Pengertian Isbat Nikah ISBAT NIKAH

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maksudnya adalah permohonan isbat nikah dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak mempunyai halangan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 39, 40, 41, 43 KHI dan dalam aturan undang-undang No1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 8,9,10. Permohonan isbat nikah diatas, menurut pasal 7 ayat 4 KHI menyatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan. 8

C. Pencatatan Perkawinan dan Akta Nikah

1. Pencatatan Perkawinan Al- qur’an dan Al-hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan tuntutan perkembangan zaman dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan Hukum Islam Indonesia mengaturnya melalui perundang-undangan baik undang-undang No. 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam KHI. 9 8 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 26 9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 26 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian Misaq Al-ghalidz perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. 10 Pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif. Maksudnya adalah perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan ketentuan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibatnya adalah, apabila salah satu pihak dari suami istri lalai terhadap kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak memiliki bukti autentik dari perkawinan yang dilangsungkan. 11 Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama islam, pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menentukan, bahwa kewajiban instansi pelaksana untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk bagi penduduk yang beragama 10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000 Cet. Ke- 4, hal. 107 11 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal. 110