63
C. Analisa Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Status Hukum
Perkawinan Wanita Hamil Di Luar Nikah 1.
Status Hukum Perkawinan
Dalam menjelaskan tentang status hukum kawin hamil, terdapat persamaan antara Hukum Islam, Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam. Ketiga hukum tersebut membolehkan kedua pelaku zina untuk melangsungkan perkawinan, dan status hukum
perkawinan mereka tersebut adalah sah, karena zina dianggap tidak mengahalangi untuk adanya perkawinan.
Berbeda dengan hukum perdata barat BW, menurut hukum perdata tersebut apabila seorang dinyatakan bersalah oleh hakim karena
zina, maka orang tesebut tidak dapat kawin dengan kawan berzinanya, artinya wanita yang hamil tersebut tidak bisa dikawini oleh laki-laki yang
menghamilinya. Adapun
ketika mereka
tetap melangsungkan
perkawinan, maka menurut BW perkawinan tersebut tidak sah. Namun menurut para ulama ada beberapa pandangan
a. Pendapat Imam malik bahwa berlakunya iddah pada surat at-thalaq
ayat 65, jika ditinjau dari asbabun nuzul ayat ini diturunkan bagi wanita yang ditalak atau ditingal mati suaminya, yang bertujuan untuk
memberikan massa iddah bagi istri yang ditalak raj’i atau untuk mengetahui bersihnya
Rahim istri yang ditalak ba’in atau melakukan wathi syubhat, atau juga untuk ungkapan bela sungkawa, dengan
demikian wanita hamil tidak wajib.
64
b. Sedangkan hadist yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut
“Barang siapa beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat maka janganlah ia menyiramkan air spermanya kelahan istri orang lain.
Demikian juga sabda Rosulullah SAW diriwayatkan Imam Al-Hakim sebagai berikut. “Wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli
hingga ia melahirkan, dan wanita yang sedang tidak hamil tidak boleh digauli hingga ia mengeluarkan darah haid satu kali.
Kedua pendapat yang dipergunakan tersebut ditentang oleh ulama lainnya karena hadist tersebut diperuntukkan bagi yang dibeli atau
dikuasai oleh orang Islam budak. Sehingga berdasarkan hadist tersebut seorang muslim yang menguasai atau membeli budak, maka tidak boleh
langsung digauli sebelum diketahui budak itu tidak sedang hamil. Namun jika ia hamil, maka tidak boleh digauli sampai ia melahirkan. Karena
status anak yang dilahirkan oleh budak, tergantung status pria yang menggaulinya. Menurut ilmu biologi sel telur wanita yang telah dibuahi
oleh sperma pria yang menggaulinya maka kandungannya tidak akan terpengaruh oleh sperma berikutnya yang masuk pada janin tersebut.
Sehingga tidak dikhawatirkan adanya perempuan antara pria yang menikahinya secara sah.
Dalam hal wanita hamil karena zina yang telah dinikahi pria lain yang bukan menghamilinya p
enulis lebih setuju pendapat imam syafi’I berdasarkan ayat An-
Nissa ayat 24 : yang artinya : “ Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri dengan hartamu
65
untuk dinikahi bukan untuk berzina”. Begitu pula Komisi Fatwa MUI Propins
i DKI Jakarta memilih pendapat Imam Syafi’I bahwa wanita yang hamil karena zina boleh dinikahi pria lain yang tidak menzinahinya dan
sesudah akad mereka boleh melakukan hubungan suami istri selayaknya pasutri yang lain.
2. Status Anak Lahir di luar Nikah
Untuk masalah anak yang dilahirkan atau dibenihkan di luar perkawinan yang sah, terdapat persamaan antara Hukum Islam dengan
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, menurut ketiga hukum tersebut anak yang dibenihkan di luar perkawinan
yang sah berstatus hukum sebagai anak sah, setelah orang tuanya menikah, karena anak tersebut lahir dalam perkawinan yang sah.
Sedangkan dalam hukum perdata barat BW terdapat ketentuan yang berbeda dengan ketiga hukum yang lain, menurut hukum perdata
barat BW, anak yang dilahirkan dari benih di luar perkawinan yang sah, tidak dapat diakui sebagai anak yang sah.
Kemudian didalam pasal 42 UUP dan pasal 99 KHL didalamnya yang menjadi ukuran sah atau tidaknya adalah seorang anak dilihat pada
waktu lahirnya tanpa memperhitungkan kapan konsepsi terjadi. Dan yang menjadi kontroversial adalah anak yang sah lahir dari perkawinan yang
sah. Dalam hal ini tidak menghiraukan terjadinya konsepsi si Anak di dalam Rahim. Namun dalam pasal 53 KHI di jurtifikasi sebagai berikut :
66
1. Seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya. 2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang dimaksud pada ayat 1, dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang, setelah anak yang dikandung itu lahir. Dari pasal tersebut di atas , wanita hamil hanya dibolehkan menikah
dengan pria yang menghamilinya saja. Dan anak-anak yang lahir selang beberapa bulan setelah pernikahan itu termasuk anak sah karena dalam
pernikahan yang sah. Selain menentukan status anak berdasarkan perkawinan, status anak
yang sah menurut UUP dan KAI adalah dibuktikan dengan akta kelahiran yang dikeluarkan oleh pejabat yng berwenang. Penetapan ini bertujuan
untuk menentukan kedudukan anak dan lain-lain. Dalam hal ini UUP dan KHI sama-sama melakukan inovasi hukum yang mengacu kepada
maslahah murralah, dengan adanya akta kelahiran tersebut.