Dampak Perkawinan Hamil di Luar Nikah

45

BAB I V

PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENT YANG PERKAWINAN WANITA HAMIL DILUAR NIKAH

A. Status Hukum Kawin Hamil Menurut Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam

1. Kawin Hamil Menurut Fiqh

Islam menghendaki agar komunitas muslim bersih dari penyakit – penyakit masyarakat yang sangat merusak seperti zina. Oleh karena itu, Islam berusaha menghilangkan tempat-tempat tumbuhnya kerusakan dan menutup celah-celah yang menuju kepada kerusakan. Selanjutnya Islam mensyariatkan berbagai al-hudud sanksi pidana untuk mencegah semuanya. Setelah Islam membimbing individu-individu muslim agar selalu mengingat Allah, baik ketika sendirian maupun ketika bersama orang lain. Sesungguhnya Islam telah mengharamkan zina dan hal-hal yang membangkitkannya, seperti pergaulan yang diharamkan dan pertemuan tertutup khahvat yang berdampak pada tindakan negatif. 1 Untuk itu, ada banyak ayat Al- Qur’an yang mendidik dan membimbing masyarakat muslim kepada nilai-nilai yang luhur, di antaranya adalah firman Allah SWT: 1 Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, Ibadah, Perdata dan Pidana, Bangil: Al-Izzah, 2003, Cet. Ke-I, h. 81. 46                   رونلا : Artinya: Katakanlah kepada orang laki- laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apayang mereka perbuat”.                 رونلا ................ : Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Ayat itu memerintahkan agar memelihara furuj kehormatan dari korban syahwat yang tidak halal, menjaga hati dari berpikir hal-hal yang tidak halal, dan menjaga komunitas masyarakat dari mengikuti keinginan syahwat dan kesenangannya dengan tanpa batas. 2 Dalam kitab-kitab fiqih ada dibicarakan tentang boleh, tidaknya seseorang nikah dalarn keadaan hamil, apakah hamil yang sah karena ditinggal suami, atau hamil akibat hubungan di luar nikah. Bila hamil di 2 Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, Ibadah, Perdata dan Pidana, h. 82. 47 luar nikah, maka akan terbilang dalam persoalan zina. Hal ini juga diperselisihkan menikahi pezina. Zina menurut bahasa berasal dari kata yang artinya berzina, berbuat zina. 3 Sedangkan menurut istilah adalah : a. Perbuatan bersegama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikatoleh hubungan pernikahan perkawinan. b. Perbuatan bersegama seorang wanita yang terikat perkawinan denganseorang laki-laki yang bukan suaminya. 4 Zina menurut Jurjani ialah : Artinya : “Memasukkan penis zakar ke dalam vagina farj bukan miliknya bukan istrinya dan tidak ada unsur syubhat kesurupan atau kekeliruan.” Dari defnisi di atas dapat dipahami, bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah memenuhi dua unsur, yaitu : a. Ada persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminya; b. Tidak ada kesurupan atau kekeliruan syubhat dalam perbuatan seks. 6 3 H. M. Yonus, Qomus ‘Arobiyyun – Indunisiyyun, Jakarta: PT. Hidayakarya Agung, 1989, Cet. Ke-8,h. 158. 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-I, h. 1018. 5 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsa, Jakarta: PT. Raja Grafrndo Persada, 2000, Get. Ke 4, h. 80 48 Tentang hukum menikahi wanita pezina para ahli fiqh berbeda pendapat menjadi tiga pendapat yaitu: a. Sesungguhnya tidak ada kewajiban iddah bagi wanita pezina artinya wanita yang telah berzina boleh langsung dinikahi tanpa iddah, baik ia hamil atau tidak. dari perzinaan itu, baik ia memiliki suami atau tidak memiliki suami, sehingga seketika itu juga suaminya boleh mencampurinya, dan boleh mengawini bagi laki-laki yang telah menzinainya atau orang lain menikahinya seketika itu juga, baik ia hamil atau tidak. Namun, jika ia hamil dari berzina itu dan memiliki suami, maka suaminya dimakruhkan mencampurinya sampai ia melahirkan. ini adalah madzhab Syafi’i. 7 b. Apabila wanita yang dizinahi itu tidak hamil, maka sah boleh menikahinya, baik dengan laki-laki yang tidak menzinainya atau dengan laki-laki yang menzinainya. Dan bagi wanita tersebut tidak perlu iddah. Semua itu telah menjadi kesepakatan madzhab Hanafi. Sehingga, apabila laki-laki yang menzinai itu sendiri yang menikahinya, maka halal mencampurinya menurut kesepakatan madzhab Hanafi. Sedangkan anaknya, apabila wanita itu melahirkan setelah masa enam bulan dari pernikahannya, maka anak tersebut dinasabkan kepadanya. Namun, apabila masa melahirkannya kurang dari masa itu, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya, sehingga anak tersebut tidak bisa menerima warisan dari suami 6 Yahya Abdurrahman al-Khathib, Hukum-hukum Wanita Hamil, Ibadah, Perdata dan Pidana, h. 40 7 Tim Redaksi Fokusmedia, Komplikasi Hukum Islam, Bandung : Fokus Media, 2005, h.7