sengketa pernikahan umat islam yang belum tercatatkan, sebagaimana telah tercantum dalam KHI pasal 7 ayat 3. Sedangkan bagi pasangan suami-istri yang
non islam, pedoman semacam isbat nikah tidak ada dan tidak diatur. Mereka justru diminta untuk melakukan pernikahan ulang yang kemudian disertai dengan
mencatatkannya dihadapan pejabat yang berwenang yakni kantor catatan sipil. Permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama karena suatu
perkawinan tidak mempunyai akta nikah dan tidak dapat dibuktikan karena adanya suatu sebab.
6
Menurut pasal 7 ayat 2 KHI berbunyi, “Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
”
B. Nikah yang Dapat diIsbatkan
Dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 64 disebutkan bahwa, untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
7
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa isbat nikah hanya dibatasi untuk perkawinan sebelum
lahirnya undang-undang tersebut dan sebelum tahun 1974. Kemudian peraturan tersebut di perjelas dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 3 yang berbunyi:
“Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
6
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 29
7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yogyakarta: Liberty, 1986, cet. Ke-2, hal. 156
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.
Maksudnya adalah jika seorang pasangan suami-istri yang sebelumnya menikah dibawah tangan dan tidak mencatatkannya di Pegawai
Pencatat Nikah atau Kantor Urusan Agama, kemudian ia bermaksud ingin mengajukan cerai maka sebelumnya ia harus mengajukan
permohonan isbat nikah yang dapat dilakukan secara bersamaan dengan gugatan atau permohonan cerai.
b. Hilangnya akta nikah. Apabila suatu perkawinan yang sah menurut
agama dan dicatatkan menurut undang-undang, kemudian bukti tersebut hilang, maka pasangan yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama dengan membawa bukti lapor kehilangan akta nikah dari petugas yang berwenang polisi
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang tercantum dalam KHI pasal 14 menyebutkan, adanya calon istri, calon suami, wali nikah, dua
orang saksi, ijab dan kabul. Jika tedapat keraguan dari salah satu syarat tersebut, maka dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maksudnya adalah pasangan suami istri yang menikah sebelum lahirnya Undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan sedangkan perkawinannya tidak tercatat, maka dapat mengajukan isbat nikah agar perkawinan tersebut
berkekuatan hukum tetap.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maksudnya adalah permohonan isbat nikah dapat
dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak mempunyai halangan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 39, 40, 41, 43 KHI dan
dalam aturan undang-undang No1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 8,9,10.
Permohonan isbat nikah diatas, menurut pasal 7 ayat 4 KHI menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri,
anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan.
8
C. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah
1. Pencatatan Perkawinan
Al- qur’an dan Al-hadist tidak mengatur secara rinci mengenai
pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan tuntutan perkembangan zaman dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan Hukum Islam
Indonesia mengaturnya melalui perundang-undangan baik undang-undang No. 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam KHI.
9
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 26
9
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 26