Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

72 perbedaan kecemasan pada penyandang disabilitas fisik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan p = 0.255; p 0.05.

D. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hal tersebut menunjukan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik telah terbukti. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa data hasil penelitian terkait relasi self esteem dengan kecemasan yang dicantumkan dalam penelitian milik Sowislo dan Orth 2013. Meskipun bukan merupakan penelitian yang serupa dengan penelitian ini, namun data hasil penelitian – penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa self esteem memiliki korelasi yang negatif terhadap kecemasan bandingkan dengan Sowislo dan Orth, 2013. Self-esteem memiliki hubungan yang negatif dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel menunjukkan bahwa semakin tinggi self- esteem yang dimiliki penyandang disabilitas fisik, maka penyandang disabilitas fisik tersebut akan memiliki kecemasan yang semakin rendah akan kesempatan kerja yang ada. Individu dengan self-esteem yang tinggi mengevaluasi dirinya dengan lebih positif dan mengalami perasaan 73 keberhargaan diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki self-esteem rendah Brown, 1998 dalam Brown Marshall, 2006. Individu dengan self-esteem tinggi juga cenderung lebih bersikap proaktif dan optimis, sedangkan individu dengan self-esteem rendah cenderung lebih bersikap reaktif dan pesimis Rosenberg Owens, 2001 dalam Owens McDavitt, 2006. Evaluasi positif membuat individu dengan self-esteem tinggi memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan dalam kehidupannya. Berbeda dengan individu yang memiliki self-esteem rendah, mereka akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan dan cenderung menyerah terhadap suatu persoalan atau tidak menggali kemampuannya Tajbakhsh, 2012, sedangkan Mikulincer 1994 menyatakan bahwa kecemasan adalah ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan yang dirasakan dua kali lipat, yakni dari perasaan ketidakberdayaan untuk mengubah lingkungan yang mengancam dan ketidakberdayaan untuk menampung perasaan terancam tersebut. Perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman Mikulincer, 1994. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa difabel yang memiliki self-esteem tinggi akan mampu bersikap lebih optimis dalam menghadapi realitas akan kesempatan kerja yang ada, sedangkan difabel dengan self-esteem rendah akan bersikap lebih pesimis dan merasa tidak 74 berdaya dalam menghadapi realitas akan kesempatan kerja yang ada. Perasaan ketidakberdayaan tersebut memiliki kaitan erat dalam membentuk kecemasan akan kesempatan kerja pada difabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada difabel telah terbukti. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yasin dan Dzulkifli 2010 terkait dengan hubungan antara variabel dukungan sosial dan kecemasan secara umum. Meskipun bukan merupakan penelitian yang serupa dengan penelitian ini, namun penelitian yang dilakukan oleh Yasin dan Dzulkifli 2010 juga menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kecemasan. Hubungan negatif yang dimiliki variabel dukungan sosial terhadap kecemasan kesempatan kerja pada difabel juga sejalan dengan penelitian Teoh dan Rose 2001 yang menyatakan bahwa rendahnya dukungan sosial merupakan salah satu hal yang menjadi prediktor pada permasalahan psikologis. Hal tersebut diasosiasikan dengan tingginya level depresi, kecemasan, masalah dalam hal memperhatikan attention problem, masalah dalam berpikir, permasalahan sosial, keluhan somatik, dan rendahnya self esteem dalam Yasin dan Dzulkifli, 2010. Dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel menunjukkan bahwa semakin 75 tinggi dukungan sosial yang dimiliki oleh seorang difabel, maka difabel memiliki kecemasan yang semakin rendah akan kesempatan kerja yang ada. Mikulincer 1994 menyebutkan bahwa kecemasan adalah ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan dan perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman Mikulincer, 1994. Meskipun demikian, dukungan sosial yang didapatkan seseorang dapat meningkatkan performansi akan suatu penyelesaian masalah coping performance selama individu mempersepsi bahwa ia memiliki dukungan sosial yang cukup dan membawa individu menilai bahwa situasi yang mengancam hanyalah sebagai stressor yang kurang berarti Lakey dan Cohen, 2000. Seorang difabel yang memiliki dukungan sosial yang baik akan mampu mengembangkan coping yang baik untuk mengatasi stressor yang ia hadapi, dalam hal ini adalah pandangan akan ketersediaan kesempatan kerja yang semakin sempit. Hal ini juga akan berlaku sebaliknya ketika difabel kurang mendapatkan dukungan secara sosial, maka difabel tidak akan mampu mengembangkan coping yang baik untuk mengatasi stressor yang ia hadapi. Dukungan sosial dapat berasal dari banyak pihak, seperti orang tua, keluarga, teman, maupun orang – orang di sekeliling individu. Meskipun banyak pihak yang dapat menyediakan kebutuhan individu akan dukungan sosial, dukungan yang diberikan mungkin saja tidak membantu bahkan 76 ditolak oleh individu yang akan menerima ketika dukungan itu diberikan oleh orang yang tidak tepat. Setiap keadaaan dengan stressor yang berbeda akan memunculkan kebutuhan dukungan yang berbeda pula dalam Taylor, 1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada difabel dibandingkan dengan self-esteem, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Hal ini sekaligus membuktikan hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini. Hubungan dukungan sosial yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja dapat terkait dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Individu sejak kecil tinggal dan berkembang dalam suatu sistem sosial, mulai dari perkembangan dalam keluarga hingga berinteraksi dengan masyarakat luas. Perkembangan awal dalam keluarga tersebut yang menjadi landasan penting bagi kondisi psikososial individu dalam Uchino, 2009. Lingkungan keluarga yang positif di awal perkembangan individu seperti dukungan dari orang tua, rendahnya konflik dalam keluarga akan mengembangkan profil keadaan psikososial yang positif pada individu dalam Uchino, 2009. Profil yang positif tersebut membuat individu dapat mengatasi stressor permasalahan dalam hidupnya dengan lebih efektif, fleksibel, dan proaktif. Individu memiliki banyak pilihan dan kemampuan yang luas atau sekumpulan coping yang dapat digunakan untuk mengatur dan mengantisipasi tantangan-tantangan 77 dalam hidup dalam Uchino, 2009. Hasil dari perkembangan dalam keluarga di masa awal kehidupan tersebut dapat digeneralisasikan pada masa perkembangan anak dan dewasa, sebagai faktor yang menggambarkan bahwa rendahnya dukungan sosial yang diterima dari keluarga akan terkait dengan strategi coping yang buruk Hardy, Power, Jaedicke, 1993; Valentiner, Holohan, Moos, 1994 dalam Uchino, 2009. Coping yang buruk tersebut yang pada akhirnya berkaitan dengan perasaan kecemasan akan kesempatan kerja. Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat menjadi prediktor munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, sedangkan self-esteem tidak dapat dijadikan prediktor munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel. Meskipun dukungan sosial dan self-esteem sama-sama memiliki hubungan dengan kecemasan kesempatan kerja, namum self-esteem tidak dapat dijadikan faktor yang memprediksi kecemasan kesempatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan prediktor utama yang dapat digunakan untuk memprediksi munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, sehingga bila individu ingin melakukan tindakan untuk mencegah munculnya kecemasan kesempatan kerja pada difabel, maka harus lebih banyak ditekankan pada faktor dukungan sosialnya. Difabel pada tahap perkembangan remaja akhir hingga dewasa awal memiliki tugas perkembangan untuk meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonominya dalam Dariyo, 2003. Ketika 78 penyandang disabilitas fisik belum memiliki pekerjaan di tahap perkembangan ini, maka difabel lebih rentan untuk merasa cemas saat memikirkan peluang kerja yang terbilang sempit bagi penyandang disabilitas. Dalam hal inilah peran dukungan sosial yang tepat mampu mereduksi perasaan – perasaan cemas yang berpotensi untuk muncul. Papu 2002 menjelaskan bahwa individu tunadaksa mengalami kesusahan dalam mencari kerja karena banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa individu tunadaksa tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk bekerja dalam Machdan Hartini, 2012. Individu tunadaksa jika bekerja lebih banyak merepotkan, serta menambah pengeluaran perusahaan karena harus menyediakan akomodasi dan fasilitas khusus untuk membantu tunadaksa dalam melakukan pekerjaannya. Lapangan pekerjaan khusus individu tunadaksa juga sangat minim sekali, meskipun telah dibuatnya UU bagi penyandang cacat. Hal – hal tersebut yang seringkali membuat para pelamar tunadaksa gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya Machdan Hartini, 2012. Gambaran tersebut mencerminkan situasi dukungan sosial yang kurang mendukung bagi difabel. Gambaran dukungan sosial seperti inilah yang dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi pada difabel. Situasi yang bertolak belakang dengan gambaran dukungan sosial tersebut, seperti menghilangkan stigma negatif terhadap kemampuan difabel maupun menjalankan UU bagi penyandang cacat sebagaimana mestinya merupakan salah satu bentuk 79 dukungan sosial yang dapat diberikan oleh semua pihak, baik dari dalam keluarga maupun lingkungan yang berada di sekitar para difabel. Hasil analisis tambahan juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dukungan sosial yang dimiliki oleh penyandang disabilitas fisik yang tinggal di asrama, tinggal bersama keluarga di rumah pribadi, ataupun tidak tinggal di asrama maupun bersama dengan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tempat tinggal tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dukungan sosial yang dimiliki oleh difabel, melainkan siapa pun orang yang berada dekat dengan difabel dan mampu memberikan dukungan sosial yang tepat dapat lebih berperan dalam penilaian difabel terhadap dukungan yang ia miliki. Penyandang disabilitas fisik yang tinggal bersama dengan keluarga di rumahnya maupun yang tinggal di asrama memiliki peluang yang sama besar untuk dapat memperoleh dukungan sosial yang positif. Penyandang disabilitas fisik yang tinggal dalam keluarga dapat memperoleh dukungan sosialnya dari anggota keluarganya maupun dari pasangannya suami atau istri bagi yang sudah berkeluarga. Penyandang disabilitas fisik yang tinggal di asrama juga dapat memperoleh dukungan sosialnya dari teman- teman yang juga tinggal di asrama, serta dari para pendamping yang ada di asrama. Besar dukungan yang diterima tersebut yang berkaitan dengan perasaan kecemasan pada penyandang disabilitas fisik dalam menyikapi realitas tentang kesempatan kerja bagi para difabel. 80 Hasil analisis tambahan yang terakhir menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan kesempatan kerja pada difabel. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat adanya gerakan kesetaraan gender yang sudah ada di masa kini. Walsh 1985 menyatakan bahwa selama tahun 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, perempuan yang masuk dalam angkatan kerja tercatat cukup banyak dan membuat perubahan pada kehidupan perempuan, laki-laki, dan anak-anak dalam Brannon, 1996. Hal ini membuat perempuan memiliki hak yang sama untuk bisa bekerja dan memungkinkan dapat merasakan kecemasan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki.

E. Keterbatasan Penelitian