yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI. Salah satu persyaratan kosmetik dalam hal ini perona kelopak mata eye shadow, adalah kandungan logam-logam
beratnya harus negatif. Logam-logam berat disinyalir mempunyai efek toksik karena bersifat karsinogen atau penyebab kanker. Logam-logam tersebut antara lain raksa
atau Hg, timbal atau Pb, arsen atau As, kadmium atau Cd, dan kromium atau Cr Supriyadi, 2008.
Seperti logam merkuri atau Hg yang sering ditambahkan ke dalam kosmetik produk pemutih karena merkuri umumnya tampak putih mengkilap. Pemakaian
merkuri dalam krim pemutih wajah bisa menimbulkan perubahan warna kulit, alergi, hingga bintik hitam www.news.okezone.com.
Begitu juga dengan penambahan logam lainnya seperti logam Cr, logam tersebut umumnya digunakan dalam industri tekstil dan cat sebagai pigmen warna.
Bagi produsen yang hanya mengejar keuntungan semata dengan sengaja menambahkan logam-logam ini pada kosmetik perona kelopak mata untuk
memantapkan warnanya. Residu logam berat yang terdapat pada perona kelopak mata juga dapat berasal dari cemaran yang timbul dalam proses pembuatan kosmetik
tersebut, akibat dari kurangnya kesadaran pihak produsen Fatmawaty dan Sosiyawati, 2008.
Dari uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian terhadap kosmetika perona kelopak mata eye shadow, berapa besar kadar logam kromium
Cr yang terdapat pada perona kelopak mata eye shadow yang berbahaya bagi manusia.
1.2 Permasalahan
Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.
Berapakah besar kadar logam Cr yang terdapat di dalam perona kelopak mata eye shadow yang tidak teregistrasi BPOM.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Pembatasan Masalah
1. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kosmetika perona kelopak mata eye shadow yang teregistrasi dan tidak teregistrasi BPOM.
2. Penentuan besarnya kadar logam Cr dalam perona kelopak mata eye shadow tersebut dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom SSA.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui besar kadar logam Cr yang terdapat di dalam perona kelopak mata eye shadow yang tidak teregistrasi BPOM.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya para ibu dan remaja putri tentang bahaya yang bisa ditimbulkan oleh kosmetika perona kelopak mata eye
shadow yang didalamnya terdapat kandungan logam Cr baik yang teregistrasi dan tanpa registrasi BPOM sehingga dapat terhindar dari bahaya tersebut.
1.6 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Analitik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
1.7 Metodologi Penelitian
1. Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak di beberapa pasar dan swalayan di kota Medan.
2. Sampel dipreparasi dengan menggunakan metode destruksi pengabuan kering dan hasil akhir destruksi dilarutkan dengan pelarut HCl 6 M.
3. Penentuan kadar logam Cr dilakukan dengan Spektrofotometer Serapan Atom dengan panjang gelombang 357,9 nm.
4. Analisis data yang diperoleh diolah dengan cara statistik.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kosmetika
Kosmetika berasal dari kata kosmein Yunani yang berarti “berhias”. Bahan yang dipakai dalam usaha untuk mempercantik diri ini, dahulu diramu dari bahan-bahan
alami yang terdapat di sekitarnya. Ketika kemudian terjadi kemajuan dalam segala bidang kehidupan termasuk bidang sains dan teknologi, kosmetika berubah menjadi
komoditi yang diproduksi secara luas dan diatur oleh berbagai peraturan dan persyaratan tertentu untuk memenuhi standar mutu dan keamanan bagi konsumen.
Berbagai masalah kosmetika di Indonesia ditangani oleh Direktorat Kosmetika Ditjen POM Departemen Kesehatan RI Wasitaatmadja, 1997.
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik yang dimaksud
dengan kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian
luar atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau memelihara tubuh pada
kondisi baik BPOM, 2008.
Namun sudah menjadi kenyataan bahwa komoditi kosmetika di Indonesia tidak hanya dibuat oleh pabrik kosmetika yang resmi dan mempunyai legalitas untuk
itu. Berbagai kalangan lain ternyata ikut membuat produk kosmetika, di rumah, salon kecantikan, maupun di klinik kecantikan atau kesehatan. Tidak setiap orang mampu
membuat produk kosmetika yang baik memenuhi standar mutu dan aman. Dengan demikian, seseorang yang ingin membuat kosmetika harus mempunyai izin produksi
Universitas Sumatera Utara
dari Departemen Perindustrian RI, membuat kosmetika dengan baik dan aman memenuhi Kode Etik Kosmetika Indonesia, tidak menggunakan zat yang dilarang
atau melebihi batas maksimum, mendaftarkan produk kosmetikanya untuk diteliti, dan bila lulus akan diberi nomor registrasi Wasitaatmadja, 1997.
2.1.1 Penggolongan Kosmetika
Dewasa ini terdapat ribuan kosmetika di pasar bebas. Kosmetika tersebut adalah produk pabrik kosmetika di dalam dan di luar negeri yang jumlahnya telah mencapai
angka ribuan. Jumlah yang sedemikian banyak memerlukan usaha penyederhanaan kosmetika, baik untuk tujuan pengaturan maupun pemakaian. Usaha tersebut berupa
penggolongan kosmetika Wasitaatmadja, 1997.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 045CSK1977 tanggal 22 Januari 1977, menurut kegunaannya kosmetika dikelompokkan dalam 13
golongan yaitu : a. Sediaan untuk bayi.
b. Sediaan untuk mandi. c. Sediaan untuk make-up mata.
d. Sediaan wangi-wangian. e. Sediaan rambut bukan cat rambut.
f. Sediaan pewarna rambut cat rambut. g. Sediaan make-up bukan untuk mata.
h. Sediaan untuk kebersihan mulut. i. Sediaan kuku.
j. Sediaan untuk kebersihan badan. k. Sediaan cukur.
l. Sediaan perawatan kulit. m. Sediaan suntan dan sunscreen, yaitu losion atau krim yang digunakan dengan
maksud merubah kulit yang putih menjadi berwarna coklat, tanpa kulit terbakar oleh sinar matahari.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini pembahasan tentang kosmetika dikhususkan pada sediaan untuk make-up mata yaitu perona kelopak mata yang biasa disebut eye shadow Sartono,
2002.
Tata rias mata atau sediaan make-up mata merupakan sediaan yang digunakan untuk memperindah penampilan bentuk mata termasuk di dalamnya mascara, eye
shadow, eye brow pencil, dan eye liner Lesmono, 1985.
2.1.2 Perona Kelopak Mata Eye Shadow
Mata merupakan organ tubuh yang sering dinilai keindahannya dalam penampilan seseorang. Rias mata merupakan hal yang tidak dapat dilupakan begitu saja apabila
seseorang ingin berpenampilan lebih, tentu dengan selalu mempertimbangkan kondisi, keperluan dan tujuan yang ingin dicapai.
Perona kelopak mata eye shadow ialah rias kelopak mata yang dipakai agar
tampak lebih gelap sehingga kelopak mata terihat lebih cekung ke dalam. Bentuk sediaan berupa : compact powder, krim anhydrous, emulsi, stick, dan pensil.
Setting cream adalah krim dasar yang berfungsi agar eye shadow melekat lebih erat sehingga tidak meleleh ke lipatan kelopak mata. Bahan ini berisi lilin lebah,
siklometikon, dan talkum.
Sedangkan eye shadow pada umumnya mengandung lanolin, beeswax, seresin, kalsium karbonat, minyak mineral, sorbitan oleate dan tepung Wasitaatmadja, 1997.
Sediaan kosmetika pada umumnya terdiri dari 95 bahan dasar dan 5 bahan aktif. Bahkan, terdapat juga yang sama sekali tidak mengandung bahan aktif.
Dengan demikian, sifat dan efek sediaan kosmetika khususnya sediaan kosmetika untuk kulit, terutama ditentukan oleh bahan dasarnya Sartono, 2002.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Bahan Baku dalam Pembuatan Kosmetika
Bahan baku kosmetika sangat bervariasi dan jumlahnya dapat mencapai ribuan jenis. Untuk memenuhi kebutuhan dasar produksi kosmetika, ada 5 macam bahan baku yang
penting, yaitu : waxws dan oils, pengawet dan antiseptik, antioksida, pewarna, dan pewangiparfum.
2.1.3.1 Pewarna
Pewarna yang digunakan dalam kosmetika umumnya terdiri atas 2 jenis yaitu : a. Pewarna yang dapat larut dalam cairan soluble, air, alkohol atau minyak.
Contohnya adalah pewarna asam, solvent dyes seperti merah DC, merah hijau No. 17, violet, kuning dan xanthene dyes seperti DC orange, merah dan
kuning. b. Pewarna yang tidak dapat larut dalam cairan insoluble, yang terdiri atas
bahan organik dan inorganik, misalnya lakes dan besi oksida. Tidak semua zat warna dapat digunakan untuk kosmetika. Kulit di beberapa bagian
tubuh sensitif terhadap warna tertentu sehingga memerlukan warna khusus, seperti kulit sekitar mata, kulit sekitar mulut, bibir, dan kuku Wasitaatmadja, 1997.
Di dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik yang dimaksud dengan bahan pewarna
adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk memberi dan atau memperbaiki warna pada kosmetik. Daftar bahan pewarna yang diizinkan digunakan
dalam bahan kosmetik tersebut khususnya yang digunakan dalam pembuatan kosmetik untuk tata rias mata dan membran mukosa dapat dilihat pada tabel 1 dalam
lampiran BPOM, 2008.
2.1.3 Keracunan Kosmetika
Sediaan kosmetika sendiri bukanlah racun. Akan tetapi, karena dibuat dari bahan- bahan kimia, terutama bagi kulit orang-orang tertentu, dapat menyebabkan timbul
Universitas Sumatera Utara
reaksi yang tidak dikehendaki seperti reaksi alergi, dan fotosensitisasi, selain yang disebabkan oleh kesalahan dalam penggunaannya Sartono, 2002.
Sedangkan pada kelopak mata, bahan-bahan kimia tersebut dapat menyebabkan terjadinya radang pada kelopak mata yang merupakan radang kelopak
dan tepi kelopak. Juga dapat menyebabkan terjadinya alergi pada kelopak mata yang disebut dengan blefaritis alergi yang disebabkan oleh debu, asap, bahan kimia iritatif,
dan bahan kosmetik Ilyas, 1997.
Karena bermacam-macam reaksi kulit yang dapat terjadi pada penggunaan sediaan kosmetika, telah dilakukan usaha untuk membuat sediaan kosmetika yang
disebut “kosmetika hipoalergi”. Kosmetika jenis ini tidak lagi menggunakan bahan- bahan yang dapat menimbulkan bermacam-macam reaksi kulit, seperti senyawa arsen,
aluminium sulfat, aluminium klorida, balsam Peru, fenol, formaldehid, lanolin, senyawa merkuri, senyawa bismuth, minyak bergamot, minyak lavender, asam
salisilat, dan heksaklorofen. Khusus untuk zat warna, dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239Men.KesPerV1985 tanggal 1 Mei 1985, telah ditetapkan zat
warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang digunakan dalam obat, makanan, dan kosmetika yang terdapat pada tabel 2 dalam lampiran.
Sehubungan dengan kemungkinan timbulnya reaksi kulit yang disebabkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan sediaan kosmetika, maka masalah
yang kita hadapi dalam penggunaan sediaan kosmetika umumnya tidak dicantumkan kandungan bahan dasar dan bahan aktif pada kemasan dari sediaan kosmetika yang
beredar di Indonesia Sartono, 2002.
Di dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetika tercantum bahwa
bahan kosmetika adalah bahan atau campuran bahan yang berasal dari alam dan atau sintetik yang merupakan komponen kosmetika. Juga terdapat daftar bahan kosmetika
yang dilarang digunakan yang tercantum pada tabel 3 dalam lampiran BPOM, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Manfaat Kosmetika
Bila dasar kecantikan adalah kesehatan, maka penampilan kulit yang sehat adalah bagian yang langsung dapat kita lihat, karena kulit merupakan organ tubuh yang
berada paling luar dan berfungsi sebagai pembungkus tubuh. Dengan demikian pemakaian kosmetika yang tepat untuk perawatan kulit, rias atau dekoratif akan
bermanfaat bagi kesehatan tubuh Wasitaatmadja, 1997.
2.2 Logam Berat
Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang berperan penting dalam sejarah peradaban manusia. Logam berat masih
termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan
dan atau masuk ke dalam organisme hidup www.blogspot.com.
Terdapat 80 jenis logam berat dari 109 unsur kimia di muka bumi ini. Logam berat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu :
1. Logam berat esensial; yakni logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam tersebut menimbulkan efek
toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. 2. Logam berat tidak esensial; yakni logam yang keberadaannya dalam tubuh masih
belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.
Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta
besarnya dosis paparan Widowati, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Logam Kromium Cr
Kromium adalah logam kristalin yang putih, tak begitu liat dan tak dapat ditempa dengan berarti. Ia melebur pada 1765
o
C. Logam ini larut dalam asam klorida encer atau pekat. Dalam larutan-larutan air, kromium membentuk tiga jenis ion : kation-
kation kromium II dan kromium III dan anion kromat dan dikromat, dimana keadaan oksidasi kromium adalah +6 Vogel, 1985.
Kromium tahan korosi, karenanya digunakan sebagai lapisan pelindung pada pelapisan elektrolitik. Ia mudah larut dalam HCl, H
2
SO
4
, dan HClO
4
tetapi menjadi pasif oleh HNO
3
Cotton, 1989.
Logam berat kromium Cr merupakan logam berat dengan berat atom 51,996 gmol; tahan terhadap oksidasi meskipun pada suhu tinggi, memiliki titik didih
2.672
o
C, bersifat paramagnetik sedikit tertarik oleh magnet, membentuk senyawa- senyawa berwarna Gambar 2.2, memiliki beberapa bilangan oksidasi, yaitu +2, +3,
dan +6, dan stabil pada bilangan oksidasi +3. Kromium bisa membentuk berbagai macam ion kompleks yang berfungsi sebagai katalisator.
Gambar 2.1 Kromium Cr
Kromium secara alami bisa ditemukan di batuan, tumbuhan, hewan, tanah dan gas, serta debu gunung berapi.
Logam Cr murni tidak pernah ditemukan, tetapi biasanya sudah berbentuk persenyawaan padat atau mineral dengan unsur-unsur lain Widowati, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Krom merupakan mineral esensial yang berperan dalam metabolisme karbohidrat dan lipida. Seperti halnya besi, krom berada dalam berbagai bentuk
dengan jumlah muatan berbeda. Konsentrasi krom di dalam jaringan tubuh menurun dengan umur, kecuali pada jaringan paru-paru yang justru meningkat Almatsier,
2004.
2.2.1.1 Kegunaan Kromium Cr
Kromium terdapat dalam bijih tambang. Logam ini digunakan untuk membuat baja antikarat, berbagai aloi, dan pigmen Lu, 1994.
Kromium termasuk logam mineral yang jumlahnya sedikit, baik dalam makanan maupun pada tubuh manusia, tetapi sangat penting bagi kesehatan. Nutrien
ini tergolong essential trace mineral mineral penting yang dibutuhkan dalam jumlah kecil karena tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipasok dari makanan
sehari-hari. Karena sedikitnya kebutuhan kromium ini hingga sering tak diperhitungkan padahal zat ini sangat diperlukan bagi hampir semua jaringan tubuh
manusia, termasuk kulit, otak, otot, limpa, dan ginjal. Selain itu kromium juga berfungsi menjaga keseimbangan kadar gula darah dan meningkatkan efisiensi kerja
insulin, menurunkan kolesterol dan trigliserida, dan membantu sintesa kolesterol www.lovekimiabanget.blogspot.com.
Berikut berbagai kegunaan kromium : 1. Bidang metalurgi untuk mencegah korosi, mengkilatkan logam, antara lain sebagai
bahan komponen alloy, anodized aluminium, chrome platting, dan wood treatment. Kromium dalam jumlah kecil digunakan sebagai water treatment, katalisator,
safety matches, copy machine toner, photographic chemical, magnetic tapes, pelapis pada spare-part kenderaan bermotor, dan stainless steel. Dalam bidang
kesehatan, Cr digunakan sebagai bahan pembuatan alat ortopedi, sebagai radio isotop kromium yang bisa menghasilkan sinar gamma untuk penandaan sel darah
merah, serta sebagai penjinak sel tumor.
Universitas Sumatera Utara
2. Sebagai pewarna, pencelup, dan cat. Dalam bidang industri kimia, Cr berguna sebagai bahan dasar pembuatan pigmen cat warna karena Cr mengandung
komponen warna merah, kuning, orange, dan hijau. 3. Sebagai katalisator.
4. Garam kromium untuk penyamakan kulit. 5. Potasium dikromat sebagai chemical reagent untuk mencuci membersihkan alat
gelas laboratorium dan titrating agent. 6. Sebagai antikorosi pada alat pengeboran sumur berlumpur. Senyawa ZnCrO
4
atau zinc yellow digunakan untuk mencegah korosi pada spare-part pesawat yang
menggunakan Al dan Mg.
2.2.1.2 Efek Toksik Bahaya Kromium Cr
Logam Cr adalah bahan kimia yang bersifat persisten, biokumulatif, dan toksik yang tinggi serta tidak mampu terurai di dalam lingkungan, sulit diuraikan, dan akhirnya
diakumulasi di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Kestabilan kromium akan mempengaruhi toksisitasnya terhadap manusia secara berurutan, mulai dari
tingkat toksisitas terendah Widowati, 2008. Aksi kromium bersifat racun terhadap sel-sel cytotoxic dan iritasi umum.
Pengaruh racun kromium antara lain : chromate menyebabkan serangan pada kulit, debu kromium menimbulkan sakit mata dan borok pada sekitar hidung, infeksi
pharynx dan bronchitis dan dapat menimbulkan kanker paru-paru Adiwisastra, 1987.
Selain keracunan kronik karena debu krom dan senyawa krom, dapat juga terjadi keracunan kronik yang disebabkan absorpsi melalui kulit dan keracunan akut
melalui mulut. Dosis fatal senyawa krom yang larut dalam air dan memungkinkan keracunan melalui mulut, seperti kalium kromat, kalium bikromat, dan asam kromat,
kira-kira 5 g. Pada kematian yang disebabkan oleh keracunan senyawa krom dapat terjadi nefritis yang disertai oleh pendarahan Sartono, 2002.
Kelebihan krom karena makanan belum pernah ditemukan. Pekerja yang terkena limbah industri dan cat yang mengandung krom tinggi dikaitkan dengan
Universitas Sumatera Utara
kejadian penyakit kanker paru-paru. Tubuh tidak dapat mengoksidasi krom makanan dengan valensi 3 yang tidak toksik menjadi bentuk valensi 6 yang toksik Almatsier,
2004.
Kromium adalah karsinogen manusia, yang menginduksi kanker paru-paru di antara pekerja yang terpapar logam ini. Karsinogenitas kromium biasanya disebabkan
oleh Cr heksavalen Cr
6+
, yang bersifat korosif dan tidak larut dalam air. Secara akut, Cr
6+
menginduksi nekrosis tubulus ginjal Lu, 1994.
2.2.1.3 Pencegahan dan Penanggulangan Toksisitas Cr
Berbagai usaha untuk menghindari atau mengurangi risiko terpapar Cr antara lain: 1. Menghindarkan anak-anak bermain tanah yang tercemar limbah.
2. Mengurangi konsumsi suplemen Cr secara berlebihan. 3. Mengetahui kadar Cr pada rambut, urin, dan darah, baik serum, sel darah merah,
maupun whole blood guna mengetahui apakah kadar Cr telah melampaui batas aman atau telah mengontaminasi meskipun ada kesulitan untuk membedakan kadar
Cr III dengan Cr VI. 4. Menghindari makanan yang kotor dan tidak higienis dan mencuci tangan sebelum
makan Widowati, 2008.
2.3 Spektrofotometri Serapan Atom 2.3.1 Teori Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometri dapat dibayangkan sebagai suatu perpanjangan dari penilikan visual di mana studi yang lebih terinci mengenai pengabsorpsian energi cahaya oleh spesies
kimia memungkinkan kecermatan yang lebih besar dalam pencirian dan pengukuran kuantitatif. Dengan mengganti mata manusia dengan detektor-detektor radiasi lain,
dimungkinkan studi absorpsi di luar daerah spektrum tampak, dan seringkali eksperimen spektrofotometri dilakukan secara automatik Underwood, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika mengamati garis-garis hitam pada spektrum matahari. Spektroskopi serapan atom
pertama kali digunakan pada tahun 1955 oleh Walsh. Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit
trace dan sangat kelumit ultratrace. Cara analisis memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul dari logam
dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis kelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi batas deteksi kurang dari 1 ppm, pelaksanaannya
relatif sederhana, dan interferensinya sedikit. Dalam garis besarnya prinsip spektroskopi serapan atom sama saja dengan spektrofotometri sinar tampak dan
ultraviolet. Perbedaannya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya.
Emisi dan Absorpsi
Di dalam kimia analisis yang mendasarkan pada proses interaksi itu antara lain cara analisis spektrofotometri serapan atom yang bisa berupa cara emisi dan cara absorpsi
serapan. Pada cara emisi, interaksi dengan energi menyebabkan eksitasi atom yang
mana keadaan ini tidak berlangsung lama dan akan kembali ke tingkat semula dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi. Frekwensi
radiasi yang dipancarkan bersifat karakteristik untuk setiap unsur dan intensitasnya sebanding dengan jumlah atom yang tereksitasi dan yang mengalami proses de-
eksitasi. Pemberian energi dalam bentuk nyala merupakan salah cara untuk eksitasi atom ke tingkat yang lebih tinggi. Cara tersebut dikenal dengan nama spektrofotometri
emisi nyala.
Pada absorpsi, jika pada populasi atom yang berada pada tingkat dasar dilewatkan suatu berkas radiasi maka akan terjadi penyerapan energi radiasi oleh
atom-atom tersebut. Frekwensi radiasi yang paling banyak diserap adalah frekwensi radiasi resonan dan bersifat karakteristik untuk tiap unsur. Pengurangan intensitasnya
sebanding dengan jumlah atom yang berada pada tingkat dasar.
Universitas Sumatera Utara
Metode Spektrofotometri Serapan Atom SSA mendasarkan pada prinsip absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya Gandjar, 2007.
Secara mendasar, metode-metode spektroskopi ini didasarkan pada interaksi antara cahaya dengan materi. Hubungan antara energi dan panjang gelombang λ
dilukiskan sebagai : E = hc
λ dengan E = energi cahaya Joule
h = konstanta Planck 6,63 x 10
-34
J.s c = kecepatan cahaya 3.10
8
ms, dan λ = panjang gelombang nm
Bila materi disinari, kemungkinan cahaya diserap, dihamburkan nefelometri dan turbidimetri, diserap dan dipancarkan kembali dengan panjang gelombang yang
sama atau berbeda spektrofotometri, dibelokkan, dan diubah sudut getarnya.
Transmitansi dan Absorbansi
P T =
Po
Gambar 2.2 Pengurangan Kekuatan Sinar oleh Larutan Pengabsorbsi
Gambar 2.2 memperlihatkan kekuatan sinar sebelum Po dan sesudah P melewati larutan yang mempunyai ketebalan b cm dan konsentrasi zat penyerap sinar c. Sebagai
akibat interaksi di antara cahaya dan partikel-partikel penyerap pengabsorbsi adalah berkurangnya kekuatan sinar dari Po ke P. Transmitansi larutan T merupakan bagian
dari cahaya yang diteruskan melalui larutan. Jadi, Po
P b
Universitas Sumatera Utara
P T = 1
Po
Transmitansi T sering dinyatakan sebagai persentase T. Absorbansi A suatu larutan dinyatakan sebagai persamaan :
Po A = - log T = log 2
P
Berbeda dengan transmitansi, absorbansi larutan bertambah dengan pengurangan kekuatan sinar. Bila ketebalan benda atau konsentrasi materi yang
dilewati cahaya bertambah, maka cahaya akan lebih banyak diserap. Jadi absorbansi berbanding lurus dengan ketebalan b dan konsentrasi c,
A = a . b . c 3
dimana a adalah konstanta absortivitas “absorptivity”. Harga a bergantung pada satuan yang digunakan untuk b dan c. Bila konsentrasi dinyatakan dalam molliter dan
panjang sel dalam cm, maka absortivitas disebut absortivitas molar molar absorptivity dan diberi simbol ε. Jadi persamaan 3 dapat ditulis :
A = ε . b . c 4
dimana ε mempunyai satuan L cm
-1
mol
-1
.
Elektron-elektron dari ion logam diatomisasi ke orbital yang lebih tinggi dengan cara mengabsorbsi sejumlah energi misalnya energi cahaya pada panjang
gelombang tertentu. Panjang gelombang ini khusus dan spesifik untuk transisi elektron bagi unsur logam tertentu, sehingga setiap panjang gelombang hanya
berkaitan dengan satu unsur logam. Jumlah energi yang diaplikasikan pada nyala dapat diukur, sehingga jumlah energi pada sisi lainnya dapat diketahui. Prinsip ini
berdasarkan Hukum Beer-Lambert, dan energi yang ditransmisikan menjadi signal
Universitas Sumatera Utara
yang terdeteksi pada detektor. Jumlah energi yang ditransmisikan sebanding dengan konsentrasi logam, seperti digambarkan dalam persamaan 3 dan 4. Hubungan
antara absorbansi A dengan konsentrasi zat pengabsorbsi adalah linier Hendayana, 1994.
Ditinjau dari hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi, maka hukum Lambert-Beer dapat digunakan jika sumbernya adalah sinar monokromatis. Pada SSA,
panjang gelombang garis absorpsi resonansi identik dengan garis-garis emisinya. Hal ini disebabkan karena serasinya proses transisi. Untuk bekerja pada panjang
gelombang ini, diperlukan suatu monokromator celah yang dapat mengahsilkan lebar puncak sekitar 0,002 – 0,005 nm. Jelaslah bahwa pada SSA diperlukan suatu sumber
radiasi yang mengemisikan sinar pada panjang gelombang yang tepat sama dengan panjang gelombang emisinya, yakni dengan menggunakan sumber sinar lampu katoda
berongga Gandjar, 2007.
2.3.2 Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom
Sistem peralatan spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada gambar 2.3, terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
Gambar 2.3 Sistem peralatan spektrofotometer serapan atom
1. Sumber sinar
Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga hollow cathode lamp. Lampu ini mengandung gas argon atau neon, berbentuk katoda silindris
yang mengandung logam untuk proses eksitasi, serta sebuah anoda Gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Ketika aliran listrik bervoltase tinggi diaplikasikan sepanjang katoda dan anoda, partikel gas terionisasi. Kenaikan voltase menyebabkan ion gas memiliki cukup
energi untuk melontarkan atom logam keluar dari katoda. Beberapa dari atom-atom gas ini berada dalam bentuk yang tereksitasi dan mengemisikan cahaya pada
panjang gelombang yang spesifik sama dengan logam yang akan dianalisis Lestari, 2009.
Gambar 2.4 Diagram skematik lampu katoda cekung
Neon biasanya lebih disukai karena memberikan intensitas pancaran lampu yang lebih rendah.
Salah satu kelemahan penggunaan lampu katoda berongga adalah satu lampu digunakan untuk satu unsur, akan tetapi saat ini telah banyak dijumpai suatu lampu
katoda berongga kombinasi; yakni salah satu lampu dilapisi dengan beberapa unsur sehingga dapat digunakan untuk analisis beberapa unsur sekaligus.
2. Tempat sampel
Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada
berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu : dengan nyala flame dan dengan tanpa nyala flameless.
Universitas Sumatera Utara
a. Nyala Flame
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pemilihan macam bahan
pembakar dan gas pengoksidasi serta komposisi perbandingannya sangat mempengaruhi suhu nyala. Sumber nyala yang paling banyak digunakan adalah
campuran asetilen sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi.
Nyala yang diperlukan untuk penetapan berbagai unsur, kisaran kerjanya, dan batas deteksinya dapat dilihat pada tabel 4 dalam lampiran.
Cara Pengatoman Pada Nyala
Pemasukan sampel ke dalam nyala dengan cara yang ajeg dan seragam membutuhkan suatu alat yang mampu mendispersikan secara seragam di dalam nyala. Ada beberapa
cara atomisasi dengan nyala ini, yaitu:
i. Cara langsung pembakar konsumsi total atau total consumption burner
Pada cara ini, sampel dihembuskan diaspirasikan secara langsung ke dalam nyala, dan semua sampel akan dikonsumsi oleh pembakar. Variasi ukuran kabut droplet
sangat besar. Diameter partikel rata-rata sebesar 20 mikron, dan sejumlah partikel ada yang mempunyai diameter lebih besar 40 mikron. Semakin besar kabut yang
melewati nyala tanpa semuanya diuapkan, maka efisiensinya semakin rendah.
ii. Cara tidak langsung
Pada model ini, larutan sampel dicampur terlebih dahulu dengan bahan pembakar dan bahan pengoksidasi dalam suatu kamar pencampur sebelum dibakar. Tetesan-
tetesan yang besar akan tertahan dan tidak masuk ke dalam nyala. Dengan cara ini, ukuran terbesar yang masuk ke dalam nyala ± 10 mikron sehingga nyala lebih s
stabil dibandingkan dengan cara langsung.
Universitas Sumatera Utara
Masalah yang terkait dengan penggunaan cara ini adalah adanya kemungkinan nyala membakar pencampur dan terjadi ledakan. Akan tetapi, hal ini dapat dihindari
dengan menggunakan lubang sempit atau dengan cara mematuhi aturan yang benar terkait dengan cara menghidupkan gas.
b. Tanpa nyala flameless
Teknik atomisasi dengan nyala dinilai kurang peka karena atom gagal mencapai nyala, tetesan sampel yang masuk ke dalam nyala terlalu besar, dan proses a
atomisasi kurang sempurna. Oleh karena itu, muncullah suatu teknik atomisasi yang baru yakni atomisasi tanpa nyala. Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku
dari grafit. Sejumlah sampel diambil sedikit untuk sampel cair diambil beberapa µ l,
sementara sampel padat diambil beberapa mg, lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus
pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari
lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif.
Sistem pemanasan dengan tanpa nyala ini dapat melalui 3 tahap yaitu : pengeringan drying yang membutuhkan suhu yang relatif rendah; pengabuan
ashing yang membutuhkan suhu yang lebih tinggi karena untuk menghilangkan matriks kimia dengan mekanisme volatilasi atau pirolisis; dan pengatoman
atomising Gandjar, 2007.
c. Monokromator
Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan dari Hollow Cathode
Lamp Khopkar, 1990.
Universitas Sumatera Utara
d. Detektor
Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Dalam hal ini, sistem penguat harus cukup selektif untuk dapat
membedakan radiasi.
e. Sistem pembacaan
Sistem pembacaan merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang
telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva Gandjar, 2007.
2.3.3 Analisis Kuantitatif dengan SSA
Ada beberapa metode kuantifikasi hasil analisis dengan metode SSA yaitu dengan menggunakan kurva kalibrasi; dengan perbandingan langsung; dengan menggunakan
dua baku; dan dengan menggunakan metode standar adisi metode penambahan baku.
1. Kuantifikasi dengan kurva baku kurva kalibrasi
SSA bukan merupakan metode analisis yang absolute. Suatu perbandingan dengan baku biasanya berair merupakan metode yang umum dalam melakukan metode
analisis kuantitatif. Kurva kalibrasi dalam SSA dibuat dengan memasukkan sejumlah tertentu konsentrasi larutan dalam sistem dilanjutkan dengan pengukuran.
Selanjutnya dibuat persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi larutan x dengan absorbansinya y.
2. Kuantifikasi dengan cara perbandingan langsung
Cara ini hanya boleh dilakukan jika telah diketahui bahwa kurva baku hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi merupakan garis lurus dan melewati titik nol.
Cara yang dikerjakan adalah hanya dengan mengukur absorbansi larutan baku A
b
Universitas Sumatera Utara
dengan konsentrasi tertentu C
b
pada satu konsentrasi saja; lalu dibaca juga absorbansi larutan sampel A
s
.
Kadar sampel C
s
dihitung dengan rumus : A
s
C
s
= x C
b
……………………………….. 1 A
b
Yang mana : A
b
: Absorbansi baku A
s
: Absorbansi sampel C
b
: Konsentrasi baku C
s
: Konsentrasi sampel
3. Kuantifikasi dengan cara dua baku
Cara ini merupakan adaptasi dari cara 1 dan cara 2. Dibuat masing-masing dua buah larutan baku yang konsentrasinya sedikit lebih rendah dan lebih tinggi dari
konsentrasi sampel.
4. Cara standar adisi
Kebanyakan analisis dilakukan pada sampel yang tidak identik dengan standar dalam larutan air, karenanya pada kasus ini diperlukan pencampuran matriks
dengan baku. Jika matriks tidak diketahui atau bervariasi dari satu ke yang lain, maka metode standar adisi seringkali digunakan. Prosedur metode standar adisi
melibatkan pengukuran absorbansi dengan SSA S; selanjutnya sejumlah kecil s standar S
x
ditambahkan pada sampel dan diukur absorbansinya S + S
x
. Langkah penambahan standar ini diulangi dengan menggunakan konsentrasi baku S
x
yang berbeda S
x1
, S
x2
, S
x3
, dsb dan dilanjutkan dengan pembacaan absorbansinya Gandjar, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Gangguan dalam Spektrofotometri Serapan Atom
Yang dimaksud dengan gangguan-gangguan interference pada SSA adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsure yang dianalisis
menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel.
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi dalam SSA adalah sebagai berikut: 1. Gangguan yang berasal dari matriks sampel yang dapat mempengaruhi banyaknya
sampel yang mencapai nyala. Sifat-sifat tertentu matriks sample dapat mengganggu analisis yakni matriks tersebut dapat berpengaruh terhadap laju aliran bahan bakar
gas pengoksidasi. Sifat-sifat tersebut adalah viskositas, tegangan permukaan, berat jenis, dan tekanan uap.
2. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah banyaknya atom yang terjadi di dalam nyala. Terbentuknya atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas di
dalam nyala sering terganggu oleh dua peristiwa kimia yaitu : a disosiasi senyawa-senyawa yang tidak sempurna, dan b ionisasi atom-atom di dalam nyala.
3. Gangguan oleh absorbansi yang disebabkan bukan oleh absorbansi atom yang dianalisis; yakni absorbansi oleh molekul-molekul yang tidak terdisosiasi di dalam
nyala.
Adanya gangguan-gangguan di atas dapat diatasi dengan menggunakan cara- cara sebagai berikut:
a. Penggunaan nyala suhu atomisasi yang lebih tinggi b. Penambahan senyawa penyangga
c. Pengekstraksian unsur yang akan dianalisis d. Pengekstraksian ion atau gugus pengganggu
4. Gangguan oleh penyerapan non-atomik non atomic absorption. Gangguan jenis ini berarti terjadinya penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari
atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan non-atomik dapat disebabkan adanya
Universitas Sumatera Utara
penyerapan cahaya oleh partikel-partikel padat yang berada di dalam nyala. Cara mengatasi gangguan penyerapan non atomik ini adalah dengan bekerja pada
panjang gelombang yang lebih besar atau pada suhu yang lebih tinggi. Jika kedua cara ini masih belum bisa maka satu-satunya cara adalah dengan mengukur
besarnya penyerapan non atomik menggunakan sumber sinar yang memberikan spektrum kontinyu Gandjar, 2007.
2.4 Destruksi
Destruksi merupakan suatu cara perlakuan perombakan senyawa menjadi unsur- unsurnya sehingga dapat dianalisis, dengan kata lain perombakan bentuk organik dari
logam menjadi bentuk logam-logam anorganik. Pada dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal dalam ilmi kimia yaitu destruksi basah oksidasi basah dan destruksi
kering oksidasi kering. Kedua destruksi ini memiliki teknik pengerjaan dan lama pemanasan atau pendestruksian yang berbeda.
Faktor yang harus diperhatikan dalam hal melakukan metode destruksi adalah : 1. Sifat materi organik dan konstituen-konstituen yang terkandung di dalamnya.
2. Logam yang akan dianalisis 3. Metode yang akan digunakan untuk penentuannya
2.4.1 Jenis-jenis Destruksi
Metode destruksi ada dua, yaitu : 1. Metode destruksi basah
Destruksi basah merupakan perombakan sampel dengan asam-asam kuat baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan menggunakan zat
oksidator.
Universitas Sumatera Utara
Pelarut yang dapat digunakan untuk destruksi basah adalah asam nitrat, asam sulfat, asam perkhlorat, asam klorida dan dapat digunakan secara tunggal maupun
campuran.
Destruksi basah dengan menggunakan asam nitrat, pertama kalinya digunakan oleh Cerius untuk penentuan S, P, As dan logam-logam dalam senyawa organik. Suhu
pemanasan mencapai 380
o
C dan dipanaskan dalam tabung tertutup. Cara selanjutnya dikembangkan oleh peneliti-peneliti berikutnya.
2. Metode destruksi kering
Destruksi kering merupakan perombakan logam organik dalam sampel menjadi logam anorganik dengan jalan pengabuan sampel dan memerlukan suhu
pemanasan tertentu. Pada umumnya dalam destruksi kering ini dibutuhkan suhu pemanasan antara 400 – 500
o
C, tetapi suhu ini sangat tergantung terhadap jenis sampel yang akan dianalisis. Untuk menentukan suhu pengabuan dengan sistem
ini terlebih dahulu ditinjau jenis logam yang akan dianalisis. Bila oksida-oksida logam yang terbentuk mudah menguap, maka perlakuan ini tidak memberikan
hasil yang baik, disebabkan pada suhu tertentu oksida logam tersebut sudah habis menguap.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat-alat
- Spektrofotometri Serapan Atom AA-6300 Shimadzu
- Neraca analitik - Kurs porselin
- Cawan crusible - Hot plate
Fisons - Tanur
- Alat-alat gelas Pyrex
- Pipet tetes - Spatula
- Corong - Kertas saring
Whatman No. 42 - Botol aquadest
- Pipet volume Pyrex
3.2 Bahan-bahan