Perlindungan Nasabah Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan

fakta dan secara hukum, konsumen ada dalam posisi yang lemah dibanding dengan PUJK, antara lain ditunjukan adanya kurang kuatnya daya tawar konsumen kurang paham dan kurang pengetahuan atas produkjasa yang ditawarkan, sedangkan PUJK lebih kuat posisi tawarnya. Sebagai ilustrasi konsumen dititik lemah: Perjanjian Kredit Bank A dengan Debiturnya dibuat dalam bentuk formulir yang telah dibakukan. Calon debitur hanya dimintakan persetujuannya atas kalusula-klausula yang telah dibuat oleh Bank A. Apabila calon debitur setuju dengan isi perjanjian, maka akan menandatangani surat perjanjian kredit tersebut. Sedangkan apabila calon debitur menolak klausula-klausula yang ada dalam surat perjanjian kredit, maka tidak perlu menandatangani surat perjanjian tersebut. Akan tetapi debitur tersebut berada dalam posisi lemah karena debitur sangat membutuhkan dana yang diberikan oleh bank melalui kredit. Oleh sebab itu debitur tidak banyak menuntut kepada bank karena takut bank tidak akan mencairkan kredit yang dimohonkan tersebut. Demikian pula pada saat penandatanganan debitur tidak membaca klausula-klausula yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut, melainkan langsung menandatangani surat perjanjian kredit. Dalam era globalisasi ini pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan metode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen justru merupakaan pilihan yang tidak menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima walaupun dengan berat hati. Menghadapai situasi semacam ini tentunya pemerintah tidak tinggal diam, tetapi begantung juga pada sistem ekonomi yang berlaku disetiap negara yang tidak selalu sama. Bagaimanapun juga, pelaksanaan perjanjian baku di Indonesia tidak semata-mata diserahkan kepada pengusaha, melainkan juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. 93 Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha umunya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar penerapan prinsip ekonomi, yaitu: dengan usaha sedikit mungkin, dengan cara sepraktis mungkin, memperoleh keuntungan sebesar mungkin. 94 Perkembangan perjanjian baku dinegara-negara berkembang berbeda dengan negara-negara maju. Pada umumnya negara berkembang ialah negara bekas jajahan. Dengan demikian penerapan syarat-syarat baku lebih diwarnai oleh perasaan senasib dan sepenanggungan. Jika terjadi perselisihan mengenai akibat yang timbul dari penerapan syarat-syarat baru, kedua belah pihak masih dapat berunding mencari penyelesaian adil menurut adat mereka sendiri walaupun tanpa mengubah teks syarat-syarat perjanjian yang telah dibakukan.Di samping itu, negara ikut melindungi warganya, bukan konsumen melainkan juga pengusahanya melalui perundang-undangan dan lembaga peradilan. Penerapan syarat-syarat baku semacam ini dikuti juga di Indonesia. 95 Pada umunya bentuk perjanjian baku adalah suatu format perjanjian tertulis yang sudah disiapkan salah satu pihakkreditur, sudah berisi naskah lengkap dengan pasal-pasalnya, susunannya dan klausulnya sudah baku, beberapa bagian masih kosong, biasanya tentang isian: No. PK, tanggal, identitas para pihak, 93 Prof. Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 2 94 Ibid.,hal. 4 95 Ibid.,hal. 5 jumlah pinjaman, jangka waktu, berapa kali angsuran, cara pembayaran, jenis agunan, sudah ditentukan sedemikian rupa maka debitur harus mengikutitidak bisa mengubah. Pengertian perjanjian baku yang menjadi pembahasan disini adalah perjanjian baku sesuai dengan penjelasan atas Peraturan OJK tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, yaitu Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk danatau layanan kepada Konsumen secara massal. Sejalan dengan penjelasan tersebut Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen vide Pasal 1 Ayat 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Adapun beberapa bentuk klausula baku yang biasanya berisikan: 1. Klausula baku biasanya menyangkut kewajiban debitur berupa paket, mislakan paket tersebut berisikan bahwa harus pasang asuransi dan sudah ditentukan perusahaan asuransi tertentu 2. Bisa juga tentang tunduk dan patuhnya debitur pada ketentuan kreditur yang akan diterbitkan dikemudian hari. 3. Atau kreditur tidak bertanggung jawab atas titipan angsuran ke petugas bank atau bendahara atau kepada agen. Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. 1. Kesepakatan Kesepakatan berlandaskan kesetaraan para pihak bisa terbentuk sejak awal dimulainya hubungan hukum apabila didalamnya terdapat keseimbangan, adil, wajar, transparan dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. PUJK diharuskan memenuhi kelimanya dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen termasuk klausula baku. Sebelum lahirnya era perlindungan konsumen setiap orang berhak untuk membuat perjanjian dengan siapa, dan bebas menentukan isi perjanjian, dan bila sudah sepakat, perjanjian yang dibuat mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undangvide Pasal 1338 KUHPerdata. Karenanya mereka yang sudah menandatangani, terikat untuk melakukan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak kemudian dimanfaatkan yang menjadikan perjanjian baku ditentukan sepihakkreditur dan pihak lainnyadebitur dalam posisi yang lemah. Kini setelah era perlindungan konsumen yang hadir oleh karena banyaknya kekecewaan prakter pelaksanaan klausula baku yang merugikan konsumen. Dengan banyaknya yang mencari perlindungan dari akibat ‘kebebasan’ yang timpang, muncul pendapat bahwa kebebasan tetap dijunjung tinggi namun kebebasan harus dibatasi untuk menjaga keseimbangan hubungan antar individu dan masyarakat, disini kemudian masuk peran pemerintah sebagai regulator untuk mengatur keseimbangan. Keseimbangan dalam membuat perjanjian, misalnya dalam hal Konsumen telah memberikan informasi dan dokumen yang jujur dan tidak menyesatkan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyimpan dan menggunakan informasi dan dokumen tersebut semata-mata untuk kepentingan Konsumen.Keadilan dalam membuat perjanjian, misalnya dalam hal Konsumen telah sepakat untuk membayar produk danatau layanan dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Pelaku Usaha Jasa Keuangan juga harus memberikan produk danatau layanan dimaksud sesuai dengan perjanjian.Sebagai contoh kewajaran dalam membuat perjanjian, misalnya penetapan harga atau biaya yang dikenakan atas produk danatau layanan harus sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. 96 Yang dimaksud dengan “transparansi” dalam huruf ini adalah pemberian informasi mengenai produk danatau layanan kepada Konsumen, secara jelas, lengkap, dengan bahasa yang mudah dimengerti. 97 Pasal 7 Perjanjian KPR Bank Panin mengatakan bahwa dalam hal terjadi kelebihan pembayaran, maka nasabah debitur tidak berhak untuk memintanya kembali. Disini PUJK harus transparan atas semua fitur-fitur produknya, akurat, jujur, jelas, tidak menyesatkan, menggunaan kalimat sederhana dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti konsumen. 98 Hal tersebut kini bertentangan, karena menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli. 99 2. Kecakapan 96 Penjelasan Peraturan OJK No.1POJK.072013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 21 97 Ibid., Pasal 2 98 Diana Saraswati Purnamasari, Analisa Perjanjian Baku Bank Panin Bandung Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia, 2011 hal. 89 99 Peraturan OJK Op.Cit., Pasal 22 Ayat 3 Walaupun kesepakatan sudah memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku, namun apabila ada pihak yang belum dewasa atau tidak cakap atau tidak berwenang, maka perjanjian bisa dibatalkan. Pasal 330 KUH Perdata ‘Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin’. Pasal 1330 KUH Perdata ‘Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: orang- orang yang belum dewasa, mereka yang dibawah pengampuan. Wewenang sendiri terkait dengan kewenangan jabatan; misalnya pimpinan cabang, bila tidak ada surat kuasa direksi, perikatannya bisa dibatalkan. Meskipun terlihat sepele, kecakapan tetap harus diperhatikan. Sebagai contoh ada beberapa bank yang melayani pinjaman dengan debitur “belum dewasa” walaupun yang bersangkutan sudah mandiri, punya usaha, dan pegawai atau ada kepala cabang yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tapi tidak memiliki surat kuasa dari direktur. Perjanjian yang memuat hal-hal tersebut perlu dihindarkan karena bentuk perjanjian seperti itu terancam untuk dibatalkan. 3. Hal tertentu Mengenai suatu hal tertentu, bahwa diperkenankan memperjanjikan sesuatu yang akan datang tapi tidak boleh bertentangan dengan undang-Undang. Misalkan, bank berhak untuk meminta pembayaran atas seluruh hutang termasuk denda dan biaya yang telah disepakati dan tertera diperjanjian ini, akan terjadi sebagai akibat dari tidak terbayarnya hutang debitur. Adapun hal yang dilarang misalkan untuk menjamin kreditnya debitur menyerahkan seluruh harta miliknya yang sekarang ada dan yang dikemudian hari akanada, termasuk harta warisan yang betul-betul menjadi bagiannya secara sah.Adapun yang menjadi dasar hukum hal tersebut adalah Pasal 1334 KUH Perdata ‘barang-barang yang baru akanada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, atau pun untuk meminta diperjanjian sesuatu hal mengenai warisan itu, sekali pun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan pasal 169, 179 dan 178. 4. Sebab yang halal Sebab yang halal dapat dilihat pada Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau keteriban umum. Hal ini kemudian diimplementasikan kedalam Pasal 22 Peraturan OJK No.1POJK.072013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan juga Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen bahkan pada ayat 3 menentukan bahwa klausula tersebut batal demi hukum. Adapun larangan-larangan yang termuat adalah: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk danatau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk danatau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan danatau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk danatau layanan yang dibelinya; danatau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk danatau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. Offering Letter Agar terpenuhinya keempat syarat sahnya suatu perjanjian maka sudah kewajiban bagi kreditur untuk memberikan surat penawaran offering letter kepada calon debiturnya. Offering letter bermanfaat bagi kedua belah pihak dalam melakukan tawar menawar dalam usaha mencapai suatu kesepakatan. Dengan demikian, Johannes Ibrahim dalam bukunya Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif menyebutkan bahwa perjanjian bank tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian baku, dengan pertimbangan bahwa: 100 1. Dalam praktik sebelum nasabah debitur menandatangani perjanjian kredit, bank menyerahkan terlebih dahulu surat penawaran offering letteratas fasilitas pinjaman atau kredit yang telah disetujuinya. Surat penawaran dimaksudkan sebagai suatu pendahuluan untuk dasar perundingan yang menyebutkan secara ringkas, besar dan jenis fasilitas yang akan diberikan, bunga, jaminan yang disyaratkan, provisi, dan syarat lain yang dianggap penting sehubungan dengan perjanjian pemberian pinjaman. 2. Surat penawaran dimaksudkan dalam butir 1 dapat diterima, ditolak, atau terdapat perubahan – perubahan disesuaikan dengan keinginan calon debitur. Di sini masih dimungkinkan untuk diadakan negosiasi antara pihak bank dengan calon debitur. 3. Dengan mempertimbangkan surat penawaran dan persyaratan – persyaratan yang tercantum di dalamnya, bila debitur tidak berkeberatan lagi, berarti telah menyatakan menerima penggunaan format perjanjian yang ditawarkan bank. 4. Subjek dan objek dari perjanjian kredit bank, selalu berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan calon debitur. Sehingga perjanjian kredit bank tidak 100 Johannes Ibrahim, 2004. Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, Bandung : CV. Utama, hal. 115. mungkin memiliki suatu pola yang sama walaupun terdapat kesamaan yang satu dan lainnya. Kemudian ditambahkannya bahwa Perjanjian kredit bank dan perumusan klausula – klausula yang terdapat di dalamnya, sangat tergantung dari kebutuhan calon debitur secara pribadi, dan bank harus dapat mengantisipasinya dengan cepat.Debitur dan bank merupakan mitra untuk mencapai kemanfaatan bagi kedua belah pihak, dan tiada satu pun yang dirugikan. Untuk itu, sepatutnya perumusan klausula perjanjian kredit dapat dinegosiasi oleh kedua belah pihak,dan perundang-undangan membatasi sebagai kaidah hukum yang bersifat mengatur optionalsaja. 101 101 Johannes Ibrahim., Op.Cit.,hal. 117. 80 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian pembahasan pada bab-bab terdahulu, penulis berkesimpulan bahwa: 1. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Perlindungan Nasabah Bank adalah dengan cara pemberian edukasi danperlindungankonsumen. Dalampelaksanaannya, konsep pemberian edukasidanperlindungankonsumen sektor jasakeuangannasabah bank di OJK dikelompokkanmenjadi dua, bersifatPreventive actions yaknitindakan yang dilakukandalambentukpengaturandanpelaksanaan di bidangedukasidanperlindungankonsumen. Yang berikutnyaRepresive actions ialahtindakan yang dilakukandalambentukpenyelesaianpengaduan, fasilitasipenyelesaiansengketa, penghentiankegiatanatautindakanlain, danpembelaan hukum untukmelindungikonsumen. 2. Lingkup Perlindungan Nasabah Bank atas Jasa-Jasa Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mana terdapat 3 Aspek Utama, yaitu 1. Peningkatantransparansidanpengungkapanmanfaat, risiko, sertabiayaatasprodukdanataulayanan PUJK, 2. Tanggungjawab PUJK untukmelakukanpenilaiankesesuaianprodukdanataulayanandenganrisiko yang dihadapiolehkonsumenkeuangan., 3. Prosedur yang lebihsederhanadankemudahankonsumenkeuanganuntukmenyampaikanpeng aduandanpenyelesaiansengketaatasprodukdanataulayanan PUJK. 3. Perlindungan Nasabah Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan Perjanjian Baku dimana dalampelaksanaannyaperjanjianbakuharusmemnuhiPasal 1320 KUHPerdatauntuksahnyasuatuperjanjianyakni: 1. Sepakatmereka yang mengikatkandirinya; 2. Kecakapanuntukmembuatsuatuperikatan; 3. Suatuhaltertentu; 4. Suatusebab yang halal. Agar keempatnya bisa terlaksanamakadalammelakukansuatuperjanjianmakapihak bank memberikanoffering letter yang bermanfaatsebagaipenyeimbang .sehinggakrediturberkesempatanmemilikiposisitawar yang cukupkuat, setidaknyamendekatiposisiseimbangdengandebitur.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

3 95 116

Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan (Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan)

3 71 96

ANALISIS YURIDIS INDEPENDENSI OJK (OTORITAS JASA KEUANGAN) DALAM UPAYA PENGAWASAN BANK Analisis Yuridis Independensi Ojk (Otoritas Jasa Keuangan) Dalam Upaya Pengawasan Bank.

0 2 16

ANALISIS YURIDIS INDEPEDENSI OJK (OTORITAS JASA KEUANGAN) DALAM UPAYA PENGAWASAN BANK Analisis Yuridis Independensi Ojk (Otoritas Jasa Keuangan) Dalam Upaya Pengawasan Bank.

0 5 12

Cover Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan (Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan)

0 0 8

Abstract Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan (Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan)

0 0 1

Chapter I Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan (Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan)

0 0 13

Reference Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan (Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan)

0 0 4

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK DAN NASABAH BANK A. Asas, Fungsi, dan Tujuan Perbankan 1. Asas Perbankan - Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Me

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Nasabah Bank Setelah Adanya Otoritas Jasa Keuangan Dalam Perbankan Studi Ojk Kantor Regional V Sumatera, Medan

0 0 13