Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali dijadikan indikator tercapainya pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di Negara – negara Asia Timur pada tahun 2008 mengalami perlambatan sebesar -15,7 persen. Filipina sebagai salah satu negara yang memiliki perlambatan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar 19,1 persen. Perlambatan yang dialami Indonesia lebih baik daripada Malaysia. Malaysia pada tahun 2008 mengalami perlambatan sebesar 12,7 persen. Sedangkan, Indonesia hanya mengalami perlambatan sebesar 4,8 persen. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia Timur. Namun, pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya harus dinikmati penduduk secaranya merata. TABEL 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara – Negara Berkembang di Asia Timur Tahun 2006 – 2008 Kelompok Negara 2006 2007 2008 Perubahan 20072008 Negara Berkembang Asia Timur 9,8 10,2 8,6 -15,7 Indonesia 5,5 6,3 6,0 -4,8 Malaysia 5,9 6,3 5,5 -12,7 Filipina 5,4 7,3 5,9 -19,1 Thailand 5,1 4,8 5,0 -4,2 Vietnam 8,2 8,5 8,0 -5,9 Korea 5,0 4,9 4,6 -6,1 Cina 11,1 11,4 9,4 -17,5 Sumber: World Bank, “East Asia: Testing Times Ahead, April, 2008” . commit to user 2 Pada hakikatnya, pembangunan ekonomi merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan ekonomi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Perubahan ekonomi yang dimaksud tidak hanya meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga distribusi pendapatan yang merata. Hal ini dikarenakan tidak meratanya distribusi pendapatan merupakan salah satu masalah dalam pembangunan ekonomi Purwanto, 2009. Ketimpangan ekonomi telah menjadi fenomena wajar yang terjadi di negara miskin dan berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang, ketimpangan tidak hanya tampak di antar pulau, tetapi juga antar provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Ketimpangan ini dikenal sebagai ketimpangan pembangunan ekonomi regional. Penyebab utamanya karena kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang berbeda di tiap wilayah. Selain itu, arus modal yang diterima tiap daerah cenderung lebih terkonsentrasi pada daerah dengan sumberdaya alam yang lebih kaya, sumberdaya manusia yang lebih maju, dan kota – kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda Sjafrizal dalam Priyanto, 2009. Ketimpangan ekonomi di Indonesia yang diukur dengan menggunakan indeks Williamson pada tahun 2002 hingga 2007 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2003, tingkat ketimpangan di Indonesia sebesar 0,691. Pada tahun 2004, tingkat ketimpangan sebesar 0,677, 0,613 pada tahun 2005. Tingkat ketimpangan menurun sebesar 0,587 pada tahun 2006 dan 0,558 pada tahun 2007. Walaupun terus mengalami penurunan, tingkat ketimpangan di Indonesia masih melebihi 0,5, yang berarti bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia masih tinggi. commit to user 3 Pulau Jawa tidak termasuk DKI Jakarta merupakan pulau yang memiliki tingkat ketimpangan paling rendah daripada pulau – pulai lainnya, yaitu sebesar 0,70 pada tahun 2007. Tingkat ketimpangan tertinggi pada tahun 2003 sampai dengan 2007 adalah Pulau Sumatra, sebesar 0,912 pada tahun 2007. Kemudian disusul oleh Pulau Kalimantan, Pulau Maluku dan Papua, Pulau Bali, NTT dan NTB, dan Pulau Sulawesi, dengan tingkat ketimpangan pada tahun 2007 masing – masing sebesar 0,912; 0,823; 0,516; 0,420; dan 0,191. Tabel di bawah ini akan semakin memperjelas tingkat ketimpangan antar pulau di Indonesia. Tabel 1.2 Indeks Williamson untuk PDRB di Indonesia Tahun 2003 – 2007 2003 2004 2005 2006 2007 Indonesia 0,691 0,677 0,613 0,589 0,561 Sumatera 0,931 0,932 0,914 0,914 0,912 Jawa 0,168 0,171 0,175 0,169 0,170 Kalimantan 0,919 0,899 0,886 0,856 0,823 Sulawesi 0,183 0,178 0,204 0,193 0,191 Maluku dan Papua 0,623 0,625 0,611 0,568 0,516 Bali, NTB dan NTT 0,381 0,380 0,395 0,416 0,420 Sumber: Nota Keuangan Pemerintah Tahun 2009 Perbandingan PDRB yang didapat dan sebaran penduduk menjadi salah satu penyebab ketimpangan antar pulau di Indonesia. Hal itu disebabkan karena perkembangan penduduk Pulau Jawa baik yang menyangkut kuantitas maupun kualitas merupakan faktor utama dari eksistensi kota itu sendiri. Komponen demografis seperti kelahiran, kematian, dan migrasi penduduk akan mempengaruhi pertumbuhan daerah. Sementara itu, struktur penduduk Pulau Jawa yang meliputi umur dan jenis kelamin, jumlah dan kepadatan penduduk, tingkat pendidikan serta struktur ekonomi pekerjaan dan pendapatan berperan dalam terciptanya dinamika pertumbuhan daerah Rahayu, 2007. commit to user 4 TABEL 1.3 PERTUMBUHAN EKONOMI PER PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007 DAN 2008 PROVINSI TAHUN 2007 2008 INDONESIA 6,3 6,1 Nanggro Aceh Darusalam -4,6 -5,8 Sumatera Utara 7,3 7,0 Sumatera Barat 6,7 6,3 Riau 4,5 16,3 Kepulauan Riau 8,5 3,0 Jambi 6,2 8,8 Sumatera Selatan 7,0 4,0 Kep. Bangka Belitung 6,5 -1,2 Bengkulu 6,5 4,9 Lampung 6,3 4,0 DKI Jakarta 6,7 6,2 Jawa Barat 7,5 4,5 Banten 6,3 5,0 Jawa Tengah 6,1 4,1 DIY 7,2 5,1 Jawa Timur 6,3 6,0 Bali -2,0 18,3 NTB 6,3 46 NTT 4,5 30 Kalimatan Barat 7,3 61 Kalimantan Tengah 7,1 61 Kalimantan Selatan 5,0 30 Kalimatan Timur 4,5 20 Sulawesi Selatan 11,2 41 Gorontalo 7,3 78 Sulawesi Utara 7,3 65 Sulawesi Barat 7,6 61 Sulawesi Tengah 4,6 90 Sulawesi Tenggara 8,5 65 Maluku 4,5 42 Maluku Utara 6,0 41 Papua Barat 8,0 72 Papua -27,0 36,2 Sumber: Nota Keuangan Pemerintah Tahun 2010 Pertumbuhan Indonesia per provinsi pada tahun 2007 dan 2008 cukup baik. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi per provinsi di Indonesia, hanya beberapa daerah yang mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya, commit to user 5 yaitu Papua, NAD dan Bali. Namun, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi provinsi Papua dan Bali mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan dapat melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6,1 persen pada tahun 2008. Sedangkan provinsi NAD masih mengalami perlambatan, walaupun perlambatan tersebut mengalami penurunan menjadi sebesar -0,6. Pertumbuhan ekonomi per provinsi pada tahun 2007 sebesar 6,3 persen. Terdapat beberapa provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan Nasional, yaitu NTB, Jatim, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Gorontalo, Kalimantan Barat, Jawa barat, Sulawesi Utara, Kep. Riau, dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2007, yaitu sebesar 11,2 persen. Hal ini semakin diperjelah pada gambar 1,1, pertumbuhan ekonomi per provinsi di Indonesia pada tahun 2007 dan 2008. Walaupun otonomi daerah telah diberlakukan, upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan pemisahan Adisasmita, 2011. Apabila negara mengalami krisis, daerah juga akan mengalami krisis, dan sebaliknya. Otonomi daerah yang pada hakikatnya adalah penyerahan wewenang segala urusan pemerintahan ke kabupaten, pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lebih lancar, lebih mudah, dan lebih cepat menuntut pemerintah daerah untuk dapat menyiapkan daerahnya sedemikian rupa sehingga mampu menarik investasi, orang, dan industri ke daerahnya. Selain itu, pengembangan sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik sehingga commit to user 6 pembangunan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan ekonomi di daerahnya dapat terwujud. Adapun kekhawatiran bahwa otonomi daerah akan meningkatkan ketimpangan ekonomi antara daerah yang kaya SDA dengan yang miskin, kiranya akan terkompensasi dengan kualitas SDM dan SDE Mubyarto, 2001. Pengalokasikan sejumlah besar dana danatau sumber-sumber daya ekonomi dari pemerintah pusat kepada daerah untuk dikelola menurut kepentingan dan kebutuhan daerah itu sendiri. Salah satunya Dana Alokasi Umum yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketidakadilan perimbangan pendapatan daerah atas eksplorasi sumber daya alam juga masih terjadi di beberapa wilayah, khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi produsen migas di Indonesia seperti Riau dan Kalimantan Timur. Porsi kecil yang diterima daerah tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di daerah- daerah tersebut, karena sebagian besar hasil eksplorasi SDA lebih banyak dialokasikan di pusat dibanding di daerah. Kondisi akan semakin buruk lagi, apabila daerah-daerah tersebut menghadapi penghapusan DAU karena peringkat ‘kaya’ dari pemerintah pusat hanyalah sebatas peringkat, sebab daerah-daerah tersebut tidak merasakan secara signifikan hasil SDA-nya sendiri dan pemerintah dianggap menjadi predatory state yang mengeksploitasi daerah secara besar- besaran tanpa menyelaraskan dengan peningkatan pembangunan prasarana ekonomi terlebih lagi dengan penghapusan DAU terhadap daerah-daerah tersebut. Selain itu, berbedanya alokasi belanja modal dan pengeluaran tiap daerah juga menyebabkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Indonesia. commit to user 7 Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dan campur tangan pemerintah pusat, terhadap hubungan antara keuangan pusat dengan keuangan daerah. Dalam penelitian ini, membahas mengenai pengaruh proporsi pengalokasian DAU provinsi, belanja modal provinsi dan pengeluaran provinsi terhadap ketimpangan di Indonesia. Sehingga pembangunan ekonomi yang juga bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan distribusi pendapatan yang merata dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti memilih topik: “Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Provinsi di Indonesia Tahun 2006 – 2009”.

B. Perumusan Masalah