Menurut Pendapat Mazhab Syafi’i

54 mengawini wanita itu bagi laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lain.

d. Menurut Madzhab Maliki

Artinya : “Tidak boleh melaksanakan akad nikah dengan wanita pezina yang hamil sehingga ia bersalin melahirkan.” Menurut madzhab Maliki wanita hamil. karena zina itu tidak boleh dinikahi oleh siapa pun, baik laki-laki yang menzinainya, maupun oleh laki-laki yang lain. Golongan ini beralasan dengan keumuman ayat atau firman Allah SWT: Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” Dari ayat di atas nampak bahwa wanita yang hamil baik karena hamil zina, atau karena hamil yang bukan zina, maka tidak boleh mengawini wanita tersebut sampai ia melahirkan. Dari segi lain kita melihat, bahwa seorang isteri hamil yang dicerai oleh suaminya fasakh, atau ditinggal mati oleh suaminya, si wanita itu tidak boleh kawin sebelum melahirkan. Sesudah 15 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 230. 55 melahirkan dan sesudah menjalani nifas baru diperbolehkan untuk kawin. Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamii oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama antara lain, yaitu: 1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab, bila dikawinkan perkawinannya itu batal fasid. 16 Pendapat beliau ini berdasarkan pada firman Allah SWT :                    رونلا : Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang- orang yang mukmin.” An-Nurr 24:3. Ibnu Qudamah sejalan pendapatnya dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat: a. Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil, jadi dalam keadaan hamil tidak boleh kawin. 16 H. Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, Get. Ke-2, h. 125, dan M. AH Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta; Siraja, 2003, h. 256- 259.