pengobatan terhadap penyakit utamanya sehingga hasil terapi menjadi tidak sesuai dengan harapan Fried, et al., 2004. Tidak jarang komorbiditas dapat bersifat
subklinis atau atipikal sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Tanpa mengetahui adanya komorbiditas seorang klinisi akan hanya
memperdulikan penyakit utama yang diketahui dan mengabaikan komorbiditas yang ada. Hal ini akan memungkinkan munculnya interaksi klinis antara penyakit-
penyakit tersebut lalu memunculkan komplikasi baru karena tidak ditatalaksana dengan tepat Fried, et al., 2004.
2.3. TB Paru dan Komorbiditasnya
TBTCA dalam ISTC 2009 menyatakan bahwa semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi
komorbiditas yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan TB standart17. Banyak komorbid yang mungkin menjadi faktor resiko atau dapat
mempengaruhi outcome pengobatan, diantaranya HIV dan keadaan imunosupresif lainnya seperti: DM, malnutrisi, alkoholisme dan penyalahgunaan zat lainnya,
serta rokok. Anna Uyainah ZN 2013 melaporkan kelainan metabolik dan gangguan
fungsi organ yang tersering mempengaruhi respon pengobatan TB adalah DM, Chronic Kidney Disease CKD, hepatitis, dan HIV. Harry K. Tweel 2011 dan
E. Jane Carter 2012 menambahkan penggunaan TNF- α antagonist pada pasien
Rheumatoid Artritis, penyakit Chron’s, dan penyakit autoimun lainya sebagai komorbiditas pada pasien TB Paru.
2.3.1. TB-HIV
TB dan HIV apabila dijumpai dalam satu tubuh pasien merupakan dua patogen yang dapat saling berpotensiasi dalam menurunkan fungsi imun dan
menyebabkan kematian dini bila tidak diobati dengan baik. Infeksi HIV adalah faktor resiko yang sangat kuat menyebabkan infeksi TB baru dan infeksi TB laten
menjadi TB aktif Pawlowski, Jansson, Skold, Rottenberg, Kallenius, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Dijumpai HIV meningkatkan resiko reaktivasi TB laten sebesar 20 kali Getahun, Gunneberg, Granich, Nunn, 2010.
HIV adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae dengan 2 protein utama pada envelope-nya yaitu glikoprotein gp 120 di sebelah luar dan gp 41
yang terletak di transmembran. Gp 120 berperan dalam awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau
absorpsi. Gp 120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4, sehingga sel target utama infeksinya adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4
seperti: astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan sel dendritik. Namun sel yang terutama diserang adalah sel limfosit T karena
memiliki reseptor CD4 paling banyak dibandingkan sel tubuh lainnya Riadi, 2012.
Penurunan jumlah sel limfosit T CD4 inilah yang menjadi kontributor terkuat peningkatan reaktivasi TB laten karena sel limfosit T CD4 memainkan
peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap infeksi TB. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi
sitokin. Perubahan ini diinduksi oleh sitokin IL-12, IL-23, dan IL-27. Th1 akan memproduksi IFN-
γ interferon-gamma dan IL-2, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral. Namun,
hingga saat ini peran Th2 pada TB masih kontroversial Bhatt Salgame, 2007. Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, akan menghasilkan
IFN- γ yang merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag
mampu menahan infeksi TB. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 atau sitotoksik yang akan
berpartisipasi dalam pembunuhan TB. IFN- γ juga menstimulasi pembentukan
fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-
γ menstimulasi ekspresi inducible nitirc oxide synthase iNOS yang menghasilkan nitric oxide NO. NO
menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif, mulai dari dinding sel hingga DNA Cahyadi Venty, 2011.
Pada pasien TB-HIV dijumpai kegagalan pembentukan granuloma. Granuloma adalah suatu struktur teroganisir yang diatur oleh sel limfosit T CD4
dan TNF, perekrut monosit dari sirkulasi untuk berdiferensiasi menjadi sel epiteloid pembentuk granuloma, yang juga menjadi penanda patologi TB.
Dengan terbentuknya granuloma, bakteri TB yang terdapat didalamnya dapat dicegah untuk menyebar ke sel pejamu lainnya infeksi terlokalisasi Pawlowski,
Jansson, Skold, Rottenberg, Kallenius, 2012. Pada sebagian orang pembentukan granuloma ini dapat bersifat progresif sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi. Pada pasien dengan jumlah CD4 200mm3 lesi kavitasi ini jarang mampu menahan perluasan TB
sehingga pasien HIV lebih sering mengalami TB milier dibandingkan pasien tanpa HIV yang infeksinya terlokalisir pada paru saja Sharma, Alladi,
Kadhiravan, 2005. HIV juga dapat mengganggu tumor necrosis factor TNF dalam respon
apoptosis makrofag yang terinfeksi TB sehingga mempermudah perkembangbiakan bakteri Patel, et al., 2007. Bersama dengan IFN-
γ, TNF yang dihasilkan oleh makrofag teraktivasi sebenarnya bertanggung jawab dalam respon
makrofag agar mampu memproduksi iNOS dan radikal bebas lainnya untuk membunuh sel terinfeksi Kusuma Setiawati, 2010.
M. tuberculosis terbukti dapat meningkatkan replikasi virus HIV dalam tubuh pejamu dengan koinfeksi TB-HIV. Penelitian in vitro yang dilakukan oleh
Mancino, et al. 1997 membuktikan bahwa infeksi TB dapat meningkatkan infeksi serta replikasi HIV pada monocyte-derived macrophage MDM, dan
meningkatkan efisiensi transmisi virus dari sel MDM terinfeksi menuju sel T. TNF yang sangat diperlukan untuk mengontrol pertumbuhan mikobakterium
belakangan diketahui dapat mengaktivasi replikasi HIV dalam makrofag Kedzierska, M.Crowe, Turville, Cunningham, 2003. Menurut Collins 2002
Universitas Sumatera Utara
M. tuberculosis dan komponen dinding selnya, lipoarabinomannan LAM, mengaktivasi replikasi HIV pada sel pembawa pro-virus dengan menginduksi
produksi TNF dan IL-6 melalui jalur NF- κB yang memicu transkripsi promoter
long terminal repeat LTR. M. tuberculosis yang bertahan dalam sel dendritik mampu menurunkan
aktivitas pro-inflamasi dan kemampuan presentasi antigen sel dendritik dengan menginduksi pelepasan sitokin anti-inflamasi. HIV sendiri dapat menginfeksi dan
memanipulasi DC dendritic cell dan fungsi sel T. Tidak hanya aktivasi sel T yang diperantarai DC yang dipengaruhinya, tetapi juga migrasi sel DC yang
terinfeksi dapat menyebabkan penyebaran virus lebih lanjut Donaghy, Stebbing, Patterson, 2004.
Keterkaitan yang sangat erat antara TB dengan infeksi HIV tersebut yang menjadi dasar TBTCA 2012 dalam ISTC standart 14 merekomendasikan
pemeriksaan dan konseling HIV bagi semua pasien TB dengan atau yang masih dicurigai terinfeksi HIV. Pada daerah yang angka prevalens HIV-nya tinggi di
populasi dengan kemungkinan koinefeksi TB-HIV maka hal ini diindikasikan sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV
rendah, pemeriksaan dan konseling ini hanya dilakukan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang berhubungan dengan HIV serta pasien TB dengan
riwayat risiko tinggi tertular HIV. Apabila ditemukan positif HIV, terapi antiretroviral ARV perlu diberikan
standart 15 dengan mempertimbangkan jumlah CD4 pasien karena mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien TB-HIV secara bermakna, bahkan
mampu memperbaiki outcome pengobatan TB Harries, Zachariah, Lawn, 2009. Namun perlu diperhatikan interaksi yang mungkin timbul antara OAT
dengan ARV, terutama golongan nonnukelotida Efavirenz dan Nevirapine dan inhibitor protease Indinavir, Lopinavir, Nelfinafir, Saquinavir, dan Ritonavir.
Rifampisin tidak diberikan bersama dengan Nelvinafir dan Nevirapine karena
Universitas Sumatera Utara
Rifampisin dapat menurunkan kadar Nelvinafir hingga 28 dan Nevirapine sampai 37 PDPI, 2006.
2.3.2. TB-DM