Menurut Madzbab Hambali Kawin Hamil Menurut Fiqh

56 b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera cambuk, apakah diahamil atau tidak. 17 2. Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani mengatakan, bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir. Pendapat ini berdasarkan hadits: Artinya : “Dari Abi Sa’id al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda di medan perang Authus: “Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir kandungannya. ” HR. Abu Daud 3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan itu di anggap sah, karena tidak terkait dengan perkawinan orang lain tidak ada masa iddah. Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab keturunan bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedang bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu anak di luar nikah. 17 Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, h.129. 18 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Semarang: Usaha Bersama, 1956, h. 246. 57

2. Kawin Hamil Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menikahi wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah, oleh karena itu penulis ingin meneliti kembali sejauh mana relevansi baik menurut hukum Islam, Undang-undang No,l tahun 1974 maupun KHI Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI telah mengatur masalah perkawinan wanita hamil karena zina yang terdapat dalam bab VIII pasal 53 yang berbunyi : a. Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya b. Perkawinan yang wanita tersebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunngu lebih dahulu kelahiran anaknya c. Dengan diiangsungkannya perkainan pada saat wanita itu hanmil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir. 19 Penegasan KHI ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh As-Shabuni dalam kitabnya Ar-Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al- Qur’an bahwa, ada dua pendapat tentang menikahkan orang yang telah berzina, yaitu: a. Pendapat yang mengharamkan untuk menikahkan orang yang telah berzina, hal ini telah dikutip dari riwayat Sayyidina Ali, al- Barra’, A’isyah dan Ibnu Mas’ud. Mereka menyandarkan pendapat para dhahir dari Firman Allah SWT. Surat An-Nuur ayat 3, dijelaskan 19 Depag, KHI di Indonedia, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1992