Penyandang Disabilitas Fisik LANDASAN TEORI

33 erat hubungannya dengan kemampuan perusahaan – perusahaan, baik swasta maupun pemerintah dalam berbagai jenis dan ukuran untuk menampung atau menyerap tenaga kerja yang terkait langsung dengan kegiatan produksi. Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa kesempatan kerja merupakan ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja dan dapat menunjukkan besarnya permintaan akan tenaga kerja. Pendefinisian tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik merupakan perasaan atau kondisi yang tidak menyenangkan pada penyandang disabilitas fisik yang disebabkan oleh pandangan terhadap ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.

D. Penyandang Disabilitas Fisik

1. Pengertian Disabilitas Fisik Difabel berasal dari kata different ability yang artinya kemampuan yang berbeda atau dari bahasa Inggris disabled person yang dapat diartikan sebagai penyandang cacat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008, difabel diartikan sebagai penyandang cacat. Undang – undang No. 4 tahun 1997 pasal 1 menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik 34 dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental. Damayanti dan Rostiana menjelaskan tunadaksa sebagai kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh, seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari – hari dalam Machdan Hartini, 2012. Mangunsong 1998 mendefinisikan tunadaksa sebagai ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Hasil Seminar Nasional, Puskurandik, Balitbang, Depdikbud mengartikan anak tunadaksa sebagai anak yang menderita cacat akibat polio myelitis, kecelakaan, keturunan, cacat sejak lahir, kelemahan otot – otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf atau cerebrum dalam Mangunsong, 1998. Somantri 2006 mengartikan tunadaksa sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. White House Conference 1931 menjelaskan tunadaksa sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan 35 bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir dalam Somantri, 2006. Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas fisik merupakan setiap orang yang memiliki kondisi cacat secara fisik sehingga menghambat kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari – hari. Kecacatan yang dimiliki biasanya terdapat pada salah satu anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh lain dan bagian otak individu dapat berfungsi secara normal. 2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik Somantri 2006 menjelaskan bahwa ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penyebab yang timbul sebelum, sesudah, dan pada waktu kelahiran. Penyebab yang timbul sebelum kelahiran dapat meliputi faktor keturunan, trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak, pendarahan pada waktu kehamilan, maupun keguguran yang dialami ibu. Penyebab yang timbul pada waktu kelahiran dapat meliputi penggunaan alat – alat pembantu kelahiran seperti tang, tabung, vacuum, dan lain – lain yang tidak lancar dan penggunaan obat bius pada waktu kelahiran. Penyebab yang timbul sesudah 36 kelahiran dapat meliputi infeksi, trauma, tumor, dan kondisi – kondisi lainnya. Mangunsong 1998 mengklasifikasikan kecacatan secara umum menjadi tunadaksa yang tergolong bagian D SLB D dan tunadaksa yang tergolong bagian D1 SLB D1. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D SLB D ialah anak yang menderita cacat polio atau lainnya, sehingga mengalami ketidaknormalan dalam fungsi tulang, otot – otot atau kerjasama fungsi otot – otot, tetapi mereka berkemampuan normal. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D1 SLB D1 ialah anak yang cacat semenjak lahir atau cerebral palsy, sehingga mengalami cacat jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf – syaraf. Kemampuan inteligensi mereka di bawah normal atau terbelakang. 3. Dampak Psikologis dan Permasalahan Penyandang Disabilitas Fisik Damayanti dan Rostiana 2003 memaparkan bahwa individu tunadaksa seringkali menghadapi berbagai masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja dikarenakan kecacatan yang dimilikinya dalam Machdan Hartini, 2012. Mangunsong 1998 menjelaskan bahwa difabel cacat fisik dapat menunjukkan reaksi emosi yang berbeda – beda terhadap keadaannya tersebut. Reaksi yang ditunjukkan dapat berupa berdiam diri karena depresi, menyalahkan diri sendiri atau kecewa dan khawatir atau membenci keadaannya 37 sendiri. Individu menjadi malu, murung, sedih, melamun, menyendiri, dan berputus asa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut. Anak yang tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai anak tunadaksa secara bertahap. Anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar akan mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, di samping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal, sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima. Oleh karena hal tersebut, maka dukungan orangtua dan orang – orang di sekeliling anak tunadaksa merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa Somantri, 2006. Anak yang memiliki kecacatan fisik, namun mampu mengatasi krisis awal keadaannya akan dapat menumbuhkan rasa penerimaan diri terhadap kenyataan yang dihadapi. Sikap positif menyebabkan anak berani berinteraksi dengan lingkungannya, dapat menerima keadaannya dengan jiwa besar, berusaha mandiri sesuai dengan kemampuannya, dan aktif sebagai anak sesuai dengan usianya. Sikap positif ini perlu didukung oleh keluarga, saudara, teman, dan masyarakat di lingkungannya. 38 Anak difabel yang tidak mampu mengatasi krisis yang terjadi pada dirinya akan mengalami ketertekanan, menyesali dirinya terus menerus, dan merasa marah pada orang lain yang memiliki keadaan fisik yang normal. Anak tidak mau berinteraksi dengan lingkungannya, mengurung atau mengisolasi diri, dan merasa curiga pada orang lain karena merasa akan diejek, sehingga ia merasa tidak aman dengan keadaan dirinya Mangunsong, 1998. Papu 2002 menjelaskan bahwa individu tunadaksa mengalami kesusahan dalam mencari kerja karena banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa individu tunadaksa tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk bekerja dalam Machdan Hartini, 2012. Individu tunadaksa jika bekerja lebih banyak merepotkan, serta menambah pengeluaran perusahaan karena harus menyediakan akomodasi dan fasilitas khusus untuk membantu tunadaksa dalam melakukan pekerjaannya. Lapangan pekerjaan khusus individu tunadaksa juga sangat minim sekali, meskipun telah dibuatnya UU bagi penyandang cacat. Hal – hal tersebut yang seringkali membuat para pelamar tunadaksa gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya Machdan Hartini, 2012. 39

E. Remaja Akhir dan Individu Dewasa Awal