Tujuan dan Hikmah Perkawinan

28 Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang- orang yang bersyukur”. Menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat jasmani dan rohani. Kedua, dalam surat ar-Ruum ayat 21 :                       Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri darijenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu. rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. ” Dari ayat di atas telah dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan agar ada kedamaian dalam beribadah dan menjalani hidup yang lebih sempurna. Dalam penjalasan ayat ini terkandung tiga makna yang dituju suatu perkawinan itu yakni: 1. Litaskunuu’ilaiha, artinya supaya tenang atau diam. Akar kata taskunuu dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan leher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam. 29 2. Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana rasanya cintanya sangat tinggi termuat kandungan cemburu, sedang rahmah sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang kadang sulit dikontrol, karena intensitasnya tinggi dan meluap-luap. 3. Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cintanya mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik. Sedangkan mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya ketika melihat kakek dan nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah gejolak wujud cintamawaddah yang ada pada mereka, tetapi rahmah sayang. Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta mawaddah yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip. 28 b. Menurut Hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut : 28 Imam Abi Daud Sulaiman, Sunan Abi Ddud, Cairo: Daarul Hadits 1988 Nomor Hadits 2050, juz.ke-2,h. 227. 30 Artiya : “Dari Maqal bin Yasar berkata bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya sesungguhnya saya tertarik kepada seorang wanita yang terhormat dan cantik tatapi dia mandul. Apakah saya menikahinya? Nabi menjawab: Jangan. Kemudian ia mendatanginya kedua kali Rasul tetap melarang. Kemudian datang lagi ketiga kalinya, Rasul bersabda : “Menikahlah dengan perempuan yang banyak kasih sayangnya lagi banyak melahirkan anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu di hadapan umat yang lain.” H.R. Abu Dawud dan Nasa’i Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadist. Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj kemaluan.Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur kemampuan materil belum memungkinkan.Kedua, sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah kuantitas yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandng kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Di situlah kendungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan. 30 c. Menurut Akal Dalam buku Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA menurut sumber akal sehat yang sederhana ada tiga yang dituju suatu perkawinan : 29 Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Semarang: Usaha Bersama, 1956, h. 246 30 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 88-89 31 pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah menyatakan dibuat untuk kita manusia. Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia.Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan atau pernikahan.Kedua, bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertibanketurunan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana. Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memilki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuktertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan. 31 Selanjutnya dalam kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah dari perkawinan sebagai berikut: 1. Perkawinan merupakan cara yang tepat dalam penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia. 31 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 89 - 90. 32 Perkawinan dapat menciptakan manusia yang mempunyai moralitas tinggi dan terpuji, juga dapat memberikan ketenangan jiwa bagi seseorang dan juga dapat menjaga mata dan kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan agama. 2. Manusia mempunyai naluri untuk melestarikan keturunan serta memelihara nasabnya dan menikah adalah jalan terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Islam sangat memperhatikan hal tersebut. 3. Perkawinan mempunyai peranan yang besar dalam proses pendewasaan seseorang. Naluri orang tua akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak. Seiring dengan itu, lahirlah sifat – sifat baik lainnya yang menyempurnakan jiwa kemanusiaan seseorang yang berguna dalam berinteraksi sosial dalam masyarakat. 4. Perkawinan dapat memotivasi diri dalam memenuhi kebutuhan duniawi serta ukhrawi, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajiban sebagai orang tua. 5. Perkawinan memaksa adanya peranan suami dan isteri dalam pembagian tugas dalam rumah tangga tersebut. Dengan pembagian tugas ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridhoan Ilahi. 33 6. Perkawinan melahirkan perasaan saling menyayangi dan menghormati antar keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan. 7. Perkawinan merupakan langkah awal dari terciptanya sebuah bangsa, sebab dengan perkawinan terciptalah sebuah keluarga yang merupakan bagian terkecil dari sebuah bangsa. 32 3. Syarat dan Rukun Perkawinan Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi keabsahan pernikahan. Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal pernikahan, keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam pernikahan. Suatu acara perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, artinya perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. 33 Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam: a. Harus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah aqil dan baligh. b. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin tersebut. c. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan. d. Harus ada 2 dua orang saksi laki – laki muslim yang adil. 32 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung, Al-Maarif,1994, Jilid 6, h. 18. 33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 59. 34 e. Harus ada mahar mas kawin yang diberikan oleh pengantin laki- laki kepada isterinya f. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artrinya pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh walinya dan kabul pernyataan kehendaknya penerimaan dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyaataan qabul tersebut. 34 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 6, disebutkan bahwa syarat-syarat perkawinan yaitu: a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud dalam ayat 2 dua pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis 34 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, h. 20 35 keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak rrienyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3, 4 pasal ini. f. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 35 Dalam konteks terkini, khususnya di Indonesia, aturan perkawinan ditambah lagi dengan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan ke Kantor Urusan Agama KUA, dengan maksud agar kedua pasangan mendapat ”payung hokum” jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.Apabila dalam mengarungi kehidupan berumah tangga terdapat persoalanmaka mendapat bantuan dari hukum yang berlaku.Dalam istilah ushul fiqhkebijakan ini disebut dengan maslahah mursalah, yakni ketentuan yang tidakdiatur dalam agama fiqh tetapi tidak bertentangan dengan 35 Amir Nuruddin Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta- Fajar Interpratama Offset, 2004, h. 67. 36 hukum yang terdapat dalam al- Qur’an dan Hadits. Artinya, kewajiban pencatatanperkawinan di KUA tidak pernah diatur dalam fiqh, namun semangat dari aturan itu tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan diwajibkannya saksi ke dalam rukun nikah. 36 36 Dodi Ahmad Fauzi, Nikah Sin Yes Or No,Jakarta: Lintas Pustaka, 2008, h. 33. 37

BAB III KAWIN HAMIL DI LUAR NIKAH

A. Pengertian Kawin Hamil di Luar Nikah

Pada bagian sebelumnya penulis telah membahas tentang seputar perkawinan baik pengertian, hukum, maupun hikmah yang terkandung di dalam pensyariatan perkawinan serta hal-hal yang berkaian dengan perkawinan. Pada bab ini penulis akan membahas tentang pengertian kawin hamil di luar nikah, sebab-sebabnya dan dampaknya. Pengertian kawin hamil di luar nikah adalah seorang wanita yang hamil sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya, 1 al- Qur’an dalam merespon permasalahan hamil di luar nikah, tidak membeda-bedakan antara perzinaan, incest, atau prostitusi. Segala persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan di luar pernikahan adalah zina. Al- Qur’an memandang perbuatan hamil di luar nikah sebagai perbuatan keji fakhisyah, hal ini dipertegas dalam Al- Qur’an surat Al-Israa ayat 32:           Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatujalanyang buruk. ” 1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke 1, h. 45. 38 Dalam memilih seorang calon suami atau calon isteri, Islam menganjurkan hendaknya didasarkan atas dasar norma agama atau moral, yakni seorang calon itu harus berakhlak yang mulia bukan hanya berdasarkan kepada kecantikan atau kekayaan atau kebasawanan semata-mata. Rasulullah SAW bersabda: Artinya : Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan itu karena kecantikannya, karena kecantikannya itu mungkin akan menghinakan mereka, dan janganlah kamu kawini mereka itu sebab harta bendanya, mungkin karena harta bendanya itu mereka menjadi sombong, namun kawinilah mereka itu karena dasar agama, sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang mempunyai agama lebih baik kamu kawini daripada mereka itu HR. Baihaqi Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia akhirat di bawah naungan cinta kasih dan ridho Allah. Akan tetapi terlihat sekarang ini sebagian manusia banyak menyalahgunakan syariat perkawinan tersebut, dengan menodai makna dan faedah sebuah perkawinan yang suci yaitu dengan cara melakukan hubungan intim sebelum adanya ijab dan kabul yang sah baik menurut agama maupun Undang-undang Negara. 2 Ashari Abdul Ghofur, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Andra Utama, 1993, Cet. Ke 3 h. 90-91 39

B. Sebab-Sebab Kawin Hamil di Luar Nikah.

Hamil merupakan proses alami yang terjadi guna melahirkan generasi baru, sedangkan pengertian hamil ialah keadaan mengandung janin yang apabila sebuah sel sperma laki-laki bertemu dengan sel telur perempuan yang pada gilirannya nanti terjadi pembuahan. 3 Menurut Dr. Muhammad Abduh Malik sebab timbulnya hamil di luar nikah sama dengan timbulnya perilaku perzinaan. Sebab-sebab tersebut terdiri dari dua hal yaitu sebab internal dan eksternal. 4

1. Sebab Internal

Manusia secara naluriah memiliki nafsu syahwat kepada lawan jenisnya.Jika nafsu syahwat itu begitu besar, maka nafsu syahwat tersebut dapat mengalahkan akal budinya atau akal sehat dan kendali normalnya. Artinya jika akal sehat dan kenyakinan moral tidak cukup kuat untuk mengendalikan gejolak nafsu syahwat maka manusia tersebut akan terjerumus kepada perbuatan zina, apabila mereka tidak menempuh jalur pernikahan yang sah. Hal ini biasanya terjadi di kalangan mereka yang tidak mempunyai landasan iman yang kuat tapi keyakinan moral yang lemah.Lebih lagi apabila kondisi itu terjadi kepada orang yang mempunyai tipe extrovert orang yang lebih mementingkan hal-hal lahir. Terjadi karena masalah itu berkaitan dengan sikap maka berarti manusia yang memiliki sikap extrovert harus memiliki pengetahuan dan 3 Luciana lanson, Dari Wanita Untuk Wania, Surabaya: Usaha Niaga, 1987, h. 459. 4 Yahya Abdurahman al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil, Ibadah, Perdata dan Pidana, Bangil : Al-Izzah, 2003, Cet. Ke-1.h.81 40 pemahaman yang lebih kuat dan mendalam tentang agama disertai pengalaman hidup beragama yang lebih intensif dan lebih kuat.

2. Sebab Eksternal

Terdapat dua sebab eksternal yang memungkinkan untuk terjadi hamil di luar nikah 5 : a. Kondisi Sosial Faktor eksternal yang memberi kemungkinan atau mendorong manusia untuk melakukan perbuatan zina adalah disebabkan kondisi sosial yang mentolerir pergaulan bebas antar pria dan wanita. Adat istiadat yang dahulunya memandang tabu pergaulan bebas antara pria dan wanita kini semakin longgar. Kondisi sosial yang penuh sesak dengan situasi, suasana, mediasi kepornoan telah berfungsi sebagai perangsang, pendorong manusia extrovert yang memiliki nafsu birahi kepada lawan jenisnya, namun tidak memiliki keimanan dan kendali moral yang kuat.untuk menghindari diri dari melanggar hukum agama dan adat istiadat yang berlandasan moral agama akhlakul karimah sehingga terjerumus untuk melakukan hubungan seksual di luar akad nikah yang sah perzinahan. b. Aturan Hukum Pidana Positif Yang Sangat Lemah. Aturan hukum pidana positif KUHP tidak mencantumkan hubungan seksual di luar pernikahan yang sah yang dilakukan oleh 5 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah al-Haditsa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-4.h.80