Komorbiditas Kerangka Konsep Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010- Juni 2012

2.1.7. Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. a Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB usus, Poncet’s arthropaty, hemoptisis masif b Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas Sindrom Pasca Tuberkulosis {SOPT} dan kerusakan parenkim berat {fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa} Amin Bahar, 2009.

2.2. Komorbiditas

Terdapat banyak definisi mengenai komorbiditas. Menurut Dorland 2010 komorbiditas adalah suatu penyakitproses patologik yang terjadi bersamaan dengan penyakitproses patologik lainnya. Sedangkan Fried, et al. 2004 mendefinisikan komorbiditas sebagai kondisi dimana terdapat dua atau lebih penyakit yang didiagnosis pada seorang individu yang ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang telah banyak dikenal. Komorbiditas dapat dipahami melalui klasifikasi definisi berdasarkan sifat dan kronologisnya. Ditinjau berdasarkan sifatnya, komorbiditas dapat berupa penyakit, gangguan, kondisi medis tertentu, ataupun masalah kesehatan lainnya. Berdasarkan kronologisnya, dua atau lebih komorbiditas dapat muncul pada suatu titik waktu yang sama ataupun terjadi pada periode waktu tertentu tanpa berlangsung terus menerus. Komorbiditas juga dapat muncul pada sekuens tertentu dari suatu periode penyakit Valderas, Starfield, Sibbald, Salisbury, Roland, 2009. Adanya komorbiditas pada seorang pasien dapat menyebabkan outcome kesehatan yang memburuk, manajemen tatalaksana yang semakin kompleks, serta meningkatkan biaya pengobatan. Salah satu penyebabnya adalah karena komorbiditas mampu menurunkan kemampuan pasien untuk mentoleransi Universitas Sumatera Utara pengobatan terhadap penyakit utamanya sehingga hasil terapi menjadi tidak sesuai dengan harapan Fried, et al., 2004. Tidak jarang komorbiditas dapat bersifat subklinis atau atipikal sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Tanpa mengetahui adanya komorbiditas seorang klinisi akan hanya memperdulikan penyakit utama yang diketahui dan mengabaikan komorbiditas yang ada. Hal ini akan memungkinkan munculnya interaksi klinis antara penyakit- penyakit tersebut lalu memunculkan komplikasi baru karena tidak ditatalaksana dengan tepat Fried, et al., 2004.

2.3. TB Paru dan Komorbiditasnya

TBTCA dalam ISTC 2009 menyatakan bahwa semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbiditas yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan TB standart17. Banyak komorbid yang mungkin menjadi faktor resiko atau dapat mempengaruhi outcome pengobatan, diantaranya HIV dan keadaan imunosupresif lainnya seperti: DM, malnutrisi, alkoholisme dan penyalahgunaan zat lainnya, serta rokok. Anna Uyainah ZN 2013 melaporkan kelainan metabolik dan gangguan fungsi organ yang tersering mempengaruhi respon pengobatan TB adalah DM, Chronic Kidney Disease CKD, hepatitis, dan HIV. Harry K. Tweel 2011 dan E. Jane Carter 2012 menambahkan penggunaan TNF- α antagonist pada pasien Rheumatoid Artritis, penyakit Chron’s, dan penyakit autoimun lainya sebagai komorbiditas pada pasien TB Paru.

2.3.1. TB-HIV

TB dan HIV apabila dijumpai dalam satu tubuh pasien merupakan dua patogen yang dapat saling berpotensiasi dalam menurunkan fungsi imun dan menyebabkan kematian dini bila tidak diobati dengan baik. Infeksi HIV adalah faktor resiko yang sangat kuat menyebabkan infeksi TB baru dan infeksi TB laten menjadi TB aktif Pawlowski, Jansson, Skold, Rottenberg, Kallenius, 2012. Universitas Sumatera Utara Dijumpai HIV meningkatkan resiko reaktivasi TB laten sebesar 20 kali Getahun, Gunneberg, Granich, Nunn, 2010. HIV adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae dengan 2 protein utama pada envelope-nya yaitu glikoprotein gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Gp 120 berperan dalam awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorpsi. Gp 120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4, sehingga sel target utama infeksinya adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 seperti: astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan sel dendritik. Namun sel yang terutama diserang adalah sel limfosit T karena memiliki reseptor CD4 paling banyak dibandingkan sel tubuh lainnya Riadi, 2012. Penurunan jumlah sel limfosit T CD4 inilah yang menjadi kontributor terkuat peningkatan reaktivasi TB laten karena sel limfosit T CD4 memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap infeksi TB. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Perubahan ini diinduksi oleh sitokin IL-12, IL-23, dan IL-27. Th1 akan memproduksi IFN- γ interferon-gamma dan IL-2, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral. Namun, hingga saat ini peran Th2 pada TB masih kontroversial Bhatt Salgame, 2007. Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, akan menghasilkan IFN- γ yang merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag mampu menahan infeksi TB. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 atau sitotoksik yang akan berpartisipasi dalam pembunuhan TB. IFN- γ juga menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN- γ menstimulasi ekspresi inducible nitirc oxide synthase iNOS yang menghasilkan nitric oxide NO. NO menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas Universitas Sumatera Utara lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif, mulai dari dinding sel hingga DNA Cahyadi Venty, 2011. Pada pasien TB-HIV dijumpai kegagalan pembentukan granuloma. Granuloma adalah suatu struktur teroganisir yang diatur oleh sel limfosit T CD4 dan TNF, perekrut monosit dari sirkulasi untuk berdiferensiasi menjadi sel epiteloid pembentuk granuloma, yang juga menjadi penanda patologi TB. Dengan terbentuknya granuloma, bakteri TB yang terdapat didalamnya dapat dicegah untuk menyebar ke sel pejamu lainnya infeksi terlokalisasi Pawlowski, Jansson, Skold, Rottenberg, Kallenius, 2012. Pada sebagian orang pembentukan granuloma ini dapat bersifat progresif sehingga menimbulkan kerusakan jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi. Pada pasien dengan jumlah CD4 200mm3 lesi kavitasi ini jarang mampu menahan perluasan TB sehingga pasien HIV lebih sering mengalami TB milier dibandingkan pasien tanpa HIV yang infeksinya terlokalisir pada paru saja Sharma, Alladi, Kadhiravan, 2005. HIV juga dapat mengganggu tumor necrosis factor TNF dalam respon apoptosis makrofag yang terinfeksi TB sehingga mempermudah perkembangbiakan bakteri Patel, et al., 2007. Bersama dengan IFN- γ, TNF yang dihasilkan oleh makrofag teraktivasi sebenarnya bertanggung jawab dalam respon makrofag agar mampu memproduksi iNOS dan radikal bebas lainnya untuk membunuh sel terinfeksi Kusuma Setiawati, 2010. M. tuberculosis terbukti dapat meningkatkan replikasi virus HIV dalam tubuh pejamu dengan koinfeksi TB-HIV. Penelitian in vitro yang dilakukan oleh Mancino, et al. 1997 membuktikan bahwa infeksi TB dapat meningkatkan infeksi serta replikasi HIV pada monocyte-derived macrophage MDM, dan meningkatkan efisiensi transmisi virus dari sel MDM terinfeksi menuju sel T. TNF yang sangat diperlukan untuk mengontrol pertumbuhan mikobakterium belakangan diketahui dapat mengaktivasi replikasi HIV dalam makrofag Kedzierska, M.Crowe, Turville, Cunningham, 2003. Menurut Collins 2002 Universitas Sumatera Utara M. tuberculosis dan komponen dinding selnya, lipoarabinomannan LAM, mengaktivasi replikasi HIV pada sel pembawa pro-virus dengan menginduksi produksi TNF dan IL-6 melalui jalur NF- κB yang memicu transkripsi promoter long terminal repeat LTR. M. tuberculosis yang bertahan dalam sel dendritik mampu menurunkan aktivitas pro-inflamasi dan kemampuan presentasi antigen sel dendritik dengan menginduksi pelepasan sitokin anti-inflamasi. HIV sendiri dapat menginfeksi dan memanipulasi DC dendritic cell dan fungsi sel T. Tidak hanya aktivasi sel T yang diperantarai DC yang dipengaruhinya, tetapi juga migrasi sel DC yang terinfeksi dapat menyebabkan penyebaran virus lebih lanjut Donaghy, Stebbing, Patterson, 2004. Keterkaitan yang sangat erat antara TB dengan infeksi HIV tersebut yang menjadi dasar TBTCA 2012 dalam ISTC standart 14 merekomendasikan pemeriksaan dan konseling HIV bagi semua pasien TB dengan atau yang masih dicurigai terinfeksi HIV. Pada daerah yang angka prevalens HIV-nya tinggi di populasi dengan kemungkinan koinefeksi TB-HIV maka hal ini diindikasikan sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV rendah, pemeriksaan dan konseling ini hanya dilakukan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang berhubungan dengan HIV serta pasien TB dengan riwayat risiko tinggi tertular HIV. Apabila ditemukan positif HIV, terapi antiretroviral ARV perlu diberikan standart 15 dengan mempertimbangkan jumlah CD4 pasien karena mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien TB-HIV secara bermakna, bahkan mampu memperbaiki outcome pengobatan TB Harries, Zachariah, Lawn, 2009. Namun perlu diperhatikan interaksi yang mungkin timbul antara OAT dengan ARV, terutama golongan nonnukelotida Efavirenz dan Nevirapine dan inhibitor protease Indinavir, Lopinavir, Nelfinafir, Saquinavir, dan Ritonavir. Rifampisin tidak diberikan bersama dengan Nelvinafir dan Nevirapine karena Universitas Sumatera Utara Rifampisin dapat menurunkan kadar Nelvinafir hingga 28 dan Nevirapine sampai 37 PDPI, 2006.

2.3.2. TB-DM

DM merupakan salah satu faktor resiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke-20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB Cahyadi Venty, 2011. Dari beberapa penelitian kohort yang dilakukan di negara-negara Asia, seseorang dengan DM beresiko 3 kali lebih besar untuk menderita TB dibandingkan dengan tanpa DM Jeon Murray, 2008. Prevalensi dan insidensi DM kini mengalami peningkatan di banyak negara berkembang dimana TB menjadi endemis, salah satunya Indonesia Alisjahbana, et al., 2006. Dooley dan Chaisson 2009 melaporkan kembali dua buah penelitian yang membandingkan insidensi TB aktif di antara pasien dengan DM tergantung insulin Insulin Dependent Diabetes Mellitus IDDM dan tidak tergantung insulin Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus NIDDM. Diperoleh bahwa pasien dengan IDDM lebih mungkin menderita TB aktif dibandingkan dengan pasien NIDDM. DM dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas imun yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden TB Paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB Cahyadi Venty, 2011. Sebuah penelitian dengan hewan coba menunjukkan bahwa mencit hiperglikemi kronik memiliki produksi IFN- γ dan IL-12 yang jauh lebih sedikit serta mengalami penurunan sel T responsif yang ringan terhadap antigen M. Universitas Sumatera Utara tuberculosis ESAT-6 pada awal infeksi TB. Hal ini menunjukkan penurunan imunitas adaptif oleh sel Th1 secara bermakna dibandingkan dengan mencit euglikemi Martens, et al., 2007. Temuan ini bertolak belakang dengan percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef, et al. 2008 dimana tidak ditemukan perbedaan produksi sitokin pada plasma darah antara pasien TB dengan atau tanpa DM. Jika pasien TB dibandingkan dengan kontrol yang sehat, produksi IFN- γ spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN- γ yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN- γ yang non spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya resiko pasien DM untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut Stalenhoef, et al., 2008. Meningkatnya resiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al. menemukan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur makrofag alveolar hipodens pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM dianggap bertanggung jawab tehadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM Cahyadi Venty, 2011. Selain itu, ditemukan juga bahwa neutrofil pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk, mengalami penurunan efek kemotaksis dan kemampuan oxydative killing serta aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang dibandingkan dengan kontrol non-diabetik Jeon Murray, 2008. Keseimbangan limfosit T CD4 dan CD8 dianggap turut berperan penting dalam modulasi pertahanan pejamu terhadap TB dan sangat berpengaruh terhadap laju regresi TB Paru aktif Guptan Shah, 2000. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Defek Imunologis Pasien DM Abnormalitas Imunologi pada DM Disfungsi Fisiologi Paru pada DM Fungsi kemotaksis, adhesi, fagositosis, dan mikrobisida polimorfonuklear yang abnormal Berkurangnya reaktivitas bronkus Berkurangnya jumlah monosit perifer dan fagositosis yang terganggu Berkurangnya kemampuan recoil elastis dan volume paru Transformasi limfosit yang buruk Berkurangnya kapasitas difusi Adanya defek opsonisasi C3 Mucus plug yang menyumbat jalan napas Berkurangnya respon ventilasi terhadap hipoksemia Sumber: Gruptan, 2000 Paduan OAT pada pasien TB-DM pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan OAT dapat dilanjutkan sampai 9 bulan PDPI, 2006. Beberapa keadaan perlu diperhatikan dalam memberikan OAT pada pasien dengan DM, diantaranya pemberian rifampisin dan ethambutol. Penggunaan ethambutol pada pasien DM harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata mengingat pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit berupa kelainan mata. Pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea, dapat mengurangi efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis ditingkatkan Alisjahbana, et al., 2007. Universitas Sumatera Utara BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah: Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional