Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol Bunga Petai (Parkia speciosa) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922.

(1)

INTISARI

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab kematian di dunia. Salah satu penyebab infeksi yaitu bakteri S. aureus dan E. coli. Penyakit infeksi yang belum dapat diatasi mendorong pencarian antibiotik secara eksploratif menggunakan bahan alam. Bunga petai diduga mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin dan flavonoid. Senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin dan flavonoid diketahui aktif sebagai antibakteri, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian kandungan senyawa dalam bunga petai (Parkia speciosa) dan aktivitasnya sebagai antibakteri.

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni yang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa dan aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai, dilanjutkan dengan pencarian Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) terhadap S. aureus dan E. coli. Pencarian kandungan senyawa dilakukan dengan metode uji tabung. Pengujian aktivitas antibakteri serta pencarian KHM dan KBM dilakukan dengan metode difusi sumuran dan dilusi cair. Hasil uji aktivitas antibakteri dianalisis statistik menggunakan uji Shapiro Wilk, Levene,

Kruskal Wallis dan Mann Whitney.

Hasil penelitian menujukkan bahwa ekstrak etanol bunga petai mengandung senyawa alkaloid, saponin, terpenoid dan flavonoid serta memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus, tetapi tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli. Kadar Hambat Minimum ekstrak etanol bunga petai terhadap S. aureus sebesar 50%.

Kata kunci : bunga, Parkia speciosa, ekstrak etanol, S.aureus, E. coli, difusi sumuran, dilusi cair


(2)

ABSTRACT

Infectious diseases are one of the causes of death in the world. One of the cause bacterial infection is S. aureus and E. coli. Infectious diseases that can not be solved yet, encourage exploratory searches using natural materials. Parkia speciosa

flower is supected to contains alkaloid, terpenoid, saponin, tanin and flavonoid. Alkaloid, terpenoid, saponin, tanin and flavonoid are known as an antibacterial. Therefore, it is necessary to search the compound in Parkia speciosa flower and its activity as an antibacterial.

This study is pure experimental that aimed to determine the contens of compounds in Parkia speciosa flower and antibacterial activity of ethanol extract of

Parkia speciosa flowers, followed by determination of the Minimum Inhibition Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) against S. aureus and E. coli. Explorating of phytochemical compound was doing with using test tube metode. Testing of antibacterial activity using well diffusion method and determination of MIC and MBC using broth dilution method. The antibacterial activity results were analyzed statistically using Shapiro Wilk, Levene, Kruskal-Wallis and Mann Whitney test.

The results showed that the ethanol extract of Parkia speciosa contains alkaloid, saponin, terpenoid, flavonoid and has antibacterial activity against S. aureus

but do not have antibacterial activity against E. coli. Minimum Inhibition Concentration of an ethanol extract of Parkia speciosa flower obtained against S. aureus is 50%.

Keyword : flower, Parkia speciosa, ethanol extract, S. aureus, E. coli,, agar well diffusion, broth dilution.


(3)

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGA PETAI (Parkia speciosa Hassk.) TERHADAP Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan

Escherichia coli ATCC 25922 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Metta Maurilla

NIM 118114094

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGA PETAI (Parkia speciosa Hassk.) TERHADAP Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan

Escherichia coli ATCC 25922 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Metta Maurilla

NIM 118114094

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

.

Kupersembahkan karya ini untuk : Tuhan Yesus Kristus, sumber kehidupan dan harapanku Bapak, Ibu, Adet, Felix dan seluruh keluarga besarku

Sahabat-sahabat ku yang selalu membantuku Serta Almamaterku Universitas Sanata Dharma.

Succes consist of going

from failure to failure

without

loss

of

enthusiasm.


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas segala penyertaan, kasih dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Eschericia coli ATCC 25922” dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, doa dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis dari proses penyusunan proposal sampai penyusunan skripsi ini selesai.

3. Ibu Dr. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. 4. Ibu Damiana Sapta Candrasari, S.Si., M.Sc selaku dosen penguji.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt selaku Kepala Penanggung jawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan izin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk penelitian skripsi penulis.


(11)

viii

6. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si atas masukan dan arahan dalam bidang Mikrobiologi.

7. Bapak Mukminin, Bapak Wagiran, Bapak Parlan, Bapak Kunto, Bapak Iswandi, serta seluruh laboran yang telah membantu selama penelitaan sampai skripsi dapat diselesaikan.

8. Keluarga tercinta, Bapak Albertus Mikael Siregar, Mama Tiambun Pasaribu, Bernadette Victoria dan Felix Jonathan yang selalu memberikan doa, perhatian dan semangat kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan satu kelompok skripsi Sabrina Handayani Tambun, Anisetus Ratnasari Jebarus, Aloysius Ade Pratama atas kerja samanya, bantuan dan semangat yang diberikan selama penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.

10.Teman–teman Jolinna Natia, Erica, Niken, Reni, Vina, Betzy, Kak Rotua dan Yoestenia dan Kakak-Kakak “sariayuers” atas kebersamaan, kecerian dan semangat yang diberikan kepada penulis

11.Teman–teman FSM C 2011, FKK B 2011 dan seluruh angkatan 2011 atas dukungannya.

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, penulis sangat terbuka dengan segala kritik dan saran yang membangun


(12)

ix

dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi serta untuk semua pihak yang membutuhkan.


(13)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6


(14)

xi

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Petai ... 7

1. Taksonomi Tanaman ... 7

2. Nama Lain ... 8

3. Deskripsi Tanaman ... 8

4. Manfaat Tanaman ... 9

5. Kandungan Nutrisi ... 9

6. Kandungan Kimia ... 9

B. Metode Ekstraksi ... 10

C. Maserasi ... 11

D. Senyawa Fitokimia ... 12

1. Alkaloid ... 12

2. Fenolik ... 13

3. Flavonoid ... 13

4. Saponin ... 14

5. Tanin ... 15

6. Terpenoid ... 16

E. Escherichia coli ... 16

1. Enterotoksin dan Eksotoksin ... 17

2. Komponen Antigen... 19

F. Staphylococcus aureus ... 22

1. Enterotoksin dan Eksotoksin ... 23


(15)

xii

G. Antimikroba ... 24

H. Uji Aktivitas Antibakteri ... 25

1. Pengujian Aktivitas Antibakteri ... 25

2.Pengujian Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)……….. 27

3. Pengukuran Pertumbuhan Bakteri ... 28

I. Landasan Teori ... 29

J. Hipotesis ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN... 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 31

1. Variabel Penelitian ... 31

2. Definisi Operasional... 31

C. Bahan Penelitian... 32

D. Alat penelitian ... 33

E. Tata Cara Penelitian ... 33

1. Determinasi Bunga Petai ... 33

2. Pengumpulan Bahan Bunga Petai ... 34

3. Pengeringan dan Pembuatan Serbuk ... 34

4. Penetapan Susut Pengeringan ... 34

5. Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Petai ... 34

6. Identifikasi Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Bunga Petai dengan Uji Tabung ... 35


(16)

xiii

7. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai terhadap

S.aureus dan E.coli ... 37

8. Penentuan KHM dan KBM dengan metode dilusi cair ... 41

F. Tata Cara Analisis Hasil... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Determinasi Tanaman ... 44

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bunga Petai serta Pembuatan Serbuk ... 44

C. Penetapan Susut Pengeringan Serbuk Bunga Petai ... 45

D. Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Petai ... 46

E. Identifikasi Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak Etanol Bunga Petai dengan Uji Tabung ... 49

1. Uji Pendahuluan ... 50

2. Uji Alkaloid ... 50

3. Uji Tanin ... 52

4. Uji Terpenoid ... 52

5. Uji Saponin ... 52

6. Uji Fenolik ... 53

7. Uji Flavonoid ... 54

F. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Petai terhadap S.aureus dan E.coli ... 55

G. Penentuan KHM dan KBM dengan Metode Dilusi Cair... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68


(17)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 69 LAMPIRAN ... 74 BIOGRAFI PENULIS ... 123


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I Pembuatan Variasi Konsentrasi Uji………... 38 Tabel II Hasil Perolehan Ekstrak Bunga Petai dengan Maserasi………... 49 Tabel III Hasil Identifikasi Kandungan Senyawa Kimia Ekstrak

Etanol Bunga Petai.………... 49 Tabel IV Diameter Zona Hambat Seri Konsentasi Ekstrak Etanol Bunga

Petai, Kontrol Positif dan Negatif terhadap S. aureus dan E.

coli.……… 60

Tabel V Kriteria Kekuatan Daya Antibakteri Esktrak Etanol Bunga Petai terhadap S. aureus ………... 63 Tabel VI Hasil Uji Statistik Diameter Zona Hambat Variasi Konsentrasi

Ekstrak Bunga Petai, Kontrol Positif dan Kontrol Negatif

terhadap S. aureus……… 63 Tabel VII Hasil Pengukuran Absorbansi Uji KHM dan KBM Ekstrak Etanol


(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bunga Petai………... 7

Gambar 2. E. coli Dilihat dalam Mikroskop Elektron……… 16

Gambar 3. S. aureus Dilihat dalam Mikroskop Mikroskop Elektron…………... 22

Gambar 4. Reaksi Antara Alkaloid dengan Pereaksi Mayer………... 51

Gambar 5. Reaksi Antara Alkaloid dengan Pereaksi Dragendorff……… 51

Gambar 6. Reaksi Saponin dalam Air……… 53


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Surat Pengesahan Determinasi Bunga Petai………... 75 Lampiran 2. Sertifikat Hasil Uji S. aureus ATCC 25922……….……… 76 Lampiran 3. Sertifikat Hasil Uji E. coli ATCC 259237………. 77 Lampiran 4. Foto Serbuk Bunga Petai, Hasil Maserasi dan Ekstrak

Kental Bunga Petai ……….. 78 Lampiran 5. Foto Hasil Uji Fitokimia ……….………. 79 Lampiran 6. Foto Hasil Uji Biokimia dan Pewarnaan Gram ………... 84 Lampiran 7. Foto Hasil Uji Potensi Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Petai

terhadap S.aureus dan E.coli dengan Metode

Difusi Sumuran ……… 89

Lampiran 8. Hasil Analisis Data……… 91 Lampiran 9. Hasil Pengukuran Absorbansi Uji KHM dan KBM Ekstrak


(21)

xviii INTISARI

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab kematian di dunia. Salah satu penyebab infeksi yaitu bakteri S. aureus dan E. coli. Penyakit infeksi yang belum dapat diatasi mendorong pencarian antibiotik secara eksploratif menggunakan bahan alam. Bunga petai diduga mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin dan flavonoid. Senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin dan flavonoid diketahui aktif sebagai antibakteri, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian kandungan senyawa dalam bunga petai (Parkia speciosa) dan aktivitasnya sebagai antibakteri.

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni yang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa dan aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai, dilanjutkan dengan pencarian Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) terhadap S. aureus dan E. coli. Pencarian kandungan senyawa dilakukan dengan metode uji tabung. Pengujian aktivitas antibakteri serta pencarian KHM dan KBM dilakukan dengan metode difusi sumuran dan dilusi cair. Hasil uji aktivitas antibakteri dianalisis statistik menggunakan uji Shapiro Wilk, Levene,

Kruskal Wallis dan Mann Whitney.

Hasil penelitian menujukkan bahwa ekstrak etanol bunga petai mengandung senyawa alkaloid, saponin, terpenoid dan flavonoid serta memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus, tetapi tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap E. coli. Kadar Hambat Minimum ekstrak etanol bunga petai terhadap S. aureus sebesar 50%.

Kata kunci : bunga, Parkia speciosa, ekstrak etanol, S.aureus, E. coli, difusi sumuran, dilusi cair


(22)

xix ABSTRACT

Infectious diseases are one of the causes of death in the world. One of the cause bacterial infection is S. aureus and E. coli. Infectious diseases that can not be solved yet, encourage exploratory searches using natural materials. Parkia speciosa

flower is supected to contains alkaloid, terpenoid, saponin, tanin and flavonoid. Alkaloid, terpenoid, saponin, tanin and flavonoid are known as an antibacterial. Therefore, it is necessary to search the compound in Parkia speciosa flower and its activity as an antibacterial.

This study is pure experimental that aimed to determine the contens of compounds in Parkia speciosa flower and antibacterial activity of ethanol extract of

Parkia speciosa flowers, followed by determination of the Minimum Inhibition Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) against S. aureus and E. coli. Explorating of phytochemical compound was doing with using test tube metode. Testing of antibacterial activity using well diffusion method and determination of MIC and MBC using broth dilution method. The antibacterial activity results were analyzed statistically using Shapiro Wilk, Levene, Kruskal-Wallis and Mann Whitney test.

The results showed that the ethanol extract of Parkia speciosa contains alkaloid, saponin, terpenoid, flavonoid and has antibacterial activity against S. aureus

but do not have antibacterial activity against E. coli. Minimum Inhibition Concentration of an ethanol extract of Parkia speciosa flower obtained against S. aureus is 50%.

Keyword : flower, Parkia speciosa, ethanol extract, S. aureus, E. coli,, agar well diffusion, broth dilution.


(23)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang berkontribusi menyebabkan kesakitan dan kematian di dunia. Penyebab penyakit infeksi menurut

World Health Organization (WHO) (2001) dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme salah satunya yaitu bakteri. Pada tahun 2012, penyakit infeksi saluran pernafasan bawah dan diare dikategorikan masuk dalam peringkat 10 besar penyakit penyebab kematian di dunia. Infeksi saluran pernafasan bawah menyebabkan kematian 3,1 juta jiwa sedangkan diare menyebabkan kematian 1,5 juta jiwa di dunia (WHO, 2014). Infeksi saluran pernafasan bawah yaitu pneumonia merupakan pembunuh utama balita di dunia (Gatot, 2014). Menurut WHO (2014) pada tahun 2012 penyakit infeksi saluran pernafasan bawah dan diare termasuk ke dalam kategori 3 besar penyebab kematian di negara berkembang. Berdasarkan Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes R.I (2012) penyakit infeksi kulit, diare dan faringitis masuk dalam kategori 10 besar penyakit penyebab rawat jalan di Rumah Sakit Indonesia pada tahun 2009 dan 2010. Penyakit infeksi seperti faringitis, pneumonia, diare dan kulit disebabkan oleh bakteri S. aureus dan E. coli

(Dale and Federman, 2003)

Menurut European Commission (2013) penggunaan antibiotik yang tidak tepat menyebabkan antibiotik menjadi tidak efektif. Ketidakefektifan antibiotik dapat


(24)

menjadi salah satu penyebab masih banyaknya kematian dan kesakitan akibat penyakit infeksi. Menurut Chanda dan Rakholiya (cit. Chanda, Dudhatra dan Kaneria, 2010), antibakteri sintetik memberikan efek samping besar sedangkan antibakteri dari tanaman memberikan efek samping ringan dan berpotensi memberikan efek terapi besar. Menurut Wendakoon, Calderon dan Gagnon (2011) trend penggunaaan obat herbal di kalangan masyarakat khusunya negara berkembang meningkat dan obat herbal dipercaya dapat mengobati penyakit, salah satunya yaitu penyakit infeksi. Dengan demikian, pencarian antibakteri yang efektif, aman dan murah merupakan kebutuhan penting yang dilakukan secara terus menerus (Chanda, Rakholiya, Dholakia dan Baravalia, 2012). Salah satu eksplorasi antibakteri di Provinsi Papua Barat, Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis tanaman yang berpotensi sebagai antibakteri dari 56 jenis tanaman yang diteliti (Lense, 2011), oleh karena itu peneliti juga melakukan eksplorasi tanaman lain yang berpotensi sebagai antibakteri. Salah satu tanaman asli Indonensia yang dapat dimanfaatkan yaitu tanaman petai (Parkia speciosa, Hassk). Petai umumnya dikonsumsi oleh masyarakat sebagai lalapan. Menurut Orwa et al (2009) biji petai merupakan bagian yang umumnya dikonsumsi sebagai sayuran, tetapi bagian lain seperti bunga dapat pula dikonsumsi secara mentah. Biji petai diketahui mengandung senyawa alkaloid, terpenoid dan flavonoid, sedangkan daun petai mengandung senyawa terpenoid dan flavonoid (Kamisah, Qodriyah, Jaarin dan Othman, 2013). Pada kulit buah petai mengandung senyawa saponin, flavonoid, alkaloid, tanin, dan terpenoid (Jebarus, 2015). Senyawa


(25)

yang terdapat pada kulit batang pohon petai mengandung flavonoid, alkaloid dan terpenoid (Pratama, 2015).

Bunga petai memiliki bau yang khas. Menurut Junker, Heidinger dan Bluthgen (2010) bau atau aroma khas yang terdapat dalam bunga disebabkan karena adanya senyawa terpenoid. Menurut Heinrich (2005) pigmen pemberi warna pada bunga berasal dari senyawa golongan fenolik yaitu flavonoid. Menurut Swaati, Nitika, dan Veena (2014) senyawa alkaloid, saponin dan tanin dapat terkandung dalam bunga yang termasuk ke dalam famili Fabaceae. Oleh karena itu diduga bahwa bunga petai memiliki kandungan senyawa terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Swaati, Nitika, dan Veena, 2014 cit., Criagg dan David, 2001). Untuk mengetahui kebenaran adanya kandungan senyawa tersebut dalam bunga petai, perlu dilakukan pencarian kandungan senyawa yang terdapat dalam bunga petai dan potensinya sebagai antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli.

Kandungan senyawa yang terdapat pada tiap organ tanaman berbeda-beda, oleh karena itu dimungkinkan aktivitas antibakterinya pun akan berbeda. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terkait pencarian kandungan senyawa pada bunga dan potensinya sebagai antibakteri, sehingga diharapkan mendapat aktivitas antibakteri yang lebih baik.


(26)

1. Rumusan masalah

a. Apakah senyawa terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin terdapat dalam ekstrak etanol bunga petai ?

b. Apakah ekstrak etanol bunga petai memiliki aktivitas antibakteri terhadap

S.aureus dan E.coli ?

c. Berapa Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Maksimum (KBM) dari ekstrak etanol bunga petai terhadap S.aureus dan E.coli.

2. Keaslian penelitian

Sejauh pengamatan penulis, penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan uji aktivitas antibakteri bunga petai, meliputi :

a. Uji aktivitas antibakteri ekstrak kulit petai (Parkia speciosa Hassk.) terhadap

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Kurniawati, 2014).

b. Aktivitas antibakteri ekstrak biji petai terhadap pertumbuhan bakteri

Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Salmonella typhi, Shigella sonnei

dan Helicobacter pylori (Sakunpak dan Panichayupakaranant, 2012).

c. Potensi antibakteri ekstrak petroleum eter, kloroform, dan metanol biji petai terhadap Helicobacter pylori, ekstrak etil asetat biji petai terhadap Eschericia coli, suspensi air biji petai menghambat pertumbuhan Aeromonas hydrophila,

Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus anginosus,


(27)

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian lainnya adalah pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati (2014) menggunakan kulit petai yang diekstraksi dengan pelarut n--heksana, etil asetat dan etanol 70%, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis menggunakan bunga petai yang diekstraksi dengan etanol 70%. Penelitian yang dilakukan oleh Sakunpak dan Panichayupakaranant (2012) menggunakan biji petai yang diekstraksi dengan etil asetat dan etanol 70 %, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan bunga petai yang diekstraksi dengan etanol 70%. Selain itu penelitian yang dilakukan Kamisah dkk. (2013) menggunakan biji petai dengan penyari eter, kloroform, metanol dan air sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan bunga petai dengan penyari etanol.

Sejauh penelusuran pustaka dan pengetahuan penulis, penelitian mengenai pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai terhadap S. aureus dan

E.coli belum pernah dilakukan. 3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kekayaan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kesehatan tentang penggunaan bunga petai yang berkhasiat sebagai antibakteri.


(28)

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manfaat bunga petai sebagai pengobatan alternatif bagi masyarakat terutama untuk mengobati penyakit akibat infeksi S. aureus dan E. coli.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai terhadap S.aureus dan E. coli.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui adanya senyawa terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin yang terdapat dalam ekstrak etanol bunga petai.

b. Mengetahui nilai Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak etanol bunga petai terhadap S.aureus dan E. coli


(29)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Petai

1. Taksonomi tanaman

Klasifikasi tanaman petai menurut United States Departement of Agriculture

(2014) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae/Leguminosae Genus : Parkia

Species : Parkia speciosa Hassk.

Gambar 1. Tanaman petai (UniMAP, 2011). Gambar 2. Bunga Petai (JIRCAS, 2010).


(30)

2. Nama Lain

Petai dikenal dengan nama u’pang (Filipina), pete, petai papan, peuteuy (Indonesia), Chou dou, petai, petah, patai, patag, yiring, cong dou (Malaysia), sator, sataw, sator dan, sator kow, to dan, to khao (Thailand) (Orwa et al., 2009).

3. Deskripsi tanaman

Petai merupakan tumbuhan asli Malaysia, Brunei, Indonesia dan Semenanjung Thailand. Karakteristik tumbuhan petai yaitu ketinggian pohon mencapai 30 m dengan permukaan kulit batang halus berwarna coklat kemerahan, memiliki daun majemuk menyirip ganda dua dengan panjang 5-9 cm dan lebar 1,5-2,2 cm, ujung daun membulat dengan 14-18 pasang ibu tangkai daun yang panjangnya 3-9 cm, setiap ibu tangkai memiliki anak daun. Perbungaan bongkol dengan panjang tangkai bunga 20-45 cm, bunga kecil dan banyak, bewarna kuning kecoklatan, pangkal bongkol bunga merupakan kumpulan bunga jantan sedangkan bagian ujung bongkol merupakan kumpulan bunga betina. Bunga betina memiliki daun-daun mahkota dan kelopak berbentuk tabung. Buah polong dengan tangkai panjang dengan panjang buah 35-45 cm dan lebar 3-5 cm. Tiap buah mengandung 12-18 biji. Biji berbentuk bulat telur lebar dengan panjang 2-2,5 cm dan lebar 1,5-2 cm. Petai sering ditanam di daerah dataran rendah hingga daereh dengan ketinggian 1500 m dpl, namun tumbuh optimal pada daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl. Pohon petai dapat tumbuh pada hutan primer dan hutan sekunder di daerah dataran rendah (Wiriadinata dan Bamroongrugsa, 2010).


(31)

4. Manfaat tanaman

Biji petai yang muda atau tua dapat dimakan mentah atau dimasak sebagai makanan pelengkap. Daun muda dan dasar bunga dapat dimakan sebagai lalap. Pohon petai berguna sebagai pohon pelindung pada perkebunan kopi atau perkebunan tanaman hias. Berdasarkan aspek medis, biji petai memiliki khasiat untuk mengobati penyakit liver, edema, nefritis, diabetes dan antihelmentik. Pohon ini memiliki perakaran kuat dan cocok ditanam untuk memulihkan lahan-lahan kritis (Wiriadinata dan Bamroongrugsa, 2010).

5. Kandungan nutrisi

Biji petai diketahui kaya akan nutrisi antara lain protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin C, vitamin E (α-tocopherol). Vitamin B1 merupakan kandungan nutrisi yang cukup tinggi pada tanaman petai (Kamisahdkk., 2013).

6. Kandungan kimiawi

Komponen kimia tanin banyak tersebar pada pembungkus biji petai dan kulit buah petai. Tanin memiliki kemampuan untuk menurunkan proses cerna protein atau asam amino sehingga dapat mengurangi jumlah protein atau asam amino yang terabsorpsi. Protein tersebut berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Komponen kimia polisulfida berperan dalam memberikan bau yang khas pada biji petai. Komponen kimia fenolik cukup banyak terdistribusi pada beberapa bagian seperti pada biji, daun, kulit batang dan kulit buah petai, tetapi tidak terdapat pada pembungkus biji petai. Komponen kimia alkaloid terdistribusi pada bagian biji, kulit


(32)

batang, pembungkus biji dan pada kulit buah. Komponen kimia saponin terdapat pada pembungkus biji. Komponen kimia yang lain seperti terpenoid terdapat pada bagian biji dan daun. Selain itu komponen kimia flavonoid diketahui terdapat pada bagian biji, pembungkus biji dan kulit buah (Kamisah dkk., 2013). Flavonoid pada bunga berperan dalam memberikan warna menarik yang dapat membantu proses penyerbukan bunga, selain itu flavonoid diketahui memliki aktivitas sebagai antibakteri (Cushnie and Lamb, 2005).

B. Metode Ekstraksi

Ekstrak merupakan sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan cairan penyari simplisia menggunakan cara yang sesuai, tanpa pengaruh cahaya matahari langsung. Cairan penyari yang dapat digunakan yaitu air, eter, etanol atau campuran etanol dan air. Metode penyarian dengan cairan penyari berupa campuran etanol dan air dilakukan dengan maserasi atau perkolasi sedangkan dengan cairan penyari eter penyarian dilakukan dengan cara perkolasi (Badan POM R.I, 2010) .

Cara metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu : 1. Cara Dingin

a. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Pengulangan penambahan pelarut juga dapat dilakukan setelah dilakukan penyaringan maserat pertama yang disebut remaserasi.


(33)

b. Perkolasi adalah proses pengekstrakan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna, yang umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Prosesnya terjadi terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara Panas

a. Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan suhu titik didih pelarutnya, selama waktu tertentu dengan jumlah pelarut tertentu. Jumlah pelarut yang digunakan pada ekstraksi ini terbatas. Proses ekstraksi dilakukan pengulangan pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi lebih sempurna. b. Digesti adalah maserasi kinetik (pengadukan kontinu) pada suhu lebih tinggi daripada suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperature 40o– 50oC.

c. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air 96o– 98oC, proses pengekstrakan dilakukan selama 15 – 20 menit.

d. Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air dengan menggunakan penangas air sampai mencapai suhu titik didih air dengan waktu proses pengekstrakan yang lebih lama daripada infus

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

C. Maserasi

Metode ekstraksi yang digunakan yaitu maserasi. Prinsip maserasi yaitu serbuk simplisia kontak dengan pelarut, pelarut akan masuk ke dalam rongga sel


(34)

simplisia yang mengandung zat aktif. Komponen aktif simplisia akan larut dan akan berpindah ke pelarut. Komponen aktif yang larut bergantung pada kelarutannya dalam pelarut dan kemudian akan tejadinya transfer massa komponen aktif dari simplisia menuju ke pelarut. Transfer massa terjadi karena adanya gradien konsentrasi atau perbedaan konsentrasi antara komponen aktif didalam sel dan diluar sel. Kecepatan transfer massa komponen senyawa aktif akan berkurang jika konsentrasi senyawa aktif di dalam pelarut meningkat sampai mencapai titik keseimbangan. Titik keseimbangan diperoleh jika konsentrasi komponen aktif di dalam sel simplisia dan di dalam pelarut sama (United Nations Industrial Development Organization And The International Centre For Science And High Technology, 2008).

D. Senyawa Fitokimia 1. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan senyawa yang banyak tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara umum alkaloid bersifat basa karena adanya atom N dan pada umumnya atom N merupakan bagian dari cincin heterosiklik dan tingkat kebasaanya bargantung pada jumlah atom N. Ciri khas alkaloid yaitu alkaloid tidak terlalu stabil karena alkaloid biasanya mengalami degradasi atau dekomposisi akibat terpajan oleh udara, cahaya, lembab dan panas. Alkaloid diketahui cukup larut dalam pelarut alkohol seperti etanol dan metanol. Alkaloid dalam tumbuhan berfungsi sebagai zat beracun sehingga dapat melindungi dari serangan hewan herbivora atau


(35)

serangga, sebagai senyawa pelindung metabolik dari reaksi detoksifikasi, sebagai faktor pertumbuhan, dan sebagai zat yang berguna untuk menyuplai nitrogen atau unsur penting lainnya. Alkaloid yang diperoleh dari berbagai sumber tanaman selalu memberikan endapan nyata dengan pereaksi spesifik tertentu. Pereaksi pengendap alkaloid digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya alkaloid pada ekstrak kering atau bahan tumbuhan dan untuk memastikan suatu prosedur ekstraksi spesifik, telah membuang keseluruhan kandungan alkaloid (Kar, 2007).

Senyawa alkaloid sebagai antibakteri memiliki 2 mekanisme yaitu dengan menyisip pada DNA sehingga merubah strruktur ikatan DNA dan dengan menghambat sisntesis DNA dengan cara menghambat kerja enzim topoisomerase (Karou, 2005).

2. Fenolik

Senyawa fenolik atau polifenol pada dasarnya merupakan senyawa yang mewakili sekumpulan antioksidan alam yang digunakan sebagai nutrasetika. Senyawa ini memiliki kemampuan yang beragam antara lain untuk melawan kanker dan dapat dipertimbangkan untuk mencegah penyakit jantung. Polifenol dikelompokkan menjadi polifenolik flavonoid, asam –asam fenolat dan polifenol non flavonoid (Kar, 2007). 3. Flavonoid

Flavonoid dalam tanaman berperan dalam fotosensitisasi, transfer energi, hormon untuk pertumbuhan tanaman dan pengatur tumbuhan. Flavonoid berperan dalam mengontrol respirasi dan fotosintesis dan morfogenesis Senyawa ini memiliki


(36)

manfaat di alam berkat warnanya yang dapat menjadi daya tarik serangga dan burung sehingga dapat membantu proses penyerbukan tanaman (Cushnie and Lamb, 2005). Senyawa flavonoid juga berperan dalam memberikan warna kuning dan jingga pada mahkota bunga bahkan flavonoid tidak berwana mengabsorpsi cahaya pada spektrum UV karena memiliki banyak gugus kromofor (Heinrich, 2005).

Mekanisme kerja senyawa flavonoid sebagai antibakteri yaitu dengan membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler dan terlarut sehingga dapat merusak membran sel bakteri dan diikuti dengan keluarnya senyawa intraseluler. Flavonoid juga dapat berperan dalam inhibisi sintesis DNA dan RNA bakteri melalui ikatan hidrogen yang terbentuk. Senyawa ini juga mengganggu proses metabolisme energi dengan cara menghambat sistem respirasi sel bakteri. Sistem respirasi diperlukan untuk menghasilkan energi yang cukup. Energi dibutuhkan untuk penyerapan berbagai metabolit dan biosintesis makromolekul. Jika terjadi gangguan regulasi tersebut dapat menyebabkan sel bakteri lisis (Ngajow, 2013). 4. Saponin

Saponin merupakan glikosida yang secara alami aktif di permukaan tumbuhan dan memiliki rasa yang pahit. Bagian aglikonnya disebut sebagai sapogenin. Nama saponin diambil dari kemampuannya untuk membentuk busa stabil seperti sabun di dalam larutan cair. Kemampuannya untuk membentuk busa disebabkan oleh kombinasi sapogenin hidrofobik (larut dalam lemak) dan bagian gula hidrofilik (larut dalam air) (Syamsudin, 2013).


(37)

Mekanisme aksi antibakterinya yaitu saponin berdifusi melalui membran luar dan dinding sel bakteri, lalu merusak membran sitoplasma. Hal inilah yang menyebabkan membran sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel. (Ngajow, 2013).

5. Tanin

Tanin merupakan polifenol yang bersifat larut air dan memiliki bobot molekul tinggi. Berdasarkan bentuk kimiawinya, tanin terbagi menjadi 2 golongan yaitu tanin dapat terhidrolisis yang merupakan turunan dari asam galat yang dapat dihidrolisis oleh basa untuk membentuk asam sederhana dan gula dan tanin tidak dapat terhidrolisis atau yang disebut tanin terkondensasi (proantosianidin), berasal dari reaksi polimerisasi antar flavonoid. Sifat utama tanin dapat terhidrolisis ini mempunyai kemampuan berikatan dengan protein. menyamak kulit, dan sebagai astrigen (Heinrich, 2005).

Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Tanin bersifat astringen, yang dapat menginduksi enzim bakteri sehingga membentuk kompleks dengan enzim atau substrat yang ada pada bakteri sehingga membentuk ikatan kompleks dengan substrat atau enzim pada bakteri. b. Kompleks yang terbentuk dengan ion besi berhubungan dengan toksisitas tanin c. Ikatan kompleks yang terbentuk bersifat toksik, memiliki aksi di membran

bakteri sehingga mengganggu dinding sel bakteri sehingga dapat menyebabkan bakteri lisis (Akiyama, Fuji, Osamu, Oono, dan Itwasuki, 2001).


(38)

6. Terpenoid

Terpenoid merupakan senyawa yang diturunkan dari kombinasi dua atau lebih satuan isopren (C5). Prekursor terpenoid yaitu asam mevalonat. Terpenoid ditemukan

dalam hampir semua tanaman tingkat tinggi, dan terdapat dalam jamur dan lumut (Sarker dan Nahar, 2007). Senyawa terpenoid juga diketahui aktif melawan bakteri, mekanisme yang terjadi melibatkan pemecahan membran oleh komponen-komponen lipofilik. Mekanisme aksi lainnya yaitu mengganggu membran sitoplasma dari peran komponen-komponen yang bersifat hidrofobik (Ngajow, 2013).

E. Escherichia coli

Gambar 2. Escherichia coli dalam mikroskop elektron (Carr, 2011). Klasifikasi E.coli menurut Moder (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom : Bacteria

Divisi : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Bangsa : Enterobacteriales Suku : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia


(39)

Bakteri E.coli ditemukan pertama kali oleh Theodor Escherich pada abad ke 19 sebagai bakteri flora normal yang memproduksi vitamin K untuk mencerna makanan pada saluran pencernaan. Sebagian besar strain E.coli bersifat non patogenik tetapi beberapa strain E.coli ada yang bersifat patogenik. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek, berukuran lebar 1-1,5 µm x panjang 2-6 µm dan dapat hidup soliter membentuk coccoid bipolar maupun berkelompok sehingga membentuk filamen-filamen berukuran panjang. Dinding sel terdiri dari lipopolisakarida serta membran luar berikatan dengan periplasma. Pada umumnya bersifat motil dengan flagella, tidak membentuk spora, merupakan jenis bakteri aerob atau fakultatif anaerob. Metabolisme yang dijalankan yaitu oksidasi dan fermentasi. 1. Enterotoksin dan eksotoksin

Jenis eksotoksin (superantigen) atau faktor virulensi yang dihasilkan yaitu :

shiga-like toxin (toksin AB), toksin ini dihasilkan oleh E.coli enteropatogenik O157:H7. Toksin ini terdiri dari 2 sub unit A dan B. Sub unit B berikatan dengan permukaan reseptor sel host dan menghantarkan subunit A melewati membran sel. superantigen ini menginduksi hilangnya cairan dari saluran usus (Brooks, Carrol, Butel, Morse dan Mietzner, 2010). E.coli memiliki endotoksin yang berupa lipopolisakarida (LPS) yang terdiri dari 3 komponen, yaitu :

a. O polisakarida : Komponen ini mengandung galaktosa, manose, glukosa, ramnosa, abequosa, kolitose dan berikatan dengan core polisakarida tetapi memiliki ikatan yang lebih panjang dibandingkan core polisakarida, bersifat hidrofilik dan


(40)

merupakan komponen antigen yang utama. Antigen O ini merupakan target aksi sistem komplemen sel host, tetapi ketika terjadi reaksi untuk memutus ikatan polisakarida, komplemen sistem imun gagal untuk memberikan efek litik pada bakteri secara normal karena bakteri yang virulen akan resisten terhadap serangan sistem imun sel host, oleh karena itu tubuh akan memproduksi antibodi, berinteraksi pada permukaan bakteri, membentuk ikatan komplemen sehingga dapat melisiskan bakteri.

b. Core polisakarida : polisakarida yang terletak diantara O polisakarida dan lipid A dan mengandung galaktosa, glukosa, N-asetilglukosamin, heptosa dan ketodeoksioktonat.

c. Lipid A : komponen yang mengandung glukosamin dan fosfat yang berikatan dengan asam lemak, memberikan efek toksik, dan bersifat hidrofobik. Endotoksin ini akan diproduksi saat bakteri lisis akibat adanya aksi perlawanan dari sistem imun atau antibiotik. Endotoksin akan memberikan efek fisiologi seperti demam, diare, dan muntah bahkan dapat menyebabkan kematian akibat nekrosis membran atau

hemorrhagic shock. Demam terjadi karena sel host distimulasi untuk mengeluarkan protein endogen yang bersifat pirogen yang mempengaruhi sistem saraf pusat pengatur suhu tubuh

(Baker dkk., 2007). Lipopolisakarida bakteri gram negatif berasal dari dinding sel dan sering dilepaskan ketika bakteri lisis. Zat ini bersifat stabil dalam panas, mempunyai berat


(41)

molekeul antara 3000-5000. Lipopolisakarida pada aliran darah pada mulanya terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian berinteraksi dengan makrofag, monosit dan sel. Efek patofisiologi yang timbul yaitu demam, leukopenia, dan syok yang mengakibatkan gangguan organ–organ penting. Lipopolisakarida juga menyebabkan trombosit menempel pada endotel pembuluh darah menyebabkan oklusi pembuluh darah kecil, yang dapat menyebababkan nekrosis hemorrhagik atau iskemik pada berbagai organ (Brooks dkk., 2010).

2. Komponen antigen

Strain E.coli menghasilkan infeksi yang bermacam-macam dan spesifik berdasarkan serotipe atau komponen antigenik yang dimiliki yang terdiri dari lipopolisakarida (O), kapsul (K) dan flagella (H). Antigen O merupakan bagian terluar dinding sel liposakarida yang tersusun atas polisakarida dan bersifat resisten terhadap panas dan alkohol dan terdeteksi melalui aglutinasi bakteri. Antigen K merupakan bagian terluar dari antigen O pada beberapa enterobacteriae. Antigen K pada E.coli

menyebabkan perlekatan bakteri ke sel epithelia sebelum menginvasi saluran cerrna atau saluran kemih. Antigen H terletak pada flagella dan terdenaturasi oleh panas atau alkohol (Brooks dkk., 2010).

3. Patogenesis dan manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari infeksi strain E.coli terdiri dari : a. Infeksi saluran kemih


(42)

E.coli merupakan bakteri yang menjadi penyebab sekitar 90% infeksi saluran kemih pada perempuan muda. Oganisme ini disebut E.coli uropatogenik. Gejala dan tanda meliputi sering berkemih, disuria, hematuria, dan piuria. Sebagian besar infeksi saluran kemih disebabkan oleh antigen O yang memproduksi faktor virulensi yaitu hemolisin, bersifat sitotoksik yang dapat menginvasi jaringan.

b. Penyakit diare.

E. coli yang menyebabkan diare dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor virulensinya :

1) E.coli enterotoksigenik (ETEC) : penyebab “diare turis” dan diare pada bayi di negara berkembang. Beberapa galur ETEC menghasilkan eksotoksin labil-panas yang secara genetik dikendalikan oleh plasmid yang terdiri dari 2 sub unit: Sub unit B melekat pada sel epitel usus halus dan mempermudah masuknya sub unit A ke dalam sel yang mengakibatkan hipersekresi air dan klorida yang berlebihan, menghambat reabsorpsi natrium dan terjadi hiperosmolitas yang berlebihan. Beberapa galur ETEC dapat menghasilkan enterotoksin stabil panas yang juga dapat merangsang sekresi cairan.

2) E.coli enteropatogenik (EPEC): penyebab diare pada bayi khususnya di negara berkembang, mirip dengan ETEC tetapi berbeda faktor virulensi. Akibat infeksi EPEC terjadi diare cair yang dapat sembuh spontan tetapi dapat menjadi kronis. 3) E.coli enteroinvasif (EIEC) : penyakit yang sangat mirip dengam shigelosis. Galur


(43)

4) E.coli enteroagregratif (EAEC) : penyebab diare akut dan kronik yang terjadi di negara berkembang dengan durasi 14 hari disertai dengan sindrom uremik hemolitik dan gagal ginjal akut. Di negara maju galur ini merupakan penyebab penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan. Galur ini menghasilkan toksin mirip shiga (shiga like toksin) dan hemolisin. Serotipe E.coli penghasil shiga like

toksin yang paling banyak ditemukan yaitu O157:H7. c. Sepsis

Sistem imun atau pertahanan tubuh normal pada pejamu yang tidak adekuat, dapat menyebabkan bakteri E.coli masuk ke aliran darah. Suatu keadaan banyaknya bakteri di dalam darah disebut dengan sepsis. Kelompok neonatus sangat rentan terhadap sepsis E.coli karena tidak mempunyai antibodi IgM. Sepsis dapat juga terjadi sekunder akibat infeksi saluran kemih.

d. Meningitis

Meningitis akut pada neonatus (4-6 bulan) dan anak berumur 6 tahun yang belum divaksinasi, sering disebabkan oleh bakteri kelompok Streptococcus dan E.coli. E.coli juga merupakan penyebab utama dari meningitis pada janin. Sekitar 75% E.coli

penyebab meningitis memiliki antigen K1 yang beraksi silang dengan polisakarida kapsuler grup B N.meningitidis. Meningitis bakteri akut akan mematikan jika tidak diobati


(44)

F. Staphylococcus aureus

Gambar 3. Staphylococcus aureus dalam mikroskop elektron (Carr, 2014). Klasifikasi E.coli menurut National Microbial Pathogen Data Resources

(2008) adalah sebagai berikut : Kingdom : Bacteria

Divisi : Firmicutes Kelas :Bacilli Bangsa :Bacillales

Suku : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Species : Stapylococcus aureus

S. aureus adalah bakteri Gram positif dan jika diamati di bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran diameter 0,5-1.5µm dan memiliki pigmen kuning. Dinding sel terdiri dari lapisan peptidoglikan tipis, tidak membentuk spora, kapsul atau flagella. Bakteri ini bersifat aerob atau aerob fakultatif sehingga mampu menghasilkan asam dari glukosa secara aerob ataupun anaerob, non-motil. Pertumbuhan koloni rendah pada temperatur rendah, sedangkan temperatur optimum


(45)

untuk pertumbuhan koloni yaitu 37oC dengan ph 7,2. Bakteri ini bersifat halotolerant yaitu dengan adanya penurun pH lingkungan pertumbuhan, bakteri ini masih mampu mentoleransi untuk tumbuh. Bakteri ini mampu memfermentasi mannitol serta menjalankan dua macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi (Madigan, Martinko, Dunlap, and Clark, 2009).

1. Enterotoksin dan eksotoksin

Jenis eksotoksin atau faktor virulensi yang dihasilkan yaitu: shiga toksin, α toksin, toxin shock syndrome (SA), Exfoliating toxin A dan B, leukocidin, ß toksin, ∂ toksin, dan enterotoksin A, B, C,D, E dan enzim. Eksotoksin akan diproduksi selama bakteri tersebut hidup. Enterotoksin yang umum diproduksi yaitu enterotoksin A yang stabil terhadap panas sehingga dapat menyebabkan keracunan makanan. Enterotoksin A merupakan protein yang dikode entA dalam kromosom gen bakteri sedangkan Enterotoksin B dan C berada dalam plasmid, lisogenik bakteriofage. Beberapa galur

S.aureus menghasilkan enterotoksin. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus

merupakan antigen super (Madigan dkk., 2009). 2. Patogenesis dan manifestasi klinis

S.aureus merupakan merupakan bakteri komensal dan parasit pada hewan atau manusia yang dapat menyebabkan infeksi. Bakteri ini merupakan flora normal pada membran mukosa dan kulit pada manusia walaupun sebagai flora normal tetapi bakteri ini dapat menimbulkan suatu penyakit infeksi oportunistik seperti infeksi saluran urogenital. Sebagian besar terjadi pada infeksi kulit akibat adanya luka dan


(46)

saluran pernafasan yang mana S. aureus akan memfermentasikan mannitol dan memproduksi pigmen kuning sehingga mudah dideteksi.

Enterotoksin dapat menyebabkan sekresi air berlebihan pada saluran usus yang dapat menyebabkan mual dan muntah. Enzim koagulase berhubungan dengan sifat kepatogenannya, enzim ini menyebabkan fibrin berkoagulasi dan membentuk gumpalan sebagai pelindung dari serangan sel host sehingga mencegah fagositosis pada bakteri. Enzim katalase digunakan sebagai uji untuk membedakan genus

Staphylococci lainnya. Uji ini dapat membedakan genus Staphylococcus yang memproduksi atau tidak memproduksi enzim katalase (Madigan et al, 2009).

G. Antimikroba

Biosida adalah agen fisik atau kimia yang yang bekerja menonaktifkan mikroorganisme. Agen biosida memiliki sifat bakteriostatik dan bakteriosidal. Sifat bakteriostatik yang dimiliki mampu menghambat multipikasi bakteri. Multipikasi bakteri akan dihambat bila agen antimikroba dihilangkan. Bakteriosidal merujuk pada biosida yang mampu membunuh bakteri. Organisme yang terbunuh tidak mampu bereproduksi, bahkan setelah dihilangkan kontak dengan agen antimikroba.

Beberapa contoh agen antimikroba :

2. Sterilisaasi merupakan biosida fisik yang berupa panas. Sterilisasi merupakan proses khusus yang digunakan untuk membuat suatu permukaan atau produk bebas dari mikroorganisme yang juga mencakup spora bakteri.


(47)

3. Desinfektan adalah produk biosida yang digunakan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme dalam suatu permukaan atau produk hingga mencapai tingkat yang telah ditetapkan atau layak untuk digunakan atau diolah lebih lanjut. Desinfektan tidak harus bersifat sporisidal tetapi dapat pula sporostatik.

4. Antiseptik adalah suatu produk yang dapat merusak atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme di atau di dalam jaringan hidup

5. Pengawet merupakan agen yang digunakan untuk mencegah multiplikasi mikroorganisme dalam produk yang diformulasi antara lain farmaseutika dan makanan.

6. Antibiotik merupakan suatu senyawa organik sintetik atau alami yang menghambat pertumbuhan bakteri atau merusak bakteri. Kemampuannya untuk menghambat atau merusak umumnya berada pada konsentrasi rendah (Brooks dkk., 2010).

H. Uji Aktivitas Antibakteri 1. Pengujian Aktivitas Antibakteri

Metode yang dapat dapat digunakan untuk menguji potensi agen antimikroba pada suatu mikroba antara lain :

a. Metode dilusi, dibedakan menjadi : 1) Metode dilusi cair /broth dilution test


(48)

Metode ini digunakan untuk mengukur Kadar Hambat Minimum (KHM) ataua Kadar Bunuh Minimum (KBM). Prinsip metode ini yaitu substansi antimikroba dalam kadar bertingkat (biasanya pengenceran dua kali lipat) dicampurkan ke dalam medium bakteriologis solid atau cair. Tujuan metode ini untuk mengetahui besarnya konsentrasi minimum yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi diteteapkan sebagai KBM. Kelebihan metode ini adalah data yang didapatkan merupakan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba tertentu yang dapat mengambat atau membunuh mikroba uji.

2) Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat.

b. Metode difusi dibedakan menjadi : 1) Metode disc diffusion

Metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas antimikroba. Agen mikroba diletakkan dalam media agar yang telah ditanami mikroorganisme, yang nantinya akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya penghambatan pertumbuhan mikroorganisme.


(49)

2) Cup plate technique

Pada metode ini dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan selanjutnya pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme ditunjukkan dengan adanya area jernih

(Pratiwi, 2008). 2. Pengujian Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum

(KBM)

Pengujian KHM dilakukan dengan metode dilusi untuk menentukan konsentrasi terendah antimiroba yang efektif untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Metode ini dilakukan dengan cara antimikroba dengan konsentrasi tertentu dilarutkan dalam media kemudian diinokulasi mikroorganisme sesuai standar tertentu. Hasil yang diinginkan yaitu media dengan konsentrasi antimikroba terendah yang jernih yang bebas dari pertumbuhan mikroba. Keuntungan pengujian KHM ini dapat memberikan perkiraan konsentrasi obat yang tepat untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga bermanfaat untuk membantu menentukan dosis yang dibutuhkan pasien. Kadar Bunuh Minimum dapat ditentukan dengan melakukan subkultur konsentrasi antimikroba terendah yang jernih ke media agar bebas antimikroba (Brooks dkk., 2010).


(50)

3. Pengukuran Pertumbuhan Bakteri

Pengukuran pertumbuhan bakteri dapat ditentukan dengan berbagai cara, salah satu cara yaitu dengan memperkirakan jumlah bakteri secara tidak langsung yang diamati berdasarkan :

a. Kekeruhan : merupakan metode untuk mengetahui adanya pertumbuhan mikroorganisme. Prinsip metode ini dengan melihat kekeruhan media cair dengan alat spektrofotometer. Seiring dengan bertambahnya sel bakteri dalam media cair media tersebut akan menjadi keruh. Prinsip kerja alat ini dengan mentransmisikan berkas cahaya melalui suspensi bakteri lalu diteruskan ke detektor sensitif cahaya, jika jumlah bakteri meningkat sedikit cahaya yang akan diteruskan ke detektor yang akan terukur pada skala alat yang berupa persentasi transmisi atau nilai absorbans atau densitas optik (optical density). Nilai absorbani ini yang akan digunakan untuk memperkirakan jumlah bakteri

b. Aktivitas metabolik : prinsip metode ini dengan mengukur aktivitas metabolik populasi bakteri seperti asam, atau karbon dioksida yang menujukkan proporsi keberadaan bakteri.

c. Bobot kering : metode ini digunakan untuk bakteri berfilamen dan kapang dengan cara menentukan bobot kering. Metode ini dilakukan dengan cara bakteri atau kapang dipindahkan dari media pertumbuhan, disaring untuk mneghilangkan materi pengganggu lain, dikeringkan kemudian ditimbang


(51)

I. Landasan Teori

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri S.aureus dan E. coli merupakan penyakit yang sering diderita oleh masyarakat dan merupakan penyebab kematian di dunia. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan eksplorasi bahan alam yang berpotensi sebagai antibakteri yang aman dan efektif.

Biji petai mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, fenolik dan flavonoid (Kamisah dkk., 2013) sedangkan menurut Jebarus (2015) pada kulit buah mengandung saponin, flavonoid, alkaloid, tanin, fenolik dan terpenoid. Pada kulit batang pohon petai mengandung flavonoid, alkaloid, fenolik dan terpenoid (Pratama, 2015). Bunga petai memiliki bau yang khas. Menurut Junker dkk., (2010) bau atau aroma khas yang terdapat dalam bunga disebabkan karena adanya senyawa terpenoid. Menurut Heinrich (2005) pigmen pemberi warna pada bunga berasal dari senyawa golongan fenolik yaitu flavonoid. Menurut Swaati dkk., (2014) senyawa alkaloid, saponin dan tanin juga dapat terdistribusi dalam bunga yang termasuk ke dalam famili Fabaceae. Oleh karena itu diduga bahwa bunga petai memiliki kandungan senyawa terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki aktivitas antibakteri (Swaati dkk., 2014).

Untuk mendapatkan senyawa kimia yang terkandung dalam bunga petai dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan penyari etanol. Etanol mampu melarutkan senyawa kimia yang bersifat semipolar sampai polar seperti alkaloid, tanin, saponin fenolik dan flavonoid. Alkaloid bersifat semipolar karena


(52)

adanya gugus amina, amida, fenol dan metoksi yang dimungkinkan dapat tertarik oleh etanol. Etanol juga dapat menarik senyawa fenolik yang cenderung larut dalam air. Tanin juga memiliki gugus fenolik sehingga dapat larut pada pelarut polar. Saponin memiliki ikatan glikosida dan flavonoid memiliki ikatan dengan gugus gula yang membuat kedua senyawa ini bersifat polar (Siedel, 2008).

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumuran. Hasil yang diperoleh menggunakan metode difusi sumuran yaitu adanya daerah penghambatan (zona hambat) yang menujukkan terhambatnya pertumbuhan bakteri disekitar sumuran. Pengukuran KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi cair. Hasil metode dilusi cair ditunjukkan dengan media jernih yang mengandung konsentrasi ekstrak etanol bunga petai terendah yang menujukkan bebas dari pertumbuhan mikroba.

Penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan informasi ilmiah mengenai manfaat bunga petai sebagai salah satu antibakteri alternatif untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus dan E. coli.

J. Hipotesis

Senyawa kimia yang terdapat dalam bunga petai yaitu terpenoid, flavonoid, alkaloid, saponin dan tanin, oleh karena itu ekstrak etanol bunga petai memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli.


(53)

31 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Laboratorium Mikrobiologi, Balai Kesehatan Yogyakarta.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variable penelitian

a. Variabel bebas : konsentrasi ekstrak etanol bunga petai.

b. Variabel tergantung : diameter zona hambat serta KHM dan KBM.

c. Variabel pengacau terkendali: asal tanaman, cairan penyari, media penanaman bakteri, waktu inkubasi, suhu inkubasi, jenis bakteri uji, volume larutan uji yang diinokulasikan, kepadatan suspensi bakteri uji setara dengan larutan Mc Farland 0,5.

d. Variabel pengacau tak terkendali : umur tanaman 2. Definisi operasional

a. Bunga petai adalah seluruh bagian bunga yang berupa bongkol bundar yang bewarna kuning kecoklatan, tanpa tangkai bunga.


(54)

b. Aktivitas antibakteri adalah kemampuan ekstrak etanol bunga petai untuk menghambat pertumbuhan mikroba uji S. aureus dan E.coli dibandingkan dengan kontrol negatif (DMSO 5%) dengan metode difusi sumuran.

c. Zona hambat adalah daerah jernih yang menujukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri S. aureus dan E.coli disekitar lubang sumuran.

d. KHM adalah konsentrasi terendah ekstrak etanol bunga petai yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli.

e. KBM adalah konsentrasi terendah ekstrak etanol bunga petai yang dapat membunuh bakteri S. aureus dan E. coli

f. Berbeda bermakna (BB) merupakan perbedaan yang secara statistik bermakna antara 2 kelompok yang dibandingkan.

g. Berbeda tidak bermakna (BTB) merupakan perbedaan yang sangat kecil dan secara statistik tidak bermakna atau dikatakan sama antara 2 kelompok yang dibandingkan.

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan adalah bunga petai (Parkia speciosa) yang diperoleh dari Kabupaten Sleman, Yogyakarta, kultur murni S.aureus ATCC 25923 dan E.coli ATCC 25922 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta, Media Mueller Hinton Agar (MHA) dan Media


(55)

Brataco®), larutan standar Mc Farland 0,5 (1,5.108 CFU/mL), suspensi S.aureus

ATCC 25923 dan E.coli ATCC 25922, amoksisillin (Bernofarm), Dimetilsulfoksida (DMSO).

D. Alat Penelitian

Alat-alat gelas (Pyrex dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma), pengayak, moisture balance (HG53 Halogen Moisture Analyzer), rotary evaporator (Buchi Labortechnik AG CH-9230), waterbath (Memmert), neraca analitik (Mettler pc-2000), oven (Memmert), incubator (Hareus), autoklaf (KT-40. ALP Co.Ltd Hamurasi Tokyo Japan), Microbial safety Cabinet, Laminar Air flow, penggaris (butterfly), kertas saring, jarum ose, vortex, shaker (InnovaTM2100), pelubang sumuran berdiameter 6 mm, mikropipet (Socorex), tabung eppendorf, flakon, kulkas (Samsung), spektrofotometer UV-Vis.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi bunga petai

Determinasi bunga petai dilakukan di CV. Merapi Farma Herbal, Yogyakarta. Bunga Petai dideterminasi secara makroskopis dengan mencocokan ciri-ciri yang ada pada tanaman dan disertai dengan surat keterangan keaslian tanaman dari CV Merapi Farma Herbal Yogyakarta


(56)

2. Pengumpulan bahan bunga petai

Sampel yang digunakan adalah bunga petai yang diambil dari Kabupaten Sleman. Bagian yang diambil adalah seluruh bagian bunga yang berupa bongkol bundar yang bewarna kuning kecoklatan, tanpa tangkai bunga.

3. Pengeringan dan pembuatan serbuk

Pengeringan dilakukan pada ruang pengering simplisia. Pengeringan dilakukan sampai bunga kering dan mudah diremukkan, kemudian bunga diserbuk hingga halus. Serbuk yang diperoleh diayak hingga diperoleh serbuk bunga dengan ukuran yang homogen. Kemudian serbuk disimpan dalam wadah tertutup rapat, pada suhu ruangan dan terlindung dari sinar matahari.

4. Penetapan susut pengeringan serbuk bunga petai

Penetapan susut pengeringan serbuk bunga petai dilakukan dengan menggunakan moisture balance. Penetapan susut pengeringan dilakukan dengan menimbang 5 gram serbuk pada moisture balance, lalu diukur selama 15 menit dengan suhu 105oC dan hasil pengukuran dinyatakan dalam persen.

5. Pembuatan ekstak etanol bunga petai

Pembuatan ektrak etanol bunga petai dilakukan dengan menggunakan metode maserasi dengan perbandingan 1:10. Tahap awal maserasi dilakukan dengan merendam 50 gram serbuk bunga petai (10 bagian serbuk), dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, lalu dilarutkan dalam 375 ml pelarut etanol 70 %. (75 bagian cairan


(57)

penyari) (Badan Pegawas Obat dan Makanan RI, 2010). Maserasi dilakukan selama 2x24 jam dengan bantuan shaker. Hasil maserat yang diperoleh disaring dengan menggunakan corong Buchner yang dilapisi kertas saring dengan bantan pompa vakum, kemudian serbuk dari hasil penyaringan diremaserasi dengan pelarut baru sebanyak 125 ml selama 1x 24 jam.

Hasil maserat pertama dan kedua dicampur dan duapkan dengan rotary evaporator pada suhu 70oC untuk menguapkan pelarut yang terdapat pada ekstrak, kemudian ekstrak ditempatkan pada cawan petri dan diuapkan kembali diatas water bath dengan suhu 50-60oC untuk menghilangkan pelarut yang kemungkinan masih terdapat pada ekstrak. Ekstrak diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental dengan bobot tetap yang telah dipersyaratkan.

6. Identifikasi kandungan senyawa kimia ekstrak etanol bunga petai dengan uji tabung

a. Pembuatan larutan uji

Pembuatan larutan uji untuk uji fitokimia dilakukan dengan cara, 500 mg ekstrak kental bunga petai dilarutkan ke dalam 50 ml etanol 70%.

b. Uji pendahuluan

Dua gram serbuk bunga petai ditambahkan dengan 20 mL aquadest, dipanaskan selama ±15 menit diatas waterbath, selanjutnya disaring. Jika larutan menjadi berwarna merah hingga kuning dan saat penambahan KOH LP, warna


(58)

larutan menjadi lebih intensif menunjukkan adanya senyawa yang mengandung kromofor dengan gugus hidrolik.

c. Uji fenolik

Sebanyak 3 ml larutan uji ditambahkan dengan ± 3 tetes larutan FeCl3 1

%. Hasil positif adanya senyawa fenolik ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau, merah, ungu atau hitam (Jones dan Kinghorn, 2006).

d. Uji flavonoid

Sebanyak 3 ml larutan uji ditetesi dengan ± 2 tetes NaOH LP maka akan terjadi pembentukan intensitas warna kuning. Dengan penambahan HCl terjadi perubahan intensitas warna kuning. Adanya perubahan warna menunjukkan hasil positif bahwa terdapat senyawa flavonoid.

e. Uji tanin

Sebanyak 1 ml larutan uji ditambahkan dengan ± 3 tetes larutan FeCl3

10%. Hasil positif adanya senyawa tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru tua, atau biru kehitaman (Jones dan Kinghorn, 2006).

f. Uji alkaloid

Sebanyak 2 ml larutan uji diuapakan dengan menggunakan porselin diatas penangas air ± 5 menit. Larutan uji yang telah diuapakan, kemudian dilarutkan dengan 5 ml HCl 2 N. Larutan yang diperoleh dibagi dalam 3 tabung reaksi yaitu : larutan HCl, larutan HCl dengan penambahan 3 tetes pereaksi Dragendorff, dan larutan HCl dengan penambahan 3 tetes pereaksi Mayer. Hasil


(59)

positif ditunjukan dengan terbentuknya endapan jingga pada larutan yang ditambahkan pereaksi Dragendorff dan endapan putih hingga kekuningan pada larutan yang ditambahkan pereaksi Mayer (Jones dan Kinghorn, 2006).

g. Uji terpenoid

Larutan uji sebanyak 2,5 ml dicampur dengan 1 ml kloroform kemudian ditambahkan 1,5 ml H2SO4 pekat secara hati-hati melewati dinding tabung. Hasil

positif adanya senyawa terpenoid ditunjukkan dengan terbentuknya cincin warna coklat kemerahan pada permukaaan dalam larutan (Edeoga, Okwu, dan Mbaebre, 2005).

h. Uji saponin

Sebanyak 100 mg serbuk bunga petai ditambahkan 10 mL aquadest ke dalam tabung reaksi, ditutup dan dikocok kuat-kuat selama 30 detik. Tabung dibiarkan dalam posisi tegak. Apabila terbentuk buih setinggi kurang lebih 1-10 cm selama ± 10 menit pada permukaan cairan dan setelah penambahan ± 1 tetes HCl 2 N busa tidak hilang, maka menujukkan adanya senyawa saponin (Departemen Kesehataan RI, 1995).

7. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol bunga petai terhadap S. aureus dan E. coli

a. Sterilisasi alat dan bahan

Seluruh alat gelas laboratorium yang akan digunakan untuk pengujian aktivitas anitbakteri dicuci dengan sabun dan dikeringkan. Alat-alat gelas


(60)

dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian dibungkus dengan kertas. Semua alat yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 30 menit. Jarum ose disterilkan dengan memijarkan pada api bunsen, dan tabung mikropipet disterilkan dengan direndam pada alkohol.

b. Pembuatan pelarut ekstrak

Pelarut yang akan digunakan yaitu DMSO konsentrasi 5% v/v. Pembuatan DMSO 5% dilakukan dengan cara melarutkan 5 ml DMSO, kemudian di tambahkan dengan aquadest sampai 100 mL.

c. Pembuatan variasi konsentrasi larutan uji

Ekstrak etanol bunga petai untuk uji potensi antibakteri menggunakan 5 seri konsentrasi. Konsentrasi 50% didapatkan dengan melarutkan 3 gram ekstrak kental dengan 6 mL DMSO 5%, kemudian dilakukan pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi 25%; 12,5%; 6,25%; 3,125%. Kontrol negatif digunakan DMSO 5% dan sebagai kontrol positif digunakan amoksisilin 125mg/5ml.

Tabel I. Pembuatan Variasi Konsentrasi Uji. Konsentrasi larutan uji

(%)

Volume yang diambil dari stok larutan uji(mL)

Volume DMSO yang ditambahakan (mL)

25 2 4

12,5 2 4

6,25 2 4

3,125 2 4

d. Identifikasi bakteri uji


(61)

Bakteri diinokulasi di media geolitik, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Bila terdapat endapan hitam pada media geolitik diduga bakteri tersebut merupakan Staphylococcus. Bakteri diisolasi dari media geolitik ke media Enrich, diinkubasi selama 2 X 24 jam pada suhu 37oC. Jika terdapat kabut putih diduga bakteri Staphylococcus. Kemudian, diambil 1-2 ose bakteri, diinokulasikan ke media gula (glukosa, laktosa, manitol, maltosa, sakarosa), media Simons Citrat (SC), media Sulfur Indol Motil (SIM) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Tahap selanjutnya dilakukan uji koagulase dan pengecatan Gram.

2) Escherichia coli

Bakteri diinokulasi di media penyubur Brilliant Green Lactose Blue

(BGLD), kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37oC. Jika terdapat koloni berwarna biru diduga bakteri Escherichia. Tahap selanjutnya, bakteri diisolasi lalu ditanam ke media TBX (Tryptone Bile X-Glucoronide) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Pada media isolasi setelah 24 jam diduga adanya Escherichia coli dengan timbulnya warna hijau, kemudian bakteri diambil 1-2 ose, diinokulasi ke dalam media gula (glukosa, sakarosa, laktosa, maltose, manitol), SC (Simon Citrat), SIM (Sulfur Indol Motil) dan diinkubasi selama 24 jam. Tahap selanjutnya dilakukan pengecatan Gram.

e. Pembuatan stok bakteri uji

Bakteri diambil sebanyak 1-2 ose dari kultur murni mikroba simpanan, diinokulasikan ke 5 mL MHA dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.


(62)

f. Pembuatan suspensi bakteri uji

Bakteri diambil sebanyak 1-3 ose dari stok kultur mikroba, kemudian diinokulasikan ke dalam tabung reaksi yang berisi MHB dan divortex agar tercampur merata. Suspensi bakteri yang telah dibuat disetarakan kekeruhanya dengan larutan Mac Farland 0,5 (1,5 X 108 CFU).

g. Uji aktivitas antibakteri ekstrak bunga petai dengan metode difusi sumuran. Inokulasi bakteri uji dilakukan dengan menggunakan metode Kirby Bauer. Bakteri uji S. aureus dan E. coli diinokulasikan dengan cara diusap secara merata pada media 20 mL MHA yang telah memadat pada petri. Setelah bakteri diinokulasikan, dibuat sumuran dengan menggunakan pelubang sumuran berdiameter 6 mm sebanyak 5 buah lubang sumuran. Kelima lubang sumuran diisi dengan konsentrasi ekstrak etanol bunga petai, sedangkan lubang sumuran yang akan diisi kontrol positif dan negatif dibuat dalam satu petri yang sama tetapi berbeda petri dengan perlakuan konsentrasi ekstrak. Tiap lubang sumuran pada media yang telah diinokulasikan bakteri uji diisi dengan 50 µL senyawa uji yang terdiri dari amoksisilin 125 mg/5 ml sebagai kontrol positif dan DMSO 5 % sebagai kontrol negatif. Lubang sumuran pada petri lainnya yang telah diinokulasi bakteri uji, diisi 50 µL ekstrak etanol bunga petai dengan konsentrasi 50%; 25%; 12,5%; 6,25% dan 3,125%. Semua petri yang telah berisi bakteri uji dan senyawa uji pada tiap lubang sumuran diinkubasi selama 24 jam pada suhu


(63)

37oC selanjutnya diamati ada atau tidaknya zona jernih disekitar sumuran. Zona jernih yang tampak diukur dengan penggaris.

8. Penentuan KHM dan KBM dengan metode dilusi cair

Penentuan KHM dan KBM dilakukan dengan metode dilusi cair dengan menggunakan media MHB dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis sebelum dan sesudah inkubasi untuk melihat pertumbuhan bakteri uji. Pengujian dilakukan dengan membuat dan mengambil 5 mL media MHB dimasukkan ke tiap tabung reaksi, ditambahkan 200 L larutan ekstrak etanol bunga petai dengan konsentrasi yang berbeda untuk dimasukkan pada tiap tabung reaksi. Konsentrasi larutan ekstrak etanol yang dibuat meliputi 13 seri konsentrasi (50%; 43,75%; 37,50%; 31,25%; 25%; 12,5%; 10,938%; 9,375%; 7,813%; 6,25%; 3,125%; 1,563% dan 0,782%. Tiap tabung yang telah berisi media MHB dan larutan ekstrak ditambahkan kembali dengan 200 L suspensi bakteri uji yang telah distandarisasi kekeruhannya dengan larutan Mac Farland 0,5 kemudian divortex dan tabung reaksi tersebut diukur absorbansi atau Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer ( 480 nm) sebagai pembanding sebelum inkubasi atau kontrol. Setiap satu kali pengukuran OD selesai, dilakukan autozero dengan menggunakan blanko yang berisi konsentrasi larutan ekstrak dan media.

Semua tabung reaksi setelah dihitung kekeruhan atau OD, diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C dalam inkubator. Keseluruhan tabung reaksi yang telah diinkubasi, selanjutnya diukur kembali OD. Penentuan KHM dilakukan dengan


(64)

mengukur OD setelah inkubasi dikurangi OD sebelum inkubasi. Apabila terdapat konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan bakteri, ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan (∆OD≤ 0), maka didapatkan KHM.

Uji lanjutan dilakukan untuk menentukan KHM atau KBM dengan cara mengambil 1-2 ose larutan konsentrasi terendah yang menunjukkan ∆OD = 0 atau yang menujukkan KHM, dinokulasikan pada media MHA steril baru dengan metode streak plate, kemudian media tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. Apabila setelah inkubasi menunjukkan adanya pertumbuhan koloni pada hasil steak plate atau goresan, maka didapatkan KHM. Bila tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada goresan, maka didapatkan KBM.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data zona hambat yang diperoleh dianalisis dengan metode Shapiro-Wilk

untuk mengetahui distribusi data tiap kelompok konsentrasi ekstrak bunga petai. Apabila didapatkan data terdistribusi normal dilanjutkan dengan uji homogenitas menggunkaan metode uji Barlett. Pengujian homogenitas bertujuan untuk menguji keasamaan variansi setiap kelompok data. Setelah dilakukan uji homogenitas, dilakukan analisis variansi searah (one way Annova) yang bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan (variansi) tiap kelompok data tidak berpasangan. Analisis data dilanjutkan dengan uji T (T-test) untuk mengetahui adanya kebermakanaan perbedaan hasil diameter zona jernih setiap kelompok.


(65)

Apabila didapatkan distribusi data tidak normal dilanjutkan dengan uji

Levene. Uji levene bertujuan untuk melihat homogenitas atau kesamaan variansi data setiap kelompok. Analisis selanjutnya dilakukan uji non parametrik yaitu menggunkaan metode uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan (variansi) tiap kelompok data tidak berpasangan. Tahap selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui kebermakaan perbedaan diameter zona jernih yang didapat antar dua kelompok data. Data KHM dan KBM dianalisis secara deskriptif. Data KHM dan KBM diperoleh jika nilai ∆OD=0, kemudian penegasan dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi yang mampu menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri.


(66)

44 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman

Determinasi dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar tanaman yang dimaksud untuk digunakan dalam penelitian. Ciri tanaman petai yaitu pohon dengan tinggi mencapai 30 m, batang berkayu dengan permukaan kulit batang berwarna coklat kemerahan. Daun majemuk, menyirip ganda, ujung daun membulat berwarna hijau. Perbungaan bongkol, bunga kecil dan banyak. Pangkal bonggol berwarna putih kekuningan, merupakan bunga jantan, sedangkan ujung bonggol merupakan kumpulan bunga betina (Wiriadinata dan Bamroongrugsa, 2010). Ciri tanaman yang digunakan pada penelitian sesuai dengan pustaka. Serbuk bunga petai diperoleh dari CV. Merapi Farma, Kaliurang, Sleman, Yogyakarta, disertai dengan surat keterangan keaslian tanaman (lampiran 1) yang digunakan sebagai bukti bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tanaman petai (Parkia speciosa, Hassk).

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bunga Petai serta Pembuatan serbuk Bunga petai yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Kabupaten Sleman. Tahap yang dilakukan sebelum pengeringan yaitu dengan memotong-motong bunga petai menjadi ukuran yang lebih kecil supaya proses pengeringan yang dilakukan cepat dan sempurna. Pengeringan dilakukan pada ruang pengering simplisia dengan panas matahari, tetapi tidak terpapar sinar matahari langsung.


(67)

Tujuan pengeringan yaitu untuk mempermudah proses pembuatan serbuk dan mengurangi kadar air sehingga simplisia tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri. Jika kadar air masih tinggi maka aktivitas enzim juga tinggi untuk mengubah kandungan kimia dalam simplisia menjadi produk lain yang yang kemungkinan memiliki efek yang berbeda dengan senyawa induknya. Beberapa enzim perusak kandungan kimia antara lain hidrolase, oksidase dan polymerase (Pramono, 2005 cit.,

Ma’mun, 2006). Pengeringan dilakukan sampai bunga petai kering sempurna

ditunjukkan dengan warna bunga petai yang lebih gelap dibandingkan sebelum dikeringkan, mudah diremukkan sehingga mudah untuk dibuat serbuk. Tujuan penyerbukan yaitu untuk memperkecil ukuran partikel dan memperbesar luas permukaan serbuk, sehingga kontak serbuk dengan pelarut juga semakin besar, maka pelarut mudah masuk ke dalam sel sehingga proses penyarian optimal. Serbuk yang diperoleh diayak dengan ayakan tepung, dan selanjutnya disimpan untuk proses ekstraksi lebih lanjut. Syarat penyimpanan serbuk menurut Menteri Kesehatan RI (1994) yaitu serbuk yang telah dibuat disimpan dalam wadah tertutup, pada suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari.

C. Penetapan Susut Pengeringan Serbuk Bunga Petai

Penetapan susut pengeringan digunakan untuk menetapkan jumlah semua jenis bahan yang mudah menguap selama kondisi tertentu (proses pemanasan) (Departemen Kesehatan RI, 1995). Penetapan ini dilakukan karena tidak diketahui dalam serbuk hanya mengandung air atau mengandung senyawa lain yang mudah


(68)

menguap. Susut pengeringan dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk melihat kualitas simplisia bunga petai. Menurut Menteri Kesehatan RI (2009) susut pengeringan yang dipersyaratkan yaitu tidak melebihi 10 %. Jika susut pengeringan sesuai yang dipersyaratkan maka dapat meminimalisir kandungan air dalam simplisia yang dapat mencegah pertumbuhan dan aktivitas enzim mikroorganisme pada simplisia sehingga simplisia bunga petai tahan lama, terlebih lagi agar kandungan zat aktif tidak berubah.

Penetapan susut pengeringan dilakukan dengan metode gravimetri dengan suhu 105oC selama 15 menit. Suhu yang digunakan yaitu suhu diatas titik didih air supaya menjamin agar seluruh kandungan air dan bahan menguap lain yang ada pada serbuk telah menguap. Pada penetapan ini dilakukan 3 kali replikasi dan diperoleh rata-rata susut pengeringan pada 3 replikasi sebesar 9,09%. Hasil yang diperoleh menujukkan bahwa simplisia yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

D. Pembuatan Ekstrak Etanol Bunga Petai

Proses ekstraksi bunga petai dilakukan dengan metode maserasi kinetik. Proses ekstraksi pada prinsipnya senyawa fitokimia yang memiliki sifat yang sama dengan pelarut akan tertarik dan terlarut ke dalam pelarutnya sehingga senyawa kimia tertentu dapat dipisahkan.

Pada penelitian ini etanol 70% digunakan sebagai penyari. Etanol 70% bersifat semipolar hingga polar sehingga diharapkan senyawa antibakteri yang


(1)

Konsentrasi 6,25% dan konsentrasi 3,125%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi 6.25% 0 6 5 1 6 5 12

Konsentrasi 3.125 % 0 0 4.333 1 1 4 6

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 6.25%

Konsentrasi

3.125% 3 3 9 6 6 3 9 3 BTB

7. Konsentrasi 3,125%

Konsentrasi 3,125% dan kontrol positif

Replikasi Ranking ∑Ranking

I II III I II III

Konsentrasi 3.125% 0 0 4.333 1 1 3 5

Kontrol positif 36 34.333 35 6 4 5 15

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi


(2)

Konsentrasi 3,125% dan kontrol negatif

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi

3.125% 0 0 4.333 1 1 6 8

Kontrol negatif 0 0 0 2 2 2 6

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Kontrol

negatif 3 3 9 6 6 7 9 7 BTB

Konsentrasi 3,125% dan konsentrasi 50%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi 3.125% 0 0 4.333 1 1 3 5

Konsentrasi 50% 11.667 14 11.333 5 5.5 5.5 16

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Konsentrasi

50% 3 3 9 6 6 10 -1 -1 BB

Konsentrasi 3,125% dan konsentrasi 25%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi

3.125% 0 0 4.333 1 1 3 5


(3)

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Konsentrasi

25% 3 3 9 6 6 10 0 0 BB

Konsentrasi 3,125% dan konsentrasi 12,5%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi 3.125% 0 0 4.333 1 1 3 5

Konsentrasi 12.5% 7.333 8 9 4 5 6 15

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Konsentrasi

3.125% 3 3 9 6 6 10 0 0 BB

Konsentrasi 3,125% dan konsentrasi 6,25%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi

3.125% 0 0 4.333 1 1 4 6

Konsentrasi 6.25

% 0 6 5 1 6 5 12

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Konsentrasi


(4)

Konsentrasi 3,125% dan konsentrasi 3,125%

Replikasi Ranking

∑Ranking I II III I II III

Konsentrasi

3.125% 0 0 4.333 1.5 3.5 5.5 10.5

Konsentrasi 3.125

% 0 0 4.333 1.5 3.5 5.5 10.5

X Y nx ny nx*ny nx(nx+1)/2 ny(ny+1)/2 Ux Uy U Ket

Konsentrasi 3.125%

Konsentrasi

3.125% 3 3 9 6 6 4.5 4.5 4.5 BTB

Oleh karena itu, hasil test Mann Withney dapat disimpulkan sebagai berikut : Kontrol - Konsentrasi 50% Konsentrasi 25% Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 6,25% Konsentrasi 3,125%

Kontrol - BTB BB BB BB BTB BTB

Konsentrasi

50% BB BTB BB BB BB BB

Konsentrasi

25% BB BB BTB BB BB BB

Konsentrasi

12,5% BB BB BB BTB BB BB

Konsentrasi

6,25% BTB BB BB BB BTB BTB

Konsentrasi

3,125% BTB BB BB BB BTB BTB

*BB = Berbeda Bermakna


(5)

Lampiran 9. Hasil Pengukuran Absorbansi Uji KHM dan KBM Ekstrak Etanol Bunga Petai terhadap S. aureus

No Konsentrasi (%)

Optical density (OD)

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

a b c a b c a b c

1. 0,782 1,6873 3,4526 1,7653 0,1410 1,8719 1,7309 0,1430 2,8212 2,6782 2. 1,563 2,8662 1,2386 1,6276 0,1783 1,7258 1,5475 0,2471 2,6219 2,3748 3. 3,125 1,3763 2,8331 1,4660 0,2823 1,7798 1,4975 0,2623 2,7821 2,5198 4. 6,25 2,5272 3,5628 1,0356 0,5764 2,0500 1,4736 0,8213 3,5328 2,7115 5. 7,813 1,6231 3,0158 1,3927 0,7114 2,0049 1,2935 0,8114 2,8261 2,0147 6. 9,375 2,9821 3,8216 0,8395 0,9265 1,9839 1,0574 0,9235 2,9308 2,0073 7. 10,938 2,8265 3,5269 0,7004 1,0325 2,0500 1,0175 2,3211 3,6255 1,3044 8.. 12,5 2,6732 3,3215 0,6483 1,1359 2,1499 1,0140 1,2340 2,1502 0,9162 9. 25 2,5932 3,2881 0,6349 2,5154 2,9133 0,3979 2,3264 2,8248 0,4984 10. 31,25 3,5123 3,8211 0,3088 2,7794 3,1391 0,3397 2,8831 3,3212 0,4381 11. 37,50 3,3528 3,7681 0,4153 3,3113 3,6123 0,3010 3,5240 3,7326 0,2086 12. 43,75 3,6951 3,8526 0,1575 3,3113 3,6123 0,3010 3,7112 3,9112 0,2000


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Metta Maurilla lahir di Bekasi, Jawa Barat, 14 Maret 1993. Putri pertama dari pasangan Albertus Mikael Siregar dan Tiambun Pasaribu, memiliki adik perempuan dan laki-laki. Penulis menempuh pendidikan di TK Gracio (1998-1999), SD Marsudirini (1999-2005), SMP Marsudirini (2005-2008), dan SMA Negeri 2 Bekasi (2008-2011). Lulus SMA, penulis melanjutkan studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif di berbagai kepanitiaan. Penulis pernah menjadi sekretaris acara TITRASI (2012), anggota divisi organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi selama satu periode (2012-2013), sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Farmasi selama satu periode (2013-2014), Asisten praktikum Farmakologi dan Toksikologi Dasar dan asisten Mikrobiologi. Selain itu penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyakat yang didanai Dikti.


Dokumen yang terkait

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Petai (Parkia speciosa Hassk.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

5 26 64

PENDAHULUAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI C EKSTRAK ASETON KULIT BATANG Shorea accuminatissima TERHADAP Staphylococcus aureus ATCC 25923 DAN Escherichia coli ATCC 25922.

0 2 15

BAB 1 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, Shigella sonnei ATCC 9290, Dan Escherichia coli ATCC 25922.

0 2 9

DAFTAR PUSTAKA Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923, Shigella sonnei ATCC 9290, Dan Escherichia coli ATCC 25922.

0 11 4

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit buah Petai (Parkia speciosa Hassk.) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

3 29 145

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit batang pohon Petai (Parkia speciosa Hassk.) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.

2 16 148

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol Daun Petai (Parkia speciosa Hassk.) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922.

2 18 141

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit buah buni (Antidesma bunius (L.) Spreng) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922.

0 1 11

Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol kulit buah buni (Antidesma bunius (L.) Spreng) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 25922

0 0 9

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SENYAWA KOPOLI-(EUGENOL–N,N’-METILEN BIS(AKRILAMIDA)) TERHADAP Staphylococcus aureus ATCC 25923 DAN Escherichia coli ATCC 25922.

0 0 14