitian ini yaitu audit tenure . Di dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel independen lain yaitu return on assets ROA, audit tenure, audit lag, dan proporsi komisaris independen. Peneliti khususnya memilih untuk menambahkan variabel proporsi komisaris independen karena berdasarkan literatur yang peneliti dapatkan masih cukup jarang diteliti mengenai pengaruh proporsi komisaris independen terhadap penerimaan opini going concern. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan opini going concern serta untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan membuat suatu 10 penelitian dengan judul “Pengaruh Ukuran Perusahaan, Return on Assets, Audit Tenure, Audit Lag, dan Proporsi Komisaris Independen terhadap Opini Going Concern ”.

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Pengaruh Audit Quality, Audit Tenure, Audit Report Lag, dan Profitabilitas terhadap Opini Audit Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2013

10 162 106

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas (Roa), Opini Audit Dan Umur Perusahaan Terhadap Ketepatan Waktu Pelaporan Keuangan Pada Perusahaan Food And Beverages Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

4 112 91

Pengaruh Kondisi Keuangan, Ukuran Perusahaan, Audit Lag, dan Debt Default Terhadap Pemberian Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

6 129 96

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Likuiditas, Leverage, Kualitas Audit, dan Opini Audit Tahun Sebelumnya terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

8 56 106

Pengaruh audit lag, opini audit tahun sebelumnya, kondisi keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan ukuran perusahaan terhadap pemberian opini audit going concern oleh auditor

1 12 117

Pengaruh Audit Tenure, Reputasi KAP, Disclosure Klien, dan Opini Audit Sebelumnya terhadap Opini Audit Going Concern (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI Tahun 2007-2011)

1 17 150

Pengaruh Audit Tenure, Opini Audit Tahun Sebelumnya dan Disclosure terhadap Opini Audit Going Concern Perusahaan Tambang dan Agriculture yang Terdaftar di BEI Tahun 2011-2014

1 32 109

OPINI AUDIT GOING CONCERN PENGARUH KONDISI KEUANGAN PERUSAHAAN, PERTUMBUHAN PERUSAHAAN, OPINI AUDIT TAHUN SEBELUMNYA DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP OPINI AUDIT GOING CONCERN.

0 2 14

ANALISIS PENGARUH AUDIT TENURE, UKURAN PERUSAHAAN, OPINI AUDIT TAHUN SEBELUMNYA, KUALITAS AUDIT TERHADAP PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR

0 0 21

Pengaruh Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan, Proporsi Komisaris Independen, Ukuran Komite Audit Dan Debt Default Terhadap Opini Audit Going Concern,

0 0 17