Nikah yang Dapat diIsbatkan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat ini merupakan suatu upaya yang diatur
melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian Misaq Al-ghalidz perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam
kehidupan rumah tangga.
10
Pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif. Maksudnya adalah perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan
ditentukan oleh
norma-norma agama
dari pihak-pihak
yang melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Akibatnya adalah, apabila salah satu pihak dari suami istri lalai terhadap kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan
upaya hukum karena tidak memiliki bukti autentik dari perkawinan yang dilangsungkan.
11
Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama islam, pasal 8 Undang-undang
Nomor 23
Tahun 2006
tentang Administrasi
Kependudukan menentukan, bahwa kewajiban instansi pelaksana untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi penduduk yang beragama
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000 Cet. Ke- 4, hal. 107
11
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal. 110
Islam pada tingkat kecamatan dilakukan oleh pegawai pencatat pada KUA Kecamatan.
12
Masalah pentingnya pencatatan ini masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman fikih sentris yang dalam kitab-kitab fikih
tidak pernah dibicarakan, namun sejalan dengan situasi dan kondisi perlu diperhatikan seperti dalam ayat mudayannah al-baqarah ayat 282, yang
mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga
kepastian hukum.
Bahkan redaksinya
dengan tegas
menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun.
13
Sebagaimana yang dikutip berikut:
12
Neng Djubaidah, Pencatatan PerkawinanPerkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta:Sinar Grafika, 2012 Cet. Ke-2, hal. 225
13
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal. 118
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian, Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu al-baqarah: 282.
” Dalam Hadist Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Shahih Bukhari yang
berbunyi:
ا ج زت يفص ق عأ ع ص ها ل سر أ س أ ع را ب ا رسيحب ا ي ع ل أ ,ا قدص ا قتع لعج
14
Artinya: “Dari Anas ra, Rasulullah Saw memerdekakan shafiyah dan
mengawininya dan menjadikan kemerdekaannya itu sebagai emas kawinnya. Rasul mengadakan pesta perkawinan dengan menghidangkan hais, sebangsa
masakan. ” HR. Bukhari
14
Shahih Bukhari, Terjemahan Hadis Shahih Bukhari Jilid IV No. 1601, Penerjemah Zainuddin Hamidy, Fachruddi, dkk, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1992 Cet. Ke- 13 Hal. 14