21
6. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artrinya
pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili olehwalinya dan kabul pernyataan kehendaknya penerimaan dari calon
pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyaataan qabul tersebut.
19
Selanjutnya dasar hukum perkawinan juga diatur dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menjelaskan:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu. 2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
20
Menurut KHI, Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No.l Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
21
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah PPN. Pencatatan perkawinan tersebut penting bagi kemaslahatan kedua belah
pihak dan kepastian hukum bagi masyarakat demikian juga baik suami
19
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, Cet. Ke-I, h. 20.
20
R. Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pramita, 2002, h. 538.
21
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2005, h. 7.
22
maupun istri tidak demikian saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan yang suci tersebut.
22
C. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunnah, sedangkan golongan Zahiri mengatakan
bahwa menikah adala h wajib. Para ulama Maliki Muta’akhirin berpendapat
bahwa menikah itu wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau
kesulitan dirinya. Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat
perintah dalam ayat dan hadis berikut serta hadis-hadis lainnya yang berkenaan dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib, sunnah,
atau mungkin mubah. Ayat tersebut adalah :
Artinya : “Danberlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim
bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Dan hadist yang dimaksud adalah:
22
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981, Cet. Ke-1, h. 22.
23
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda :
”Nikahilah -wanita-wanita yang subur yang bisa memberikan banyak anak, sesungguhnya saya Nabi bangga dengan mereka
pada hari kiamat.” Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu
biasa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Secara rinci hukum pernikahan adalah sebagai berikut :
a. Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Menjauhkan
diri dari perbuatan haram adalah wajib, maka jalan yang terbaik adalah dengan menikah. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT :
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah
menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-
Nya.”
23
Ahmad bin Hambal, Musndd Ahmad, Mesir: Muassah Qurtflbah, juz. 5, h. 2067.
24
b. Sunnah
Bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan dari perbuatan zinah, maka hukum menikah baginya
adalah sunnah.menikah baginya lebih utama daripada berdiam diri menekuni ibadah, karena menjalani hidup sebagai pendeta anti nikah
sama sekali tidak dibenarkan da lam islam. Diriwayatkan dari Sa’ad bin
Abi Waqqash:
Artinya: “Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: suatu
ketika orang-orang Yahudi pasti akan mengetahui bahwa di Agama kami ada catatan, sesungguhnya aku Nabi diutus
dengan ajaran yang lurus dan ramah .”
c. Haram
Bagi orang yang tidak menginginkannya karena tidak mampu memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin kepada
isterinya serta nafsunya tidak mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah ia akan keluar dari Islam, maka hukum menikah
adalah haram.
24
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Mesir: Mu’assah Qurtubah, t.t, juz. 5, h. 2072.
25
d. Makruh
Hukum menikah menjadi makruh bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi nafkah kepada isterinya walaupun tidak
merugikannya karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat
itu dia berhenti dan melakukan suatu ibadah atau menuntut suatu ilmu. e.
Mubah Bagi laki-laki yang tidak terdesak alasan-alasan yang mewajibkan
segera nikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus nenikah, maka hukumnya mubah.
25
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif.
Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan yaitu untuk memperoleh
kebahagian dan kesejahteraan lahir bathin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
25
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, Cet. Ke-l.Jilid 1, h, 31-36.