cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri dan diinkubasi selama 18
– 24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal KBM atau Minimal Bactericidal
Concentration MBC Pratiwi, 2008.
E. Landasan Teori
Penyakit infeksi terus berkembang dan menjadi salah satu penyebab kematian di dunia. Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh bakteri diantaranya
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi bahan alam yang memiliki aktivitas antibakteri dengan efek samping
lebih kecil dan tersedia terus menerus. Salah satu bahan alam yang berpotensi sebagai antibakteri adalah kulit buah petai.
Untuk mendapatkan golongan senyawa kimia yang berpotensi sebagai antibakteri pada kulit buah petai, dapat dilakukan dengan metode ekstraksi.
Metode ekstraksi merupakan suatu metode untuk memisahkan senyawa yang diinginkan dari campuran penyusun lainnya. Menurut Depkes RI 2008,
pemilihan pelarut yang sesuai merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat menyari sebagian besar
metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia. Salah satu pelarut yang dapat digunakan sebagai penyari kulit buah petai
adalah etanol. Etanol dapat digunakan sebagai penyari karena dapat menarik
senyawa semi polar sampai polar, sehingga zat aktif yang diharapkan dapat tersari maksimal sesuai dengan kepolarannya Agnes, Lois, Aning, dan Nani, 2013.
Menurut Kamisah, dkk. 2013 kulit buah petai dari Malaysia mengandung tanin, alkaloid, dan saponin. Golongan senyawa tersebut diketahui
memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan, menurut Kurniawati 2014, kulit buah petai yang berasal dari Kabupaten Bogor
yang diekstraksi dengan etanol 70 menggunakan metode maserasi ultrasonikasi, memiliki golongan senyawa kimia seperti alkaloid, terpenoid, saponin dan tanin.
Ekstrak kulit petai yang dihasilkan dalam penelitiannya tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli. Oleh karena itu, peneliti mencoba
mengeksplorasi tanaman yang sama tetapi berasal dari Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang berbeda. Menurut Nitisapto dan Siradz cit., Mahatriny, Payani, Oka dan Astuti, 2014, faktor-faktor
lingkungan seperti iklim, cahaya matahari, suhu udara, lingkungan atmosfer CO
2
, O
2
, dan kelembaban, lingkungan perakaran sifat kimia dan fisika tanah dan ketersediaan air di dalam tanah memiliki pengaruh terhadap hasil
metabolisme sekunder tanaman. Setelah diperoleh senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri dengan
metode maserasi menggunakan etanol 70, maka dilanjutkan dengan pengujian aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas antibakteri, pertama kali dilakukan
dengan melakukan uji pendahuluan untuk mengetahui penghambatan ekstrak
etanol kulit buah petai terhadap bakteri uji, dengan metode difusi sumuran. Selanjutnya dilakukan penentuan nilai KHM dan KBM dengan metode dilusi,
sehingga dapat diketahui konsentrasi terendah ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri uji.
Oleh karena itu, penelitian mengenai adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit buah petai terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan mengenai manfaat kulit buah petai sebagai salah satu terapi
alternatif penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
F. Hipotesis