Pengertian Catur Asrama Kelas 10 SMA Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Siswa

147 Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti | Dalam fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga, ataupun keempat. Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan mudah tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mengalami hal yang sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing- masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.

B. Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

Renungan “Pelaksanaan Brahmacari Membawa Akibat Bagi Leluhurnya” Tersebutlah seorang Brahmana yang bernama Sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru, sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para Dewa dan juga untuk dihidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan. Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan £renggi supaya digigit naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat, termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sedang terhukum tergantung pada pohon bambu besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bambu tersebut. Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum. Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh terhukum tersebut. Didekatilah roh itu dan ditanya satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan suatu alasan penyebabnya, seperti mencuri, irihati memfitnah, berzina dan lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula 148 | Kelas X SMASMK mendapatkan hukuman seperti itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakan keadaan saya semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan tergantung di bambu besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil. Itulah sebabnya saya ada di buluh ini, karena berata semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas kasihan. Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linanglah air matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata: “saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga, janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”. Saya akan mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi. Demikian kata Sang Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara. Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga, dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular. Terjadilah perkawinan kedua mempelai Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil.