Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

sumbangan sebesar 31,20 terhadap penerimaan diri. Artinya bahwa individu dengan kematangan emosi cenderung memiliki kemampuan dalam penerimaan diri. Sedangkan Paramitasari Alfian 2012 melakukan pemelitian mengenai kematangan emosi dan mendapatkan hasil bahwa individu dengan kematangan emosi akan memiliki kecenderungan untuk memaafkan. Senada dengan pendapat Burney 2001, dalam Anderson 2006 individu yang memiliki emosi matang, ia cenderung dapat mengontrol kemarahan dengan baik dan belajar untuk mendapatkan solusi positif dalam menghadapi suatu masalah. Hal inilah, yang menjadi dasar peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dengan menghubungkan variabel kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan. Berdasarkan uraian diatas, sejauh pengetahuan peneliti, peneliti belum menemukan penelitian yang mendalam mengenai hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan kesetiaan perkawinan pada pasangan suami isteri.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan khususnya dalam bidang psikologi perkembangan, psikologi keluarga, dan psikologi sosial, yang terkait dengan kematangan emosi dan relasi interpersonal pasangan suami isteri.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan bagi para suami isteri dan bagi para calon suami isteri, mengenai pentingnya kematangan emosi dalam berumah tangga, yang berkaitan dengan kesetiaan perkawinan. 8

BAB II LANDASAN TEORI

A. PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah bersatunya dua orang mejadi sepasang suami dan isteri, paparan dikemukakan oleh Hornby Walgito, 2004. Hal ini senada dengan sebuah pendapat yang mengemukakan bahwa perkawinan merupakan persatuan dari dua kepribadian yang berbeda, terdiri atas individu wanita dan pria yang menjadi sepasang suami isteri dan memiliki tujuan untuk membentuk bahtera rumah tangga yang bahagia sejahtera baik lahir maupun batin Walgito, 2004. Dalam Undang -Undang Perkawinan No. 1 pasal 7 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang wanita dan pria sebagai pasangan suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia, hukum perkawinan nasional menganut asas monogami. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 3 Ayat 1 Udang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, bahwa pada azasnya dalam sebuah perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang isteri. Seorang wanita juga hanya boleh mempunyai seorang isteri. Webster 2015 menambahkan penjelasan, bahwa perkawinan merupakan sebuah lembaga dimana individu pria dan wanita bersatu dalam sebuah kemandirian yang sah secara hukum dan sosial dengan tujuan untuk mendirikan dan memelihara sebuah keluarga. Disamping itu, Hart dan Hart 1998 mengemukakan pengertian dari perkawinan adalah sebuah lembaga yang mempersatukan dua individu dengan kepribadian yang berbeda. Lebih jauh, Tukan Johan 1990 merumuskan beberapa pendapat dari para filsuf mengenai pengertian dari perkawinan yakni : a. Perkawinan merupakan partnership manusiawi, sepasang pria dan wanita dengan segala kepribadiannya dalam ikatan perkawinan memiliki derajat yang sama. Pasangan suami isteri bekerja sama dalam suka dan duka dalam membangun rumah tangga. b. Perkawinan merupakan lembaga politico-social, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Kesejahteraan suatu negara akan terlihat konkrit saat dalam institusi terkecil atau keluarga tersebut juga memperoleh kesejahteraan. c. Perkawinan merupakan sebuah karier, perkawinan dilihat sebagai suatu proses pasangan untuk mencapai kebahagiaan. Saat kedua individu bekerja dan memperoleh kesejahteraan dalam rumah tangganya, maka salah satu aspek kebahagiaan dalam keluarga telah tercapai. d. Perkawinan merupakan cara hidup yang khusus, perkawinan dilihat sebagai bentuk khusus dimana kedua individu antara pria dan wanita menjalani proses kebersamaan sebagai sahabat, pacar, tunangan dan ikatan pernikahan yang kemudian hidup bersama untuk saling mengasihi, memiliki keturunan, mendidik dan membesarkan anak dengan penuh tanggung jawab. e. Perkawinan merupakan usaha intersubjectivitas, dalam sebuah perkawinan baik individu wanita maupun pria saling menghargai pasangannya sebagai subjek bukan sebagai objek. Termasuk dalam kehidupan seksual perkawinan, hal ini bersifat sosial yang terarah pada pasangannya. f. Perkawinan merupakan sebuah ikatan metafisis, sepasang manusia yang telah dipersatukan terdiri dari mistik dan spiritual. Persatuan mereka tidak hanya bersifat badaniah melainkan menuju dalam persatuan spiritual. Berdasarkan pemaparan mengenai perkawinan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan yang monogam dari dua individu laki-laki dan perempuan menjadi sepasang suami isteri yang sah secara hukum dan agama.

2. Periode dalam Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan, Ruben 1986 mengemukakan tiga periode dalam usia perkawinan, meliputi : a. Periode tahun pertama Early Years Masa ini mencakup kurang lebih selama sepuluh tahun pertama usia perkawinan. Periode ini terdiri dari dua masa, masa yang pertama adalah fase perkenalan awal atau disebut dengan istilah Initial Acquaintance Phase, dimana pasangan suami isteri saling berusaha untuk mengenal satu sama lain. Masa yang kedua yakni fase menetap atau disebut dengan istilah Setting in Phase, dimana pasangan suami isteri telah mengenal dan mulai mengatur peran masing-masing dalam kehidupan rumah tangga khususnya hubungan suami isteri. b. Periode tahun pertengahan Middle Years Masa ini berkisar antara tahun ke-10 hingga tahun ke-30 usia perkawinan. Periode ini terdiri dari dua masa, masa yang pertama jika pasangan suami isteri memiliki anak, maka terisi dengan fase anak atau disebut dengan istilah Child full Phase. Dan pada periode ini diakhiri dengan fase kembali bersama, atau disebut dengan Us Again Phase, dimana masa ini anak telah tumbuh deasa dan kemudian meninggalkan rumah. c. Periode tahun matang Mature Years Masa ini dimulai pada tahun ke-30 usia perkawinan. Masa ini merupakan masa dimana pasangan suami isteri menua bersama, dan mulai merencanakan pensiun. Dalam masa ini, akan menjadi tahun dari hidup sendiri dengan pasangan seperti pada masa awal usia perkawinan.

B. KEMATANGAN EMOSI 1. Pengertian Kematangan Emosi

Pengertian Emosi menurut Goleman 2003, merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, keadaan biologis dan psikologis dalam suatu rangkaian kecenderungan untuk berperilaku. Penggunaan istilah kematangan menunjukkan adanya suatu proses untuk menjadi matang Skinner, 1977. Menjadi matang memiliki arti adanya usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki sesuatu. Individu yang dianggap telah matang, masih akan terus berkembang, sehingga secara bertahap individu sangat dimungkinkan memiliki taraf kematangan yang berbeda antara waktu yang lalu dengan waktu yang akan datang Jersild dkk, 1978. Hurlock 2004 mengemukakan bahwa individu yang matang emosinya memiliki pengendalian diri yang baik, mampu mengekspresikan emosinya dengan tepat atau sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga individu lebih mampu menyesuaikan diri karena dapat menerima keadaan orang lain dan memberikan reaksi yang tepat, sesuai dengan situasi yang terjadi. Individu dapat dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila individu tersebut tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Hal yang menunjukkan kematangan emosi lain adalah bahwa individu mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir seperti anak kecil atau orang yang tidak matang secara emosi. Dalam kamus psikologi yang ditulis oleh Kartono 1999 memaparkan bahwa kematangan emosi adalah suatu kondisi dalam diri individu yang telah mencapai kedewasaan secara emosional dan tidak menunjukkan sifat kekanak-kanakan. Sedangkan Budiarjo 1991 menyatakan bahwa kematangan emosi adalah kecenderungan individu untuk merespon segala sesuatu yang terjadi dengan emosi yang matang sesuai dengan tingkat usia dan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.