Al-Ghazli Konsep Kesehatan Mental Islami

Artinya: “Kebajikan ialah apa saja yang karenanya dapat menenangkan nafs dan menentramkan qalb. Dosa ialah apa saja yang menyebabkan nafs menjadi tidak tenang dan qalb menjadi tidak tentram.” H.R.Ahmad 195 Bertolak dari uraian di atas, jelaslah bahwa letak kesehatan mental dalam Islam itu terpusat dalam qalb. Nampaknya, tidak keliru jika dikatakan bahwa dalam terminologi kitab suci, mental yang sehat disebut sebagai qalbun sali m. Qalb yang Sali m sejahterasehat bukan saja menghantarkan kebahagiaan di dunia tetapi juga sebagai modal untuk mencapai kebahagian di akhirat. Daradjat menambahkan bahwa keimanan itulah yang memupuk dan mengembangkan fungsi-fungsi jiwa dan sekaligus memelihara keseimbangan mental serta menjamin ketenteraman jiwa. 196 Demikianlah gambaran sepintas mengenai konsep dasar kesehatan mental dalam Islam yang memandang manusia dalam kesatuan yang utuh terdiri dari unsur rohani dan jasmani. Kedua unsur ini saling mempengaruhi. Pengaruh yang datang dari dunia sekitar akan dikelola dan diorganisir oleh qalb dalam aspek penting dalam mentalitas kemanusiaan seorang Muslim. Jika qalb dengan segenab potensi-potensinya berupa kemampuan fikir dan kemampuan rasa itu terpelihara dengan baik, maka stimuli bagaimanapun buruknya tidak dapat menggoyahkannya. Tetapi jika qalb ini lemah tidak tersentuh dengan iman dan kesalehan, maka sangat mungkin qalb itu akan goyah. Goyahnya qalb merupakan indikator adanya gangguan kesehatan mental. 197

d. Pemikiran al-Ghazali dan Hasan Langgulung

1. Al-Ghazli

195 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, Ja miul Hadi st, Cet. 1 Bairut: Darul Fikri, 1994, jilid. 4, No. Hadis 10082, h. 48. 196 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental,Cet. 23 Jakarta: Ruhama, 1992, h. 101. 197 Siddik, Kesehatan, … h. 145. Dalam kajian al-Ghazali tentang jiwa, ada dua macam pengetahuan atau lebih tepatnya dua macam psikologi. Pertama, psikologi yang membahas tentang daya jiwa hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak, dan daya jiwa sensorik. Al-Ghazli mengikuti aliran ini dengan menukil dari al-Farabi dan Ibnu Sina yang menjadi sumber penukilan sebagian besar pendapat-pendapatnya dikutip secara tekstial. Kedua, psikologi yang membahas tentang olah jiwa, perbaikan akhlak, dan terapai akhlak tercela. Dalam hal ini al-Ghazali termasuk pembaharu dan penggagas yang tidak bertaklid kepada filosof sebelumnya. 198 Al-Ghazali mengikuti pendapat Ibnu Sina, al-Farabi dan Aristoteles tentang tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia. Al-Ghazali mendefinisikan beberapa jiwa sebagai berikut: 199 a Jiwa tumbuh-tumbuhan adalah sebagai kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah tentunya tidak buatan yang bersifat mekanistik; ia membutuhkan makan, tumbuh dan berkembang biak. b Jiwa hewan adalah sebagai kesempurnaan pertama bagi fisik yang bersifat mekanistik; ia mempersepsikan hal-hal yang parsial dan bergerak dengan hasrat. 200 c Jiwa manusia adalah sebagai kesempurnaan pertama bagi fisik alamiah yang bersifat mekanistik; ia melakukan berbagai aksi berdasarkan ikhtiar akal dan menyimpulkan dengan ide, serta mempersepsikan berbagai hal yang bersifat kulliya t. Agaknya memang, al-Ghazali mendefinisikan ketiga macam jiwa seperti dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina, dua tokoh pemikir muslim yang sangat terpengaruh kepada pemikiran-pemikiran Aristoteles. Uraian al-Farabi dan Ibnu Sina dapat dibaca pada bab tiga tesis ini, pada sub judul pendapat para filosof Muslim tentang kesehatan mental Islami. Menurut al-Ghazali syahwat termasuk kepada jiwa hewan. Syahwat merupakan daya yang menimbulkan daya aktif untuk menarik apa yang 198 Najati, Jiwa, … h. 207-208. 199 Ibid., h. 209. 200 Ibid. diketahui atau diduga baik. Sedangkan penggerak stimulatif yang menolak bahaya adalah daya yang diungkapkan melalui emosi dalam hal ini, kemarahan. Emosi adalah daya yang menolak apa yang diketahui atau diduga berbahaya atau menyakitkan dengan tujuan balas dendam atau dominasi. 201 Daya penggerak yang bersifat aktif adalah daya yang bergerak di dalam otot dan syaraf untuk dapat melakukan gerakan yang sesuai atau untuk menarik manfaat dan menolak bahaya. Daya ini diungkapkan melalui kemampuan; sedangkan daya stimulatif diungkapkan melalui keinginan. Kemampuan tidak akan muncul jika keinginan tidak muncul; dan keinginan tidak muncul jika ilmu tidak ada. Oleh karena itu, jika ilmu muncul dan keputusan keluar, niscaya keinginan akan keluar; sehingga tidak ada jalan lain, kecuali tunduk dan patuh. Selanjutnya jika ingin memantapkan keputusan, maka akan muncul kemampuan potensi untuk menggerakan anggota tubuh. Lalu, ia tidak akan dapat menghindar dari penampakan dan perwujudan gambar. 202 Kemudian, jika kemampuan menetapkan sesuatu, maka anggota tubuh akan bergerak, sehingga tidak ada jalan lain kecuali untuk bergerak. Oleh karena itu, selama pesan ilmu bersifat ragu-ragu, maka keinginan pun menjadi ragu-ragu; dan selama keinginan ragu-ragu, maka semua aksi tidak dapat masuk ke dalam wujud dan tidak muncul di dalam anggota tubuh. Dengan demikian, jika keputusan sudah mantab, maka aksi tidakan akan mewujud. 203

2. Hasan Langgulung