Hubungan antara self-esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik.

(1)

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Dorotea Hening Adiana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik, serta melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini adalah 1) ada hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dan 2) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem. Subjek dalam penelitian sebanyak 74 orang yang menyandang disabilitas fisik (daksa), berusia 18 – 40 tahun, dan belum bekerja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran self-esteem, dukungan sosial, dan skala pengukuran kecemasan kesempatan kerja yang dikonstruksikan dengan model penskalaan Likert. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment Pearson dengan program SPSS 16.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.648, p = 0.000), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.710, p = 0.000), dan 3) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem.

Kata kunci: self-esteem, dukungan sosial, kecemasan kesempatan kerja, penyandang disabilitas fisik (daksa)


(2)

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND SOCIAL SUPPORT WITH THE ANXIETY OF JOB OPPORTUNITIES ON

PERSONS WITH PHYSICAL DISABILITY

Dorotea Hening Adiana

ABSTRACT

This study was aimed to determine whether there was the relation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability, and to know self-esteem or social support that had more strong correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability. The hypotheses of this study were 1) there was negative significant correlation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability and 2) social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability than self-esteem. Subject in this study were 74 persons with physical disabilities, aged 18 – 40 years, and unemployed. This study used scale measurement of self-esteem, scale measurement of social support, and scale measurement of anxiety on job opportunities that constructed with Likert model scale. The data was analyzed using Product Moment Pearson Correlation analysis by SPSS 16.0. The result shown that 1) there was a negative significant correlation between self-esteem and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.648, p = 0.000), 2) there was a negative significant correlation between social support and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.710, p = 0.000), and 3)social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disabilities than self-esteem.


(3)

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Skripsi

Diajukkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Dorotea Hening Adiana

119114095

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Skripsi

Diajukkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Dorotea Hening Adiana

119114095

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

ii SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Disusun oleh: Dorotea Hening Adiana

NIM: 119114095

Telah Disetujui Oleh:

Pembimbing Tanggal: 29 Oktober 2015


(6)

iii SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Dorotea Hening Adiana

NIM: 119114095

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 23 November 2015 dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan 1. Ketua : YB. Cahya Widiyanto, M.Si. _______________ 2. Penguji 1 : Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. _______________ 3. Penguji 2 : Debri Pristinella, M.Si _______________

Yogyakarta, ______________ Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(7)

iv

HALAMAN MOTTO

“Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah

dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah

dikaruniakan kepada kita.” (Roma 5: 2-5)

“Karena setiap perjuangan untuk mencapai akhir akan menghasilkan sebuah awal yang baru”


(8)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan bagi keluargaku tercinta, Mama dan Papa,

adikku tercinta, Michael Hikari Adiana, dan terutama bagi

kakakku tercinta dan terkasih, Yudith Nikita Gusti Adiana.

Terima kasih karena kalian menjadi satu bagian yang paling penting dan berharga dalam hidupku.


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 1 Oktober 2015 Penulis,


(10)

vii

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Dorotea Hening Adiana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik, serta melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini adalah 1) ada hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dan 2) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem. Subjek dalam penelitian sebanyak 74 orang yang menyandang disabilitas fisik (daksa), berusia 18 – 40 tahun, dan belum bekerja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran self-esteem, dukungan sosial, dan skala pengukuran kecemasan kesempatan kerja yang dikonstruksikan dengan model penskalaan Likert. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Product Moment Pearson dengan program SPSS 16.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.648, p = 0.000), 2) terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik (r = -0.710, p = 0.000), dan 3) dukungan sosial memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik dibandingkan dengan self-esteem.

Kata kunci: self-esteem, dukungan sosial, kecemasan kesempatan kerja, penyandang disabilitas fisik (daksa)


(11)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND SOCIAL SUPPORT WITH THE ANXIETY OF JOB OPPORTUNITIES ON

PERSONS WITH PHYSICAL DISABILITY

Dorotea Hening Adiana

ABSTRACT

This study was aimed to determine whether there was the relation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability, and to know self-esteem or social support that had more strong correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability. The hypotheses of this study were 1) there was negative significant correlation between self-esteem and social support with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability and 2) social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disability than self-esteem. Subject in this study were 74 persons with physical disabilities, aged 18 – 40 years, and unemployed. This study used scale measurement of self-esteem, scale measurement of social support, and scale measurement of anxiety on job opportunities that constructed with Likert model scale. The data was analyzed using Product Moment Pearson Correlation analysis by SPSS 16.0. The result shown that 1) there was a negative significant correlation between self-esteem and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.648, p = 0.000), 2) there was a negative significant correlation between social support and anxiety of job opportunities on persons with physical disability (r = -0.710, p = 0.000), and 3)social support had more strong negative correlation with the anxiety of job opportunities on persons with physical disabilities than self-esteem.


(12)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Dorotea Hening Adiana

NIM : 119114095

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya, yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KECEMASAN KESEMPATAN KERJA

PADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 1 Oktober 2015 Yang menyatakan,


(13)

x

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan rahmat-Nya yang selalu diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan Skripsi ini dengan baik. Terima kasih karena Tuhan Yesus selalu menopang dan memberikan jalan pada setiap hal yang terjadi selama proses pembuatan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa banyak sekali pihak yang membantu dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak YB. Cahya Widiyanto, M. Si. selaku dosen pembimbing Skripsi. Terima kasih Pak atas bimbingan, kepercayaan, dukungan, dan nasihat – nasihat yang Bapak berikan selama ini.

4. Ibu Debri Pristinella, M. Si selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih Bu atas dukungan, bantuan, dorongan semangat, dan kepercayaannya kepada saya selama ini.

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi. yang telah meluangkan waktu dan membantu saya dalam proses konstruksi alat ukur penelitian saya.


(14)

xi

6. Bapak Agung Santoso, M. A. yang selalu meluangkan waktu untuk membalas email dan menjawab pertanyaan – pertanyaan saya di tengah – tengah kesibukan Bapak (tentunya).

7. Sr. Lidwina Tri Ariastuti, FCJ., M. A. dan Ibu Sylvia CMYM., M. Si. yang meluangkan waktunya ketika saya ingin menanyakan tentang statistika dan masalah perkembangan selama proses pembuatan skripsi ini. 8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 9. Keluargaku tercinta, mama dan papa, terima kasih atas setiap cinta, doa,

kepercayaan, dukungan, dan kesabaran yang selalu diberikan. Kakak ku yang tercinta dan teristimewa, Yudith Nikita Gusti Adiana, terima kasih atas semua perjuangan yang kita lalui bersama, terima kasih karena telah menjadi sumber kekuatan, semangat, inspirasi, dan segala-galanya bagiku. Adikku tercinta, Michael Hikari Adiana, yang selalu menjadi sumber motivasiku.

10.Mas Bejo (dan kawan-kawan), Mas Arif (YPCM), Mbak Juju (dan kawan – kawan Sapda), Mas Yuli (FPDB), Pak Widodo (dan kawan – kawan PPCK), Pak Sarjiya (dan kawan – kawan PPCKP), pihak SLBN 1 Bantul, dan pihak BRTPD Pundong, terima kasih atas bantuanya selama ini. 11.Flaviana Rinta Ferdian (2011), Kak Engger (2010), Sadriyah Pratiwi

(2011), Ricca, Mariana Aprilia I. A. Sogen (2011), dan Pakdhe (2009) yang banyak membantu dalam proses pengerjaan skripsi.


(15)

xii

12.Teman – teman satu bimbingan skripsi, terutama Ruth, Clara, Beatriks, Arum, Reza, Kak Tirza, dan Kak Efrem yang mau berdiskusi, selalu mendengarkan keluh kesahku, dan memberi semangat tentunya.

13.Seluruh teman – teman yang tidak mampu kusebutkan satu per satu (terutama yang angkatan 2011). Terima kasih atas semua bantuan, semangat, dan perhatian yang selalu diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung.


(16)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...10

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Manfaat Penelitian ...11

1. Manfaat Teoritis ...11

2. Manfaat Praktis...11

BAB II ...13


(17)

xiv

1. Pengertian Self-Esteem ...22

2. Komponen Self-Esteem ...25

3. Faktor Pembentuk Self-Esteem ...27

B. Dukungan Sosial ...16

1. Pengertian Dukungan Sosial ...16

2. Jenis Dukungan Sosial...18

3. Faktor Pendukung Dukungan Sosial ...21

C. Kecemasan Kesempatan Kerja Penyandang Disabilitas Fisik ...22

1. Pengertian Kecemasan ...22

2. Jenis Kecemasan...25

3. Gejala Kecemasan ...27

4. Dampak Kecemasan………..……..31

5. Kecemasan Kesempatan Kerja pada Penyandang Disabilitas Fisik……31

D. Penyandang Disabilitas Fisik ...33

1. Pengertian Disabilitas Fisik ...33

2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik ...35

3. Dampak Psikologis dan Permasalahan Penyandang Disabilitas Fisik ....36

E. Remaja Akhir dan Individu Dewasa Awal ...39

F. Hubungan Antara Self-Esteem Dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Kesempatan Kerja Pada Penyandang Disabilitas Fisik ...42

G. Hipotesis ...46

BAB III ...48

A. Jenis Penelitian ...48

B. Variabel Penelitian ...48

1. Variabel Bebas ...48

2. Variabel Tergantung ...48


(18)

xv

1. Kecemasan kesempatan kerja ...49

2. Self-Esteem ...49

3. Dukungan Sosial...50

D. Subjek Penelitian...51

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...53

F. Validitas dan Reliabilitas ...57

1. Validitas Skala ...57

2. Reliabilitas Skala ...58

G. Metode Analisis Data ...60

1. Uji Asumsi ...60

2. Uji Hipotesis ...62

BAB IV ...63

A. Persiapan Penelitian ...63

B. Proses Penelitian ...64

C. Hasil Penelitian ...66

1. Uji Linearitas ...66

2. Uji Normalitas ...67

3. Hasil Uji Hipotesis ...68

4. Hasil Analisis Tambahan...70

D. Pembahasan ...72

E. Keterbatasan Penelitian ...80

BAB V...82

A. Kesimpulan ...82

B. Saran...69

DAFTAR PUSTAKA ...84


(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1Cetak Biru Skala Self-Esteem Sebelum Seleksi Aitem ... 54 Tabel 2 Cetak Biru Skala Dukungan Sosial Sebelum Seleksi Aitem ... 55 Tabel 3 Cetak Biru Skala Kecemasan Kesempatan Kerja Sebelum Seleksi Aitem ... 56 Tabel 4 Sistem Skoring Skala Pengukuran ... 56 Tabel 5 Cetak Biru Skala Self-Esteem Sebelum dan Setelah Seleksi Aitem ... 59 Tabel 6 Cetak Biru Skala Dukungan Sosial Sebelum dan Setelah Seleksi Aitem 60 Tabel 7 Cetak Biru Skala Kecemasan Kesempatan Kerja Sebelum dan Setelah Seleksi Aitem ... 60 Tabel 8 Deskripsi Jenis Kelamin Subjek ... 65 Tabel 9 Deskripsi Tempat Tinggal ... 66 Tabel 10 Ringkasan Hasil Uji Linearitas Variabel Self Esteem dengan Kecemasan Kesempatan Kerja ... 67 Tabel 11 Ringkasan Hasil Uji Linearitas Variabel Dukungan Sosial dengan Kecemasan Kesempatan Kerja ... 67 Tabel 12 Hasil Uji Statistik Non-Parametrik Kolmogorov-Smirnov ... 68 Tabel 13 Hasil Uji Korelasi Product Moment Pearson antara Self-Esteem dengan Kecemasan Kesempatan Kerja ... 69 Tabel 14 Hasil Uji Korelasi Product Moment Pearson antara Dukungan Sosial dengan Kecemasan Kesempatan Kerja ... 69 Tabel 15 Hasil Uji Regresi ... 71


(20)

xvii

DAFTAR GAMBAR


(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 93 Lampiran 2. Reliabilitas ... 108 Lampiran 3. Hasil Analisis Tambahan ... 117


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak individu yang pernah merasakan sebuah kecemasan dalam kehidupannya sehari-hari. Contohnya saja ketika individu akan menghadapi sebuah ujian atau saat akan membacakan sebuah pidato di depan umum. Kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan – perasaan subjektif, seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat (Post, 1978 dalam Gunawan & Anwar, 2012).

Kecemasan seringkali mengganggu performansi individu dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa kecemasan yang tinggi memiliki asosiasi dengan pemikiran individu yang dapat mengganggu kinerja individu tersebut (dalam Byrne & Kelley, 1981). Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa kecemasan memiliki hubungan negatif dengan motivasi untuk berprestasi atau sukses (achievement motivation) pada individu (Bhagirathi, 2008).

Di era modern ini, individu seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Padahal pekerjaan memiliki kaitan dengan salah satu tugas perkembangan di masa remaja akhir dan dewasa awal. Salah satu tugas perkembangan yang ada pada masa remaja adalah mempersiapkan karir ekonomi (Hurlock, 1999), sedangkan individu akan


(23)

meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonominya pada masa dewasa awal (Dariyo, 2003). Hal – hal tersebut berhubungan dengan perubahan status ekonomi yang dimiliki individu. Individu akan berusaha memenuhi tugas perkembangan ini dengan baik karena tujuan dari tugas perkembangan ini memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan individu tersebut. Salah satu cara individu untuk mempersiapkan karir ekonominya adalah dengan cara bekerja. UU ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 68 dan UU No. 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 juga mengimplikasikan bahwa individu yang telah berusia 18 tahun ke atas merupakan individu yang sudah dianggap mampu menjalankan fungsinya untuk bekerja secara penuh menurut hukum yang berlaku.

Pekerjaan merupakan hal yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Individu bekerja karena hal tersebut merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memenuhi kesejahteraan hidupnya dan mencapai kemapanan dalam hal ekonomi. Seorang individu memiliki keinginan untuk mencapai kemapanan ekonomi karena status ekonomi seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu tersebut, misalnya saja dalam hal kemiskinan yang memiliki hubungan dengan kesehatan mental seseorang (Kuruvilla & Jacob, 2007). McClelland (dalam Riggio, 2009) juga memaparkan bahwa individu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya akan prestasi, kekuasaan, dan kedekatan secara sosial (afiliasi). Hal – hal tersebut menunjukkan besarnya peran sebuah


(24)

pekerjaan bagi kehidupan psikologis individu, sehingga membuat setiap individu berlomba – lomba untuk mencari dan memiliki sebuah pekerjaan.

Individu mengalami kesulitan dalam mendapat pekerjaan karena tingginya permintaan pasar akan kemampuan dan kompetensi individu yang diperlukan untuk masuk dalam dunia kerja, serta kecilnya kesempatan kerja yang disediakan oleh lapangan pekerjaan saat ini. Kesempatan kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) adalah tersedianya lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta. Hubungan antara angkatan kerja dan kemampuan penyerapan tenaga kerja akan menggambarkan adanya sebuah kesempatan kerja.

Besarnya jumlah individu yang hendak mencari pekerjaan tidak diimbangi dengan luasnya lapangan pekerjaan yang tersedia membuat persaingan individu yang hendak mencari sebuah pekerjaan semakin lama semakin ketat. Persaingan tersebut membuat individu – individu yang hendak mencari pekerjaan seringkali mengalami kecemasan bahwa mereka mungkin tidak akan mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal tersebut dikarenakan persaingan dipandang sebagai realitas yang mengancam dan menimbulkan kecemasan pada individu dalam mencapai pemenuhan fungsi kerja individu.

Kecemasan memiliki kaitan erat dengan perasaan ketidakberdayaan. Kecemasan menjadi ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan yang dirasakan dua kali lipat, yakni dari perasaan


(25)

ketidakberdayaan untuk mengubah lingkungan yang mengancam dan ketidakberdayaan untuk menampung perasaan terancam tersebut (Mikulincer, 1994). Perasaan ketidakberdayaan tersebut muncul dari adanya penilaian yang menyertai bahwa coping yang tersedia tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan maupun tidak mampu digunakan untuk menghindari konfrontasi dengan suatu ancaman (Mikulincer, 1994).

Perasaan ketidakberdayaan memiliki kaitan yang erat dengan self

esteem yang dimiliki individu. Self esteem adalah evaluasi yang dibuat

oleh individu mengenai hal – hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat individu dalam meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga (Coopersmith, 1967 dalam Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013). Seseorang dengan self esteem yang relatif tinggi akan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki kemampuan dalam mengatasi persoalan dalam kehidupannya. Seseorang dengan self esteem yang relatif rendah akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan dan merasa tidak aman terhadap keberadaan dirinya, sehingga ia merasa tidak mampu menghadapi persoalan dalam kehidupannya.

Self esteem adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan

karena memiliki kaitan yang luas dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa self esteem berkaitan dengan


(26)

kemampuan individu dalam mengambil keputusan. Ketidakmampuan seseorang untuk mengambil keputusan dikarenakan adanya permasalahan pada self esteem individu yang membuat individu memiliki kecurigaan pada pemikiran dan penilaian yang dimiliki individu itu sendiri (dalam Branden, 1992). Self esteem juga dikaitkan dengan tingkat ekspektasi individu terhadap suatu kesuksesan dan penetapan suatu tujuan. Individu dengan self esteem yang tinggi akan memiliki sedikit sekali permasalahan yang berkaitan dengan kontrol penetapan sebuah tujuan (dalam Branden, 1992).

Coping performance yang terkait dengan perasaan

ketidakberdayaan juga memiliki kaitan erat dengan dukungan sosial yang dimiliki individu. Dukungan sosial merupakan perasaan atau persepsi menjadi seseorang yang penting di hadapan orang lain, dipedulikan dan dicintai oleh orang lain, serta diterima keberadaannya oleh orang lain (Peterson, 2007 dalam Farzaee, 2012). Orang – orang terdekat, seperti keluarga dan sahabat dapat menjadi sumber pemberian dukungan sosial pada individu. Dukungan yang didapatkan seseorang akan meningkatkan performansi akan suatu penyelesaian masalah (coping performance) (Lakey dan Cohen, 2000). Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial juga lebih memiliki perasaan aman dan tenteram bila dibandingkan dengan individu yang tidak memperoleh dukungan sosial. Perasaan dicintai dan dihargai yang ditimbulkan oleh dukungan yang diberikan oleh orang lain juga membantu individu untuk dapat membuat evaluasi yang positif


(27)

terhadap dirinya, sehingga dukungan sosial juga menyumbangkan nilai positif bagi self esteem yang dimiliki individu.

Menjadi seorang difabel bukanlah hal yang diinginkan oleh individu. Individu lebih menyukai hidup secara normal seperti individu – individu lain pada umumnya. Difabel merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Istilah difabel digunakan untuk menyebut orang – orang yang memiliki kemampuan berbeda jika dibandingkan dengan kemampuan orang pada umumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), difabel diartikan sebagai penyandang cacat, sedangkan Undang – Undang No. 4 tahun 1997 pasal 1 menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental.

Difabel memiliki tahap perkembangan yang sama dengan individu pada umumnya. Difabel juga akan mengalami perkembangan pada masa remaja akhir dan dewasa awal, sehingga mereka sama-sama memiliki tugas perkembangan untuk mempersiapkan karir ekonomi. Bekerja adalah salah satu cara yang juga dapat digunakan difabel dalam memenuhi tugas perkembangan tersebut, sama seperti individu pada umumnya.

Difabel seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan sebuah pekerjaan. Hal ini terkait dengan diskriminasi yang seringkali dialami oleh


(28)

para difabel dalam hidup sehari-hari, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya saja dalam hal pendidikan. Saat ini kita berhadapan dengan kecanggihan teknologi, namun pelatihan bagi difabel kebanyakan masih berkutat pada keterampilan menjahit, sablon, atau bagian pertukangan. Hal ini menyebabkan keterampilan yang mereka miliki menjadi kurang dibutuhkan oleh pasar kerja. Hal ini didukung oleh pernyataan Ir. Ronny Hudi Prakoso, selaku Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia untuk Daerah Provinsi Jawa Tengah, yang menyatakan bahwa saat ini telah ada upaya dari pemerintah dalam rangka fasilitasi kerja bagi penyandang disabilitas. Salah satu bentuk upayanya adalah melalui pelatihan. Adapun contoh pelatihan yang pernah diberikan adalah pelatihan menjahit, menganyam, sablon, dan komputer. Namun beliau merasa bahwa jenis pelatihan yang saat ini dilakukan oleh pemerintah sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup penyandang disabilitas (dalam Latuconsina, 2014).

Di Indonesia juga terdapat Undang-Undang yang mengatur peluang kerja untuk difabel secara khusus. Hal tersebut tertuang pada Undang – Undang no. 4 tahun 1997 pasal 14 yang menjelaskan bahwa sebuah perusahaan harus mempekerjakan sekurang – kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan.


(29)

Hal tersebut menjelaskan bahwa penyandang cacat memiliki peluang kerja dengan perbandingan 1:100.

Adanya Undang – Undang yang mengatur hak peluang kerja difabel dengan perbandingan 1:100 seringkali tidak berjalan sebagaimana mestinya di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didukung oleh pernyataan Ir. Ronny Hudi Prakoso yang mengatakan bahwa kuota tersebut tidak pernah terpenuhi, baik untuk di perusahaan swasta maupun daerah (BUMD). Penyandang disabilitas masih merasa kesulitan untuk memperoleh kerja (dalam Latuconsina, 2014). Data Kompas Jakarta pada tahun 2013 juga menyebutkan bahwa partisipasi badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dalam pemenuhan kuota 1% bagi penyandang disabilitas tergolong rendah. Terhitung baru 76 perusahaan saja yang telah memenuhi kuota 1% dan kebanyakan merupakan perusahaan swasta nasional dan internasional. Data Kompas pada tahun 2006 menyebutkan bahwa terdapat sekitar 2000 orang difabel yang tinggal di daerah Solo dan sekitar 20% di antaranya menggantungkan hidup di jalan sebagai pengamen atau pengemis karena sulitnya mencari pekerjaan dengan status difabel. Data Kompas pada tahun 2010 juga menyebutkan bahwa jumlah difabel di Jawa Barat diperkirakan 120.000 orang, yang antara lain terdiri dari cacat badan dan mata. Diperkirakan 60% atau 72.000 orang dari data tersebut sudah memiliki keterampilan, namun baru 20% yang bekerja sesuai kemampuan atau diterima sebagai PNS. Sisanya harus berjuang sendiri untuk menemukan mata pencaharian layak sesuai


(30)

dengan keterampilannya. Ditambah lagi dengan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat yang menyebutkan ada sekitar 400.000 orang difabel produktif dan tak sedikit yang memiliki ijazah S1 atau D3, namun hanya sekitar 1% yang bisa bekerja dari sekitar 26.000 perusahaan di Jawa Barat (Kompas, 2013).

Kenyataan memperlihatkan adanya tuntutan yang tinggi dalam memasuki dunia kerja dan seringkali tidak diimbangi oleh situasi pendidikan keterampilan yang dimiliki orang difabel. Hal tersebut membuat kaum difabel seringkali dipandang kurang memiliki kompetensi

standard, sehingga mudah termarginalisasi dalam persaingan untuk

mendapatkan pemenuhan kesejahteraan yang akan didapatkan dari sebuah pekerjaan. Situasi tersebut membuat kaum difabel memiliki kemungkinannya untuk mengalami kecenderungan merasakan sebuah kecemasan karena kecilnya kesempatan kerja yang diberikan pada difabel.

Menjadi seorang difabel memang bukanlah hal yang mudah. Damayanti dan Rostiana (2003) memaparkan bahwa individu tunadaksa seringkali menghadapi berbagai masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja dikarenakan kecacatan yang dimilikinya (dalam Machdan & Hartini, 2012). Hal ini membuat difabel lebih rentan untuk memiliki self

esteem yang rendah karena sulit menerima keadaan dan kurang

memberikan pandangan yang positif pada dirinya, serta memandang dukungan sosial yang didapatkan secara negatif. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa disabilitas fisik mempengaruhi aspek – aspek


(31)

self esteem, baik dalam kompetensi atletik, sosial, maupun penampilan

fisik. Penyandang disabilitas fisik tidak hanya merasa kurang mampu dalam kemampuan secara fisik, namun juga pada penampilan fisik dan kehidupan sosialnya (Miyahara & Piek, 2006). Penelitian Forouzan (dkk) juga menunjukkan bahwa penyandang disabilitas fisik tidak memiliki keadaan yang menyenangkan sehubungan dengan dukungan sosialnya yang diterima dari lingkungan sosialnya. Padahal dukungan sosial merupakan salah satu faktor sosial yang menentukan kesehatan, serta memiliki peran dalam meningkatkan keadaan psikologis individu (Forouzan dkk, 2013). Berangkat dari realitas yang telah dipaparkan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang ingin diungkap oleh peneliti dalam penelitian ini adalah “Apakah secara empirik ada hubungan yang signifikan antara

self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan kesempatan kerja pada

penyandang disabilitas fisik?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self esteem dan dukungan sosial dengan kecemasan


(32)

kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik. Penelitian ini juga dapat melihat self esteem atau dukungan sosial yang memiliki hubungan lebih kuat dengan kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kajian ilmu psikologi industri dan organisasi terkait dengan

self-esteem, dukungan sosial, dan kecemasan kesempatan kerja pada

penyandang disabilitas fisik.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penyandang disabilitas fisik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi penyandang disabilias fisik terkait dengan self esteem dan dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik, sehingga para penyandang disabilitas fisik dapat lebih mengenali diri mereka dan mempersiapkan diri dalam merespon realitas sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada di tengah – tengah masyarakat saat ini.


(33)

b. Bagi orangtua dan masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi orangtua dan masyarakat terkait dengan self esteem dan dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik, sehingga orangtua dan masyarakat dapat lebih memahami dan mendukung para penyandang disabilitas fisik dalam mempersiapkan para penyandang disabilitas fisik untuk dapat menghadapi realitas sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada di tengah – tengah masyarakat saat ini.


(34)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self-Esteem

1. Pengertian Self-Esteem

Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi personal atau penilaian atas keberhargaan yang diekspresikan dalam sikap yang dibawa individu tentang diri mereka (dalam Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013). Mendukung pernyataan tersebut, Branden (1992) mendefinisikan self-esteem sebagai kekuatan yang besar dari setiap orang. Self-esteem adalah pengalaman yang sesuai dengan kehidupan dan kebutuhan hidup seseorang. Self-esteem merupakan kepercayaan individu pada kemampuan dirinya untuk berpikir dan mengatasi tantangan dasar kehidupan, serta percaya pada hak individu untuk merasa bahagia, merasa layak, dan berhak mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya, serta menikmati hasil usahanya. Dapat dikatakan bahwa harga diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain yang menjadi pembanding.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem merupakan evaluasi personal atau penilaian seorang individu terhadap perasaan


(35)

keberhargaan atas dirinya. Penilaian tersebut dapat dipengaruhi oleh karakteristik individu lain yang menjadi pembanding.

2. Komponen Self-Esteem

Buss (1995) menyatakan bahwa self-esteem memiliki 2 aspek, yakni aspek percaya diri dan aspek kecintaan pada diri. Aspek percaya diri terdiri atas komponen penampilan (appearance), kemampuan (ability), prestasi (performance), dan kekuatan (power). Kecintaan pada diri diartikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau pemusatan cinta kepada diri sendiri. Aspek kecintaan pada diri terdiri atas komponen penghargaan sosial (social rewards), pengalaman (vicariousness), dan moral (morality).

Heartherton dan Polivy (1991) mengungkapkan bahwa

self-esteem terdiri atas 3 komponen, yaitu performance self-self-esteem, social self-esteem, dan physical self-esteem. Performance self-esteem

merupakan perasaan terhadap kompetensi umum yang meliputi kemampuan intelektual, prestasi di sekolah, kapasitas regulasi diri, percaya diri, efikasi diri, dan agency. Social self-esteem merujuk pada keyakinan individu akan persepsi orang lain terhadap dirinya, sedangkan physical self-esteem merujuk pada pandangan seseorang terhadap keadaan fisiknya yang meliputi kemampuan atletik, ketertarikan fisik, body image, seperti stigma fisik dan perasaan mengenai ras dan etnik (dalam Heatherton, Wyland, & Lopez, 2003).


(36)

Berdasarkan komponen yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem terdiri atas 3 komponen. Komponen – komponen tersebut meliputi komponen performansi, sosial, dan fisik. Komponen performansi meliputi evaluasi individu terhadap kemampuan – kemampuan intelektual, kepercayaan diri, prestasi, dan kompetensi – kompetensi umum yang dimiliki oleh individu tersebut. Komponen sosial meliputi evaluasi dan persepsi individu terhadap respon yang diterima individu dari lingkungan sosialnya. Komponen fisik meliputi evaluasi individu terhadap kondisi dirinya secara fisik.

3. Faktor Pembentuk Self-Esteem

Coopersmith (dalam Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013) mengungkapkan bahwa terdapat 4 faktor yang berkontribusi pada perkembangan self-esteem. Faktor – faktor yang membentuk

self-esteem adalah

- besar penerimaan individu dari orang – orang terdekat,

- sejarah keberhasilan yang dicapai, status, dan posisi mereka di dunia,

- pengalaman yang diinterpretasikan dan dimodifikasi yang sesuai dengan nilai – nilai dan menjadi aspirasi individu karena kesuksesan, kekuasaan, dan perhatian tidak secara langsung dan


(37)

segera dipersepsikan, tetapi disaring melalui nilai – nilai dan tujuan yang dimiliki individu,

- cara seseorang menghadapi devaluasi karena individu dapat meminimalkan, mendistorsi, atau menekan tindakan merendahkan orang lain karena kegagalan mereka sendiri, mereka mungkin menolak hak orang lain untuk menghakimi mereka, serta dapat menjadi sangat sensitif terhadap penilaian yang dibuat orang lain.

B. Dukungan Sosial 1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan suatu hal yang mengacu pada persepsi individu terhadap perasaan nyaman, kepedulian, penghargaan terhadap dirinya, atau pertolongan yang diterima oleh individu dari orang lain atau suatu kelompok tertentu (Wallston et al., 1983; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008). Dukungan dapat berasal dari banyak sumber, misalnya pasangan, keluarga, teman – teman, dokter, atau organisasi kemasyarakatan (Sarafino, 2008). Siegel (1993) mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu informasi dari individu bahwa ia merasa dicintai dan diperhatikan, dihormati dan dihargai, menjadi bagian dari sebuah jaringan komunikasi dan melakukan hubungan yang saling menguntungkan dengan orangtua, pasangan atau kekasih, kerabat, teman – teman, hubungan sosial, dan komunitas tertentu (dalam Taylor, 1999).


(38)

Thompson (1995) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari relasi sosial yang menyediakan (atau berpotensi untuk dapat menyediakan) sumber material dan interpersonal yang bernilai bagi penerimanya, seperti konseling, akses informasi dan pelayanan, berbagi tugas dan responsibilitas, dan kemampuan akuisisi (dalam Miyahara, 2008). Sedikit berbeda dengan Thompson, Peterson (2007) mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan menjadi bagian, diterima, dicintai, dan dipedulikan oleh keluarga, teman, rekan kerja, dan orang lain yang dapat memberikan hal – hal tersebut. Dukungan sosial membentuk perasaan aman dalam berelasi, yakni perasaan cinta dan kedekatan yang menjadi aspek utama dalam relasi tersebut (dalam Farzaee, 2012). Walen dan Lachman (2000) menyatakan bahwa dukungan sosial dioperasionalkan sebagai persepsi seseorang yang melihat sikap kepedulian dan sikap memahami yang ditunjukkan oleh orang lain.

Dengan melihat beberapa penjelasan terkait dengan pengertian dukungan sosial yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan pandangan dan perasaan diterima, dicintai, dan dipedulikan oleh orang lain di sekitarnya, serta menjadi bagian dalam kelompok yang dimiliki oleh tiap individu. Dukungan sosial yang didapatkan individu akan membentuk perasaan aman dalam berelasi yang didasarkan pada dua aspek utama, yaitu cinta dan kedekatan dengan orang lain. Dukungan sosial dapat diperoleh dari


(39)

orang – orang di sekitar individu, antara lain dari keluarga, teman, masyarakat, ataupun kelompok – kelompok sosial tertentu.

2. Jenis Dukungan Sosial

Dukungan sosial menyediakan empat fungsi dasar bagi individu (Cutrona & Gardner, 2004; Schaefer, Coyne, & Lazarus, 1981; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008).

- Dukungan emosional (emotional atau esteem support)

memberikan empati, kepedulian, perhatian, pandangan positif, dan dorongan pada individu tersebut. Hal ini memberikan rasa nyaman dan keyakinan akan rasa saling memiliki dan dicintai, terutama saat individu dalam keadaan yang tidak menyenangkan. - Dukungan instrumental (tangible atau instrumental support)

meliputi bantuan secara langsung, seperti saat seseorang meminjamkan uang atau membantu tugas yang dimiliki oleh individu tersebut.

- Dukungan informasional (informational support) meliputi pemberian nasihat, arahan, saran, atau masukan terkait hal – hal yang individu tersebut lakukan.

- Dukungan pendampingan (companionship support) mengacu pada kesediaan orang lain untuk menghabiskan waktu bersama dengan individu, sehingga hal tersebut memberikan perasaan


(40)

sebagai anggota dalam suatu kelompok individu yang dapat saling berbagi minat dan aktivitas secara sosial.

Beberapa peneliti lain juga menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat memiliki beberapa bentuk, antara lain dukungan penilaian (appraisal support), bantuan secara langsung (tangible

assistance), dukungan informasional (informational support), dan

dukungan emosional (emotional support). Dukungan penilaian

(appraisal support) meliputi bantuan yang diberikan pada individu

untuk memahami peristiwa yang kurang menyenangkan dengan lebih baik, serta memahami sumber dan strategi coping yang harus digunakan untuk dapat menghadapi permasalahan tersebut. Individu yang menghadapi peristiwa tidak menyenangkan dapat menentukan kemungkinan ancaman yang diberikan oleh situasi tersebut dan bisa mendapatkan keuntungan dari saran yang diberikan terkait dengan cara yang digunakan untuk mengelola peristiwa tersebut melalui pertukaran pandangan dengan orang lain. Bantuan dan dukungan secara langsung (tangible assistance) melibatkan ketersediaaan dukungan secara material, seperti layanan bantuan keuangan atau barang. Keluarga dan teman – teman dapat menyediakan dukungan informasional (informational support) terkait dengan peristiwa yang kurang menyenangkan tersebut. Individu juga sering merasa menderita secara emosional selama berada pada masa – masa yang berat dan mungkin sekali akan mengalami depresi, kesedihan,


(41)

kecemasan, dan kehilangan harga dirinya. Teman – teman dan keluarga yang mendukung dapat memberikan dukungan emosional

(emotional support) dengan meyakinkan individu tersebut bahwa

dirinya merupakan orang yang berharga dan selalu dipedulikan (e.g., S. Cohen, 1988; Reis, 1984; Schwarzer & Leppin, 1991; Wills, 1991 dalam Taylor, 1999 ).

Rock dan Itwart (1999; Zaki, 2008; dalam Tajbakhsh & Rousta, 2012) menyatakan bahwa dukungan sosial memiliki dua bentuk, yakni emosi dan instrumen. Dukungan sosial secara emosional dapat dianggap sebagai suatu bentuk relasi yang penuh kepercayaan dan afeksional dengan orang lain, sedangkan tujuan dukungan sosial instrumental adalah untuk memberikan pelayanan, berkontribusi dalam kegiatan – kegiatan, menyediakan dukungan finansial, dan memberi bantuan pada individu tersebut.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tersebut, maka dukungan sosial dapat dikelompokkan menjadi 4 bentuk yang meliputi dukungan emosional (emotional support), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasional

(informational support), dan dukungan pendampingan

(companionship support).

- Dukungan emosional merupakan dukungan yang diberikan pada individu sehingga individu dapat merasa bahwa dirinya berharga, dicintai, dan dipedulikan oleh orang lain. Dukungan emosional


(42)

dapat diwujudkan dengan cara memberikan empati, perhatian, kepedulian, dorongan semangat, atau pandangan positif pada individu tersebut.

- Dukungan instrumental adalah dukungan yang diberikan dalam bentuk bantuan secara langsung dan biasanya dalam hal material, seperti meminjamkan barang, uang, atau membantu dalam mengerjakan sesuatu.

- Dukungan informasional merupakan dukungan yang diberikan dalam bentuk saran, nasihat, arahan, serta masukan sehingga individu dapat memahami suatu hal atau peristiwa tertentu dengan baik.

- Dukungan pendampingan lebih mengacu pada ketersediaan orang lain dalam meluangkan waktunya untuk mendampingi individu.

3. Faktor Pendukung Dukungan Sosial

Dukungan sosial memiliki peran yang penting dalam kehidupan individu, namun tidak semua individu mendapatkan dukungan sosial yang sama besarnya satu sama lain. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi besarnya dukungan sosial yang diterima oleh tiap individu (Antonnuci, 1985; Broadhead et al., 1983; Wortman & Dunkel-Schetter, 1987 dalam Sarafino, 2008). Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi besar dukungan sosial yang diterima individu, antara lain:


(43)

- Faktor yang terkait dengan potensi penerimaan individu yang menerima dukungan sosial. Individu tidak akan mungkin menerima dukungan sosial apabila individu tersebut tidak ramah dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa dirinya membutuhkan suatu pertolongan. Beberapa individu tidak cukup yakin untuk meminta bantuan dari orang lain dan berpikir bahwa mereka harus bersikap independen atau tidak boleh membebani orang lain.

- Faktor yang terkait dengan pihak yang memberikan dukungan, misalnya saja bila individu yang menjadi sumber pemberi dukungan sosial tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan, tidak mampu membantu dirinya sendiri, atau tidak peka terhadap kebutuhan orang lain.

- Ukuran, komposisi, tingkat keintiman, dan frekuensi individu untuk melakukan kontak dengan lingkungan sosialnya, seperti jumlah orang yang mereka kenal juga turut mempengaruhi besarnya dukungan sosial yang dapat dimiliki individu (Cutrona & Gardner, 2004; Wills & Fegan, 2001 dalam Sarafino, 2008).

C. Kecemasan Kesempatan Kerja Penyandang Disabilitas Fisik 1. Pengertian Kecemasan

Freud (dalam Feist & Feist, 2008) mendefinisikan kecemasan sebagai sebuah kondisi yang tidak menyenangkan, bersifat


(44)

emosional, dan sangat terasa kuatnya, disertai sebuah sensasi fisik yang memperingatkan seseorang terhadap bahaya yang sedang mendekat. Kecemasan seringkali samar – samar, namun selalu dapat dirasakan dan hanya ego yang dapat mendeteksi tiap jenis kecemasan, sedangkan id, super ego, dan dunia eksternal masing – masing terlibat hanya pada satu jenis kecemasan.

Begitu pula dengan Rogers (dalam Feist & Feist, 2008) yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan perasaan tidak nyaman atau tegang tanpa penyebab yang jelas. Kecemasan muncul saat kita tidak terlalu menyadari kontradiksi antara penghayatan organismik dan konsep diri. Gunarsa (dalam Nainggolan, 2011) juga mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan yang tidak menentu, takut yang tidak jelas, dan tidak terikat pada suatu ancaman bisa menyebabkan individu menjauhkan diri, menghindar dari lingkungan, atau tempat – tempat dan keadaan tertentu.

Sedikit berbeda dengan pengertian sebelumnya, Sullivan (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa kecemasan adalah tegangan yang mengganggu pemenuhan kebutuhan. May (dalam Feist & Feist, 2008) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan terancam oleh sesuatu yang belum terjadi. Kecemasan adalah kondisi subjektif individu yang semakin menyadari bahwa eksistensinya tidak bisa dihancurkan, tetapi juga bahwa dia bisa saja jadi „tidak – mengada‟. Kecemasan dapat tumbuh dari kesadaran terhadap ketidakmengadaan


(45)

atau dari ancaman terhadap sejumlah nilai yang esensial bagi eksistensi dan hadir ketika manusia berkonfrontasi dengan potensi pemenuhan dirinya.

Seligman (2001) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan gelisah secara umum terkait dengan bahaya – bahaya yang tidak jelas atau spesifik. Beberapa ahli teori juga memandang kecemasan sebagai respon terhadap situasi yang mengancam, sedangkan para ahli yang lain menjelaskan kecemasan sebagai dorongan yang mengarah pada respon untuk mengatasi situasi tertentu. Meskipun banyak mekanisme yang berbeda, banyak pihak merasa setuju bahwa tingkat kecemasan yang wajar bertindak sebagai perlindungan untuk menjaga individu agar tidak mengabaikan suatu hal yang membahayakan (Sue dkk., 1986).

Kecemasan terkadang sering dianggap sama dengan perasaan takut. Kecemasan dan perasaan takut adalah perasaan yang sangat mirip dan ditandai dengan keadaan yang tidak menyenangkan dari suatu ketegangan, ketakutan akan suatu objek atau peristiwa tertentu, dan keinginan untuk menghindari sumber penyebab munculnya perasaan tersebut. Walaupun sangat mirip, kecemasan berbeda dengan perasaan takut. Perasaan takut biasanya mengacu pada sumber tertentu, sedangkan penyebab kecemasan tidak cukup jelas dan lebih bersifat abstrak (Byrne & Kelley, 1981).


(46)

Berdasarkan beberapa pengertian kecemasan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan suatu kondisi atau perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan – perasaan subjektif, seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran. Penyebab perasaan cemas berasal dari hal-hal yang bersifat lebih abstrak atau tidak jelas.

2. Jenis Kecemasan

Freud (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa terdapat 3 jenis kecemasan, yakni:

a. Kecemasan neurotis, yakni kekhawatiran mengenai bahaya yang tidak diketahui. Kecemasan neurotis dihasilkan dari ketergantungan ego pada id.

b. Kecemasan moral, yang berasal dari konflik antara ego dan superego.

c. Kecemasan realistik, yakni perasaan tidak tentu yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang bisa saja terjadi. Kecemasan realistik dihasilkan oleh ketergantungan kepada dunia eksternal yang menghasilkan kecemasan analitis.

May (dalam Feist & Feist, 2008) mengemukakan bahwa kecemasan memiliki 2 sifat, yakni:


(47)

a. Kecemasan normal adalah suatu hal yang proporsional bagi ancaman, tidak melibatkan represi, dan bisa ditentang secara konstruktif di tingkatan sadar.

b. Kecemasan neurotik merupakan reaksi tidak proporsional terhadap ancaman, melibatkan represi, dan bentuk – bentuk konflik intrapsikis lainnya, dan diatur oleh beragam jenis pemblokiran aktivitas dan kesadaran.

Spielberger membagi kecemasan menjadi dua tipe, yakni

trait anxiety dan state anxiety (dalam Byrne & Kelley, 1981). Trait anxiety mengacu pada perbedaan tiap individu yang cukup stabil

dalam level kecemasan, sedangkan state anxiety mengacu pada suatu kondisi yang terjadi sementara waktu dan bersifat fluktuatif dalam menanggapi suatu situasi tertentu. Spielberger juga memaparkan bahwa state anxiety ditandai dengan perasaan subjektif dari sebuah kekhawatiran dan ketegangan yang ditambah dengan aktivasi sistem saraf otonom, sedangkan trait anxiety lebih mengacu pada sistem motif atau sebuah kecenderungan yang merupakan predisposisi seseorang untuk merespon dengan reaksi

state anxiety ke dalam situasi – situasi yang dipersepsikan sebagai


(48)

3. Gejala Kecemasan

Kaplan dan Sadock (dalam Nainggolan, 2011) mengatakan bahwa gejala kecemasan dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu: a. Kesadaran adanya sensasi fisiologis (seperti jantung berdebar –

debar dan berkeringat).

b. Kesadaran adanya sensasi psikologis (kesadaran sedang gugup atau ketakutan).

c. Kesadaran adanya sensasi kognitif.

Sue dkk. (1986) menjelaskan bahwa kecemasan dapat diwujudkan dalam empat hal, yakni secara kognitif (dalam pemikiran seseorang), motorik (dalam tindakan seseorang), somatik (berupa reaksi fisik atau biologis), dan secara afekif (emosi seseorang). Kecemasan yang diwujudkan secara kognitif dapat bervariasi mulai dari kekhawatiran yang ringan hingga yang paling panik. Kecemasan yang cukup berat dapat membawa dampak yang terparah berupa kematian, keterpakuan pada bahaya yang tidak diketahui, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan, dan kesulitan untuk tidur. Perilaku motorik juga akan terpengaruh ketika individu mengalami kecemasan. Individu yang mengalami kecemasan memperlihatkan gerakan – gerakan secara acak mulai dari tubuh yang bergemetar secara halus hingga bergetar dengan lebih parah. Perilaku yang bermacam – macam dapat ditunjukkan oleh individu, seperti kegelisahan secara umum, mondar


(49)

– mandir, menggeliatkan tubuh, menggigit bibir, menggigit kuku, menggemeretakan ruas jari, dan melompat. Tubuh mempersiapkan untuk merespon ancaman – ancaman yang mungkin muncul pada tiap waktu. Perubahan secara somatik juga mungkin muncul dari cara menarik nafas, mulut yang kering, tangan dan kaki yang terasa dingin, mengalami diare, meningkatnya frekuensi buang air kecil, pingsan, jantung yang berdebar – debar, ketegangan otot (terutama di bagian kepala, leher, bahu, dan dada), dan mengalami gangguan pencernaan. Manifestasi kecemasan yang paling banyak dialami berada pada bagian afektif, yakni semacam perasaan ketegangan yang sedikit berdekatan dengan perasaan terteror dalam keadaan kecemasan yang cukup kronis. Individu merasa gelisah dan khawatir terus – menerus akan adanya bahaya yang mungkin terjadi dalam kondisi semacam ini, tanpa mempedulikan seberapa baiknya kondisi lingkungan yang terjadi di sekitarnya.

Seligman (2001) juga mengungkapkan bahwa kecemasan memiliki empat komponen yang sama seperti rasa takut, namun memiliki perbedaan utama dalam elemen kognitif. Komponen kognitif dari rasa takut adalah pemikiran bahwa terdapat bahaya yang jelas dan spesifik, sedangkan komponen kognitif dari kecemasan adalah pemikiran terhadap bahaya yang lebih menyebar dan tidak jelas. Komponen somatik dari kecemasan sama dengan perasaan takut, yakni elemen sebagai reaksi terhadap keadaan


(50)

darurat. Banyak sekali elemen emosional dari kecemasan yang juga terjadi pada perasaan takut, seperti suatu perasaan yang sedikit aneh pada bagian ulu hati atau merasa ketakutan. Individu merasa terdorong untuk melakukan tindakan (seperti mematung atau berlari) ketika merasa ketakutan, namun individu cenderung merasa tidak pasti untuk bertindak saat mengalami kecemasan. Komponen perilaku antara kecemasan dan ketakutan tidak jauh berbeda yang termasuk dalam reaksi „flight’ (kabur atau melarikan diri) atau „fight’

(menghadapi), namun individu mudah untuk menargetkan diri pada stimulus yang menjadi ancaman dan bereaksi dalam keadaan takut, sedangkan individu akan merasa panik untuk dapat menemukan stimulus yang menjadi ancaman saat mengalami kecemasan dan mengakibatkan individu mengalami kesulitan untuk bereaksi. Individu akan bereaksi dengan cepat saat merasa takut, sedangkan individu harus sedikit waspada terhadap pertanda yang akan membantu dalam mengidentifikasi ancaman yang ada, sekaligus mempersiapkan diri untuk menghadapi atau melarikan diri dari hal tersebut.

State anxiety memiliki tiga komponen, yakni ideational (item

item yang terkait dengan proses – proses kognitif dan berpikir), motorik (item – item yang memiliki keterkaitan utama dengan sistem kerangka otot atau aktivitas motor), dan otonom (item – item yang terkait dengan sistem organ yang dipersarafi oleh sistem saraf


(51)

otonom). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa stressor secara fisik dan psikologis akan meningkatkan ketiga komponen state

anxiety, namun Lushene menemukan bahwa stressor fisik akan

memproduksi peningkatan lebih besar pada komponen otonom dari pada komponen ideational maupun motorik pada state anxiety. Pendekatan yang mengisolasi pemisahan komponen – komponen

state anxiety mendorong beberapa komponen mungkin berinteraksi

dengan jenis situasi stressor di lingkungan individu berada (London & Exner, 1978).

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan secara umum memiliki empat komponen. Komponen yang dimaksud meliputi gejala secara kognitif yang terjadi dalam tingkat pemikiran individu, gejala motorik yang nampak pada perilaku individu, gejala somatik yang terjadi dalam reaksi – reaksi secara biologis, dan gejala afektif atau emosi individu. Beberapa komponen mungkin tidak selalu muncul dalam setiap situasi yang memicu timbulnya kecemasan karena gejala yang ditunjukkan oleh individu juga dipengaruhi oleh jenis situasi

stressor, maka komponen kecemasan akan kesempatan kerja dalam

penelitian ini dibatasi hanya pada komponen kognitif, somatik, dan afektif.


(52)

4. Dampak Kecemasan

Kecemasan cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi, tidak hanya pada ruang dan waktu, tetapi pada orang dan arti peristiwa. Distorsi tersebut dapat mengganggu proses kognitif individu dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat, dan mengganggu kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan hal lain untuk membuat asosiasi. Menambahkan penjelasan tersebut, Sullivan (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan bahwa kecemasan menghasilkan perilaku – perilaku yang:

a. mencegah manusia belajar dari kesalahan – kesalahan mereka, b. mempertahankan agar mereka terus mengejar harapan – harapan

kanak – kanak terhadap rasa aman, dan

c. umumnya memastikan agar manusia tidak akan pernah bisa belajar dari pengalaman – pengalaman.

5. Kecemasan Kesempatan Kerja pada Penyandang Disabilitas Fisik Kesempatan kerja berasal dari kata sempat dan kerja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kata sempat berarti memiliki peluang dan kata kerja memiliki arti kegiatan melakukan sesuatu atau mengindikasikan sebuah matapencaharian atau pekerjaan. Kesempatan kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)


(53)

adalah tersedianya lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.

Kesempatan kerja adalah tersedianya lapangan kerja bagi angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan (Alam, 2007). Kesempatan kerja (employment) merupakan penggunaan faktor – faktor produksi, khususnya tenaga kerja (Gilarso, 1992). Dalam pengkajian ketenaga kerjaan, kesempatan kerja sering dipicu sebagai permintaan tenaga kerja (Sumarsono, 2009).

Ritonga, dkk (2007) menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi dalam masyarakat membutuhkan tenaga kerja dan kebutuhan akan tenaga kerja tersebut dapat disebut sebagai kesempatan kerja (demand of labor). Ritonga, dkk (2007) juga menyebutkan bahwa kesempatan kerja juga dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang menggambarkan tersedianya lapangan kerja (pekerjaan) untuk diisi oleh para pencari kerja.

Sukwiaty, dkk (2009) memiliki pandangan yang sejalan dengan Ritonga, dkk. Sukwiaty, dkk (2009) juga menjelaskan bahwa kesempatan kerja adalah jumlah lapangan kerja yang tersedia bagi masyarakat, baik yang telah ditempati (employment) maupun lapangan kerja yang masih kosong (vacancy). Sukwiaty, dkk menyatakan bahwa kesempatan kerja menggambarkan tersedianya lapangan kerja dalam masyarakat, sehingga sering disebut sebagai besarnya permintaan terhadap tenaga kerja. Kesempatan kerja juga


(54)

erat hubungannya dengan kemampuan perusahaan – perusahaan, baik swasta maupun pemerintah dalam berbagai jenis dan ukuran untuk menampung atau menyerap tenaga kerja yang terkait langsung dengan kegiatan produksi.

Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa kesempatan kerja merupakan ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja dan dapat menunjukkan besarnya permintaan akan tenaga kerja. Pendefinisian tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kecemasan kesempatan kerja pada penyandang disabilitas fisik merupakan perasaan atau kondisi yang tidak menyenangkan pada penyandang disabilitas fisik yang disebabkan oleh pandangan terhadap ketersediaan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh pasar kerja, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.

D. Penyandang Disabilitas Fisik 1. Pengertian Disabilitas Fisik

Difabel berasal dari kata different ability yang artinya kemampuan yang berbeda atau dari bahasa Inggris disabled person yang dapat diartikan sebagai penyandang cacat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), difabel diartikan sebagai penyandang cacat. Undang – undang No. 4 tahun 1997 pasal 1 menyatakan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik


(55)

dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental.

Damayanti dan Rostiana menjelaskan tunadaksa sebagai kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh, seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari – hari (dalam Machdan & Hartini, 2012). Mangunsong (1998) mendefinisikan tunadaksa sebagai ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Hasil Seminar Nasional, Puskurandik, Balitbang, Depdikbud mengartikan anak tunadaksa sebagai anak yang menderita cacat akibat polio myelitis, kecelakaan, keturunan, cacat sejak lahir, kelemahan otot – otot, akibat peradangan otak, dan kelainan motorik yang disebabkan oleh kerusakan pada pusat syaraf atau cerebrum (dalam Mangunsong, 1998).

Somantri (2006) mengartikan tunadaksa sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. White House Conference (1931) menjelaskan tunadaksa sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan


(56)

bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (dalam Somantri, 2006).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa penyandang disabilitas fisik merupakan setiap orang yang memiliki kondisi cacat secara fisik sehingga menghambat kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari – hari. Kecacatan yang dimiliki biasanya terdapat pada salah satu anggota tubuh, sedangkan anggota tubuh lain dan bagian otak individu dapat berfungsi secara normal.

2. Sebab dan Jenis Disabilitas Fisik

Somantri (2006) menjelaskan bahwa ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penyebab yang timbul sebelum, sesudah, dan pada waktu kelahiran. Penyebab yang timbul sebelum kelahiran dapat meliputi faktor keturunan, trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak, pendarahan pada waktu kehamilan, maupun keguguran yang dialami ibu. Penyebab yang timbul pada waktu kelahiran dapat meliputi penggunaan alat – alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacuum, dan lain – lain) yang tidak lancar dan penggunaan obat bius pada waktu kelahiran. Penyebab yang timbul sesudah


(57)

kelahiran dapat meliputi infeksi, trauma, tumor, dan kondisi – kondisi lainnya.

Mangunsong (1998) mengklasifikasikan kecacatan secara umum menjadi tunadaksa yang tergolong bagian D (SLB D) dan tunadaksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1). Anak tunadaksa yang tergolong bagian D (SLB D) ialah anak yang menderita cacat polio atau lainnya, sehingga mengalami ketidaknormalan dalam fungsi tulang, otot – otot atau kerjasama fungsi otot – otot, tetapi mereka berkemampuan normal. Anak tunadaksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1) ialah anak yang cacat semenjak lahir atau cerebral palsy, sehingga mengalami cacat jasmani karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi, dan syaraf – syaraf. Kemampuan inteligensi mereka di bawah normal atau terbelakang.

3. Dampak Psikologis dan Permasalahan Penyandang Disabilitas Fisik Damayanti dan Rostiana (2003) memaparkan bahwa individu tunadaksa seringkali menghadapi berbagai masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja dikarenakan kecacatan yang dimilikinya (dalam Machdan & Hartini, 2012). Mangunsong (1998) menjelaskan bahwa difabel cacat fisik dapat menunjukkan reaksi emosi yang berbeda – beda terhadap keadaannya tersebut. Reaksi yang ditunjukkan dapat berupa berdiam diri karena depresi, menyalahkan diri sendiri atau kecewa dan khawatir atau membenci keadaannya


(58)

sendiri. Individu menjadi malu, murung, sedih, melamun, menyendiri, dan berputus asa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut.

Anak yang tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai anak tunadaksa secara bertahap. Anak yang mengalami ketunadaksaan setelah besar akan mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak, di samping anak yang bersangkutan pernah menjalani kehidupan sebagai orang yang normal, sehingga keadaan tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima. Oleh karena hal tersebut, maka dukungan orangtua dan orang – orang di sekeliling anak tunadaksa merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa (Somantri, 2006).

Anak yang memiliki kecacatan fisik, namun mampu mengatasi krisis awal keadaannya akan dapat menumbuhkan rasa penerimaan diri terhadap kenyataan yang dihadapi. Sikap positif menyebabkan anak berani berinteraksi dengan lingkungannya, dapat menerima keadaannya dengan jiwa besar, berusaha mandiri sesuai dengan kemampuannya, dan aktif sebagai anak sesuai dengan usianya. Sikap positif ini perlu didukung oleh keluarga, saudara, teman, dan masyarakat di lingkungannya.


(59)

Anak difabel yang tidak mampu mengatasi krisis yang terjadi pada dirinya akan mengalami ketertekanan, menyesali dirinya terus menerus, dan merasa marah pada orang lain yang memiliki keadaan fisik yang normal. Anak tidak mau berinteraksi dengan lingkungannya, mengurung atau mengisolasi diri, dan merasa curiga pada orang lain karena merasa akan diejek, sehingga ia merasa tidak aman dengan keadaan dirinya (Mangunsong, 1998).

Papu (2002) menjelaskan bahwa individu tunadaksa mengalami kesusahan dalam mencari kerja karena banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa individu tunadaksa tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk bekerja (dalam Machdan & Hartini, 2012). Individu tunadaksa jika bekerja lebih banyak merepotkan, serta menambah pengeluaran perusahaan karena harus menyediakan akomodasi dan fasilitas khusus untuk membantu tunadaksa dalam melakukan pekerjaannya. Lapangan pekerjaan khusus individu tunadaksa juga sangat minim sekali, meskipun telah dibuatnya UU bagi penyandang cacat. Hal – hal tersebut yang seringkali membuat para pelamar tunadaksa gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya (Machdan & Hartini, 2012).


(60)

E. Remaja Akhir dan Individu Dewasa Awal

Perjalanan dari masa kanak – kanak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang yang dikenal sebagai masa remaja. Papalia (2008) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak – kanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar secara fisik, kognitif, dan psikososial. Sejalan dengan Papalia, Steinberg (2002) juga mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi yang dialami individu secara biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi.

Para ahli membagi masa remaja menjadi 3, yakni masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Masa remaja awal mencakup periode usia 10 hingga 13 tahun, masa remaja pertengahan mencakup periode usia 14 hingga 18 tahun, serta masa remaja akhir yang mencakup periode usia 19 hingga 22 tahun (Arnett, 2000; Kagan & Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977 dalam Steinberg, 2002).

Hurlock (1999) mengungkapkan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan perubahan status yang dialami oleh remaja, terutama pada status ekonomi dan kelegalan dalam hukum. Remaja mulai mendapatkan izin untuk bekerja karena remaja memiliki hak untuk mengatur keuangan mereka sendiri terkait dengan perubahan status ekonomi, serta mereka sudah legal secara hukum untuk dapat masuk


(61)

dalam dunia kerja terkait perubahan status legalitas dalam hukum yang berlaku (Steinberg, 2002).

Undang – undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 68 menyatakan bahwa pengusaha dilarang untuk mempekerjakan anak, sedangkan yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. Anak yang berusia antara 13 hingga 15 tahun mendapat pengecualian dan diperbolehkan bekerja dengan beberapa ketentuan, diantaranya diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Undang – undang No. 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 pasal 3 juga menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun. Hal – hal tersebut dapat menunjukkan bahwa remaja yang berusia 18 tahun ke atas telah dianggap memiliki legalitas dalam hukum untuk bekerja secara utuh dan efektif.

Setelah melewati masa remaja akhir, maka individu akan memasuki masa dewasa awal. Individu yang tergolong sebagai dewasa muda merupakan individu yang secara umum berusia antara 20 – 40 tahun (Dariyo, 2003). Santrock (1999) mengungkapkan bahwa individu dewasa muda mengalami transisi, baik secara fisik, intelektual, dan transisi peran sosial (dalam Dariyo, 2003).


(62)

Havighurst (Turner dan Helms, 1995 dalam Dariyo, 2003) mengemukakan tugas – tugas perkembangan dewasa muda, di antaranya (a) mencari dan menemukan calon pasangan hidup, (b) membina kehidupan rumah tangga, (c) meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, dan (d) menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sejalan dengan tugas perkembangannya untuk meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga, maka individu dewasa muda berupaya menekuni karier sesuai minat-bakat yang dimiliki dan mampu memberi jaminan masa depan keuangan yang baik.

Dariyo (2003) memaparkan bahwa individu dewasa muda akan merasa puas dengan pekerjaan dan tempat kerjanya bila mereka merasa cocok dan sesuai dengan kriteria tersebut. Bila mereka merasa bahwa minat dan bakatnya belum cocok dengan jenis pekerjaan tersebut, mereka cenderung akan berhenti dan mencari jenis pekerjaan yang sesuai dengan selera mereka. Individu dewasa muda terkadang juga akan bertahan dengan suatu pekerjaan, meskipun tidak cocok dengan latar belakang ilmu yang mereka miliki karena pekerjaan tersebut memberikan hasil keuangan yang layak (baik). Hal tersebut dapat terjadi karena individu dewasa muda berpikir bahwa dengan penghasilan yang layak (memadai), mereka dapat membangun kehidupan ekonomi rumah tangga yang mantap dan mapan.


(63)

F. Hubungan Antara Self-Esteem Dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Kesempatan Kerja Pada Penyandang Disabilitas Fisik

Kehidupan individu banyak dipengaruhi oleh banyak hal, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri individu. Salah satu faktor dari dalam diri individu yang memiliki peran penting dalam kehidupan individu adalah self esteem, sedangkan salah satu faktor dari luar diri individu adalah dukungan sosial.

Self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal

– hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat individu dalam meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga (Coopersmith, 1967; dalam Fitria, Brouwer, Khan, & Almigo, 2013). Self-esteem merupakan salah satu faktor internal yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi kinerja dan perilaku seseorang dalam menjalankan kegiatan sehari – hari. Seseorang dengan

self-esteem yang relatif tinggi akan memiliki pandangan positif terhadap

dirinya dan memiliki kepercayaan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan dalam kehidupannya. Seseorang dengan self-esteem yang relatif rendah akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan dan merasa tidak aman terhadap keberadaan dirinya, sehingga ia merasa tidak mampu menghadapi persoalan dalam kehidupannya.


(64)

Dukungan sosial adalah perasaan menjadi bagian, diterima, dicintai, dan dipedulikan oleh keluarga, teman, rekan kerja, dan orang lain yang dapat memberikan hal – hal tersebut (Peterson, 2007; dalam Farzaee, 2012). Dukungan sosial membentuk perasaan aman dalam berelasi, yakni perasaan cinta dan kedekatan yang menjadi aspek utama dalam relasi tersebut. Seseorang yang mendapatkan dukungan sosial akan lebih memiliki perasaan aman dan tenteram bila dibandingkan dengan individu yang tidak memperoleh dukungan sosial, maka dukungan sosial merupakan salah satu faktor dari luar diri manusia yang berperan penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku, dan kecenderungan kepribadian seseorang. Besarnya dukungan sosial yang dimiliki individu juga akan meningkatkan performansi akan suatu penyelesaian masalah (coping

performance), sehingga dapat mengurangi efek dari sebuah stressor

(Lakey dan Cohen, 2000).

Menjadi seorang difabel memang bukanlah hal yang mudah. Damayanti dan Rostiana (2003) memaparkan bahwa individu tunadaksa seringkali menghadapi berbagai masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja dikarenakan kecacatan yang dimilikinya (dalam Machdan & Hartini, 2012). Hal ini membuat difabel lebih rentan untuk memiliki self

esteem yang rendah karena sulit menerima keadaan dan kurang

memberikan pandangan yang positif pada dirinya, serta memandang dukungan sosial yang didapatkan secara negatif. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa disabilitas fisik mempengaruhi aspek – aspek


(65)

self esteem, baik dalam kompetensi atletik, sosial, maupun penampilan

fisik. Penyandang disabilitas fisik tidak hanya merasa kurang mampu dalam kemampuan secara fisik, namun juga pada penampilan fisik dan kehidupan sosialnya (Miyahara & Piek, 2006). Penelitian Forouzan (dkk) juga menunjukkan bahwa penyadang disabilitas fisik tidak memiliki keadaan yang menyenangkan sehubungan dengan dukungan sosialnya yang diterima dari lingkungan sosialnya. Padahal dukungan sosial merupakan salah satu faktor sosial yang menentukan kesehatan, serta memiliki peran dalam meningkatkan keadaan psikologis individu (Forouzan dkk, 2013).

Penyandang disabilitas fisik yang memiliki self esteem rendah cenderung akan mengevaluasi dirinya secara lebih negatif, sehingga mereka akan memandang dirinya dengan penuh ketidakberdayaan. Penyandang disabilitas fisik yang kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungannya juga akan memiliki performansi akan suatu penyelesaian masalah (coping performance) yang buruk. Hal ini membuat penyandang disabilitas mudah terkena efek stressor. Padahal coping performance yang buruk memiliki kaitan yang erat dengan perasaan ketidakberdayaan dan keduanya berkaitan dengan perasaan kecemasan.

Mikulincer (1994) menggambarkan kecemasan sebagai ekspresi emosional dari perasaan ketidakberdayaan yang dirasakan dua kali lipat, yakni dari perasaan ketidakberdayaan untuk mengubah lingkungan yang mengancam dan ketidakberdayaan untuk menampung perasaan terancam


(1)

SS33 127.19 308.238 .564 . .947 SS34 127.15 306.950 .694 . .947 SS35 127.22 310.994 .503 . .948 SS36 126.85 311.416 .521 . .948 SS37 127.31 305.231 .628 . .947 SS39 126.92 316.459 .345 . .949 SS40 126.92 311.637 .417 . .949 SS41 126.99 311.931 .533 . .948 SS42 127.01 306.123 .678 . .947 SS43 127.03 311.561 .552 . .948 SS44 127.18 309.325 .569 . .947 SS45 127.14 307.242 .655 . .947 SS46 127.09 304.005 .719 . .946 SS48 126.89 319.687 .251 . .949 SS49 127.03 306.520 .687 . .947 SS52 127.27 307.077 .644 . .947 SS54 127.22 315.405 .405 . .948 SS55 127.23 311.029 .554 . .948 SS56 127.18 312.065 .433 . .948 SS57 127.00 312.959 .480 . .948 SS58 127.08 314.514 .410 . .948

5.

Reliabilitas Skala Kecemasan akan Kesempatan Kerja Sebelum

Seleksi Aitem

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items .842 .835 24


(2)

Item-Total Statistics

Scale Mean if

Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted K1 50.85 70.402 -.040 .707 .850 K2 50.23 63.851 .477 .665 .833 K3 50.26 62.193 .541 .706 .829 K4 50.38 63.417 .524 .667 .831 K5 50.14 62.338 .550 .779 .829 K6 50.35 63.984 .481 .572 .832 K7 50.55 66.278 .277 .552 .840 K8 50.57 64.523 .428 .425 .834 K9 50.55 67.127 .312 .638 .839 K10 49.73 65.981 .290 .433 .840 K11 50.15 63.882 .537 .623 .831 K12 50.64 68.290 .189 .568 .842 K13 50.62 67.690 .247 .491 .840 K14 50.55 67.045 .248 .610 .841 K15 50.23 63.522 .467 .615 .833 K16 50.43 67.810 .144 .350 .846 K17 50.23 62.864 .546 .698 .830 K18 49.93 60.228 .681 .661 .823 K19 50.43 66.139 .308 .615 .839 K20 50.59 67.669 .205 .611 .842 K21 50.42 66.685 .277 .567 .840 K22 50.28 62.946 .618 .619 .828 K23 50.23 62.673 .511 .592 .831 K24 50.39 64.598 .404 .552 .835


(3)

6.

Reliabilitas Skala Kecemasan akan Kesempatan Kerja Setelah Seleksi

Aitem

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized

Items N of Items .869 .866 15

Item-Total Statistics

Scale Mean if

Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted K2 31.64 42.399 .540 .574 .859 K3 31.66 40.939 .608 .636 .856 K4 31.78 42.610 .529 .422 .860 K5 31.54 41.019 .624 .709 .855 K6 31.76 42.214 .577 .509 .858 K8 31.97 43.013 .484 .395 .862 K9 31.96 46.039 .271 .479 .870 K11 31.55 43.237 .516 .463 .861 K15 31.64 42.016 .537 .491 .859 K17 31.64 41.523 .617 .610 .855 K18 31.34 39.898 .696 .577 .850 K19 31.84 45.919 .201 .482 .875 K22 31.69 42.519 .591 .542 .857 K23 31.64 42.345 .481 .518 .862 K24 31.80 43.698 .395 .417 .866


(4)

Lampiran 3. Hasil Analisis Tambahan

1.

Hasil Uji Heteroskedastisistas untuk Regresi

2.

Hasil Regresi

Variables Entered/Removedb

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 Skor Total

Social Support Fix, Skor Total Self Esteem Fixa

. Enter

a. All requested variables entered.

b. Dependent Variable: Skor Total Kecemasan Fix

Model Summaryb

Mod el R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

Durbin-Watson R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F Change

1 .722a .521 .508 4.88517 .521 38.644 2 71 .000 2.210 a. Predictors: (Constant), Skor Total Social Support Fix, Skor Total Self Esteem Fix


(5)

ANOVAb

Model

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. 1 Regression 1844.474 2 922.237 38.644 .000a

Residual 1694.405 71 23.865 Total 3538.878 73

a. Predictors: (Constant), Skor Total Social Support Fix, Skor Total Self Esteem Fix

b. Dependent Variable: Skor Total Kecemasan Fix

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standar dized Coefficients

t Sig.

Correlations

Collinearity Statistics

B

Std.

Error Beta

Zero-order Partial Part Toler

ance VIF 1 (Constant) 73.884 4.939 14.960 .000

Skor Total Self Esteem Fix

-.111 .069 -.221 -1.609 .112 -.648 -.188 -.132 .357 2.799

Skor Total Social Support Fix

-.206 .053 -.533 -3.877 .000 -.710 -.418 -.318 .357 2.799

a. Dependent Variable: Skor Total Kecemasan Fix

3.

Hasil Uji Kruskal Wallis Variabel Tempat Tinggal dan Dukungan

Sosial

Ranks

TempatTinggal N Mean Rank Skor Total Social Support

Fix

Asrama 43 33.49 Rumah pribadi atau dengan

keluarga 30 43.22 Lain - lain 1 38.50


(6)

Test Statisticsa,b

Skor Total Social Support

Fix Chi-Square 3.622

df 2

Asymp. Sig. .164 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: TempatTinggal

4.

Hasil Uji Kruskal Wallis Variabel Jenis Kelamin dan Kecemasan

Kesempatan Kerja

Ranks

JenisKelamin N Mean Rank Skor Total Kecemasan Fix Laki - laki 40 35.11

Perempuan 33 39.48 tidak teridentiikasi 1 67.50 Total 74

Test Statisticsa,b

Skor Total Kecemasan Fix Chi-Square 2.730

df 2

Asymp. Sig. .255 a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: JenisKelamin