60
B. Status Hukum Kawin Hamil Menurut Undang-Undang Nomor. 1 Tahun
1974
Pada massa kolonial, penguasa Hindia Belanda berkepentinagn untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaanya atas warga jajahan dengan cara
mengatur mereka melalui serangkaian produk Undang-undang termasuk di dalamnya adalah hukum perkawinan yang merupakan bentuk produk Hukum
Perdata dengan istilah Burgerlijk Wetboek BW. Undang-undang perkawinan pada masa itu di mulai pada tahun 1937
yaitu, dengan diedarkannya Ordinansi peraturan tentang pencatatan perkawinan, hingga kemudian Undang-undang tersebut dikodifikasikan dan
mulai disusunnya Undang-undang perkawinan pada tahun 1974 yang dipengaruhi model cipil marriage dan menghilangkan ketentuan rumusan
undang-undang terdahulu pada zaman colonial yang lebih membatasi ruang gerak perempuan yang akhirnya terbentuklah Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 yang diresmikan oleh presiden Soeharto pada tanggal 2 juni 1974. Dalam BW maupun kodifikasi undang-undang tersebut, yakni
Undang-undang Nomor. 1 tahun 1974 tidak mengatur secara rinci mengenai perkawinan wanita hamil, garis besar undang-undang tersebut, hanya
mengatur mengenai: 1.
Perkawinan 2.
Hak dan kewajiban suami isteri 3.
Harta bersama menurut undang-undang dan pengurusan 4.
Perjanjian kawin
61
5. Gabungan harta bersamaperjanjian kawin pada perkawinan kedua dan
selanjutnya 6.
Pemisah harta dan benda 7.
Pembubaran perkawinan 8.
Pisah meja dan ranj ang 9.
Asal keturunan anak 10.
Kekeluargaan sedarah semenda 11.
Kekuasaan orang tua 12.
Perubahan dan pencabutan runjangan nafkah 13.
Kebelumdewasaan dan perwalian 14.
Pendewasaan 15.
Pengampuan 16.
Serta ketidak hadiran Sehingga apabila dianalisa maka tidak ada ketentuan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan perkawinan wanita hamil misalnya mengenai subjek yang mempunyai kewajiban untuk menikahi wanita hamil atau batasan usia
kehamilan untuk seseorang wanita hamil boleh dan tidaknya wanita hamil tersebut dinikahi serta hal-hal lainnya yang menunjang kepentingan
kedudukan perkawinan wanita hamil tersebut. Walupun BW tidak mengatur perihal mengenai wanita hamil namun
undang-undang no 1 tahun 1974 mengatur mengenai kedudukan anak yang termaktur dalam bab IX pasal 42-44 yang berbunyi:
62
Pasal 42 : 1.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai ak
ibatperkawinan yang sah.” Pasal 43 :
1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya 2.
Kedudukan anak tersebut ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintahan
Pasal 44 : 1.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya
telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut. 2.
Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidak sahnya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dari bunyi pasal di atas dapat dimengerti bahwasanya status anak yang mempunyai perlindungan hukum perdata adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dengan tidak ditekankan kembali siapa sebenarnya bapak biologis si anak tersebut, hanya saja anak
tersebut harus dapat pengakuan oleh si ayahnya. Sedangkan kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sehingga anak tersebut tidak dapat perlindungan hukum untuk hubungan perdata dengan si ayah kecuali ada
keputusan lain dari pengadilan dengan permintaan pihak yang berkepentingan terlebih dahulu sebelumnya.
63
C. Analisa Terhadap Perbedaan Pendapat Tentang Status Hukum
Perkawinan Wanita Hamil Di Luar Nikah 1.
Status Hukum Perkawinan
Dalam menjelaskan tentang status hukum kawin hamil, terdapat persamaan antara Hukum Islam, Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam. Ketiga hukum tersebut membolehkan kedua pelaku zina untuk melangsungkan perkawinan, dan status hukum
perkawinan mereka tersebut adalah sah, karena zina dianggap tidak mengahalangi untuk adanya perkawinan.
Berbeda dengan hukum perdata barat BW, menurut hukum perdata tersebut apabila seorang dinyatakan bersalah oleh hakim karena
zina, maka orang tesebut tidak dapat kawin dengan kawan berzinanya, artinya wanita yang hamil tersebut tidak bisa dikawini oleh laki-laki yang
menghamilinya. Adapun
ketika mereka
tetap melangsungkan
perkawinan, maka menurut BW perkawinan tersebut tidak sah. Namun menurut para ulama ada beberapa pandangan
a. Pendapat Imam malik bahwa berlakunya iddah pada surat at-thalaq
ayat 65, jika ditinjau dari asbabun nuzul ayat ini diturunkan bagi wanita yang ditalak atau ditingal mati suaminya, yang bertujuan untuk
memberikan massa iddah bagi istri yang ditalak raj’i atau untuk mengetahui bersihnya
Rahim istri yang ditalak ba’in atau melakukan wathi syubhat, atau juga untuk ungkapan bela sungkawa, dengan
demikian wanita hamil tidak wajib.