Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
di antaramu. jika tak ada dua oang lelaki, Maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalahmu itu, kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan yang demikian, Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu al-baqarah: 282.
” Dalam Hadist Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Shahih Bukhari yang
berbunyi:
ا ج زت يفص ق عأ ع ص ها ل سر أ س أ ع را ب ا رسيحب ا ي ع ل أ ,ا قدص ا قتع لعج
14
Artinya: “Dari Anas ra, Rasulullah Saw memerdekakan shafiyah dan
mengawininya dan menjadikan kemerdekaannya itu sebagai emas kawinnya. Rasul mengadakan pesta perkawinan dengan menghidangkan hais, sebangsa
masakan. ” HR. Bukhari
14
Shahih Bukhari, Terjemahan Hadis Shahih Bukhari Jilid IV No. 1601, Penerjemah Zainuddin Hamidy, Fachruddi, dkk, Jakarta: Widjaya Jakarta, 1992 Cet. Ke- 13 Hal. 14
Tidak ada sumber-sumber fikih yang menyebutkan mengapa dalam hal ini pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak
dianalogikan kepada ayat muammalah tersebut. Dalam kaidah hukum islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas
mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga.
15
Sejalan dengan prinsip: ْلا أْرد
حلاصمْلا بْج ى ع ٌَدقم دسافم
16
“Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan.”
ح ْصمْلاب ٌطْ م َيعَّلا ى ع امأا فّصت
17
“suatu tindakan peraturan pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”
Praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah, meminjam istilah teknis dalam epistimologi
hukum islam, adalah metode mashlahatul mursalah. Hal ini karena secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan, kandungan
maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Atau dengan memperhatikan ayat yang dikutip
15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal. 118
16
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah, 2009, Cet.ke-1, hal. 21
17
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah, Penerjemah Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah, 2009, Cet.ke-1, hal. 21
diatas, dapat diqiyaskan, karena ada kesamaan illat, yaitu dampak negatif yang ditimbulkan.
Dengan analisis tersebut diatas, dapat ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksakan oleh semua
pihak. Karena ia mamiliki landasan metodelogis yang cukup kokoh, yaitu qiyas atau maslahah mursalah yang menurut al-
Syatibi merupakan dalil qat’i yang dibangun atas dasar kajian indukt
if istiqra’i.
18
Menurut PP No. 9 Tahun 1975 pasal 3 tentang prosedur pencatatan nikah: 1
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di
tempat perkawinan berlangsung. 2
Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang- kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. 3
Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama
Bupati Kepala Daerah. Setelah prosedur tersebut dilaksanakan barulah proses terakhir yakni akad
nikah dan pencatatan nikah oleh pegawai pencatat nikah.
19
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal.121
19
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011, Cet. Ke- 1, hal. 20
Kemudian mengenai biaya pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan PP No. 48 Tahun 2014 jo PP No. 47 Tahun 2004 tentang biaya nikah dan rujuk di
Kantor Urusan Agama KUA pasal 6 menyebutkan, “bahwa biaya nikah dan rujuk yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama KUA tidak dikenakan biaya,
akan tetapi jika dilaksanakan diluar KUA maka dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp. 600.000,-
2. Akta Nikah
Akta nikah adalah sebuah daftar besar yang memuat identitas kedua mempelai, orang tuawalinya atau juga wakilnya. Juga memuat surat-surat yang
diperlukan.
20
Akta nikah merupakan bukti autentik dari suatu pelaksanaan perkawinan sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah satu antara suami atau
istri melakukan suatu tindakan menyimpang, maka salah satu dari suami atau istri tersebut dapat mengadukannya dan mengajukan gugatan perkaranya ke
Pengadilan. Selain itu fungsi akta nikah juga untuk membuktikan keabsahan anak dari hasil perkawinan. Sehingga tanpa adanya akta nikah, upaya hokum ke
Pengadilan tidak dapat dilakukan.
21
20
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006 Cet. Ke-2 hal. 16
21
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal.29
Dalam pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 , akta nikah memuat sepuluh langkah yang harus
dipenuhi yakni sebagai berikut:
22
a. Nama, tanggal, tempat lahir, agamakepercayaan, pekerjaan
dan tempat kediaman suami istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami
terdahulu. b.
Nama, agamakepercayaan, dan tempat kediaman orang tua mereka.
c. Izin kawin sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 2,
3, 4 dan 5 Undang-undang Perkawinan. d.
Dispensasi sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 7 ayat 2 Undang-undang perkawinan.
e. Izin pengadilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4
undang-undang perkawinan. f.
Persetujuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat1 undang-undang perkawinan.
g. Izin pejabat yang ditunjuk oleh MenhankamPangab bagi
angkatan bersenjata. h.
Perjanjian perkawinan, bila ada. i.
Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama islam.
22
http hukum online.compp9-1975pdf, diakses pada senin 2 Februari Pukul 17.00 WIB
j. Nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, dan tempat
kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Setelah akad nikah kedua mempelai menandatangani akta nikah dan salinannya yang telah disiapkan pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku diikuti oleh tanda tangan dari kedua saksi, wali atau yang mewakilinya serta pegawai pencatat nikah. Dengan penanda tanganan akta nikah berikut
salinannya maka perkawinan telah tercantum serta resmi dan mempunyai kekuatan hukum.
23