Hubungan Isbat Nikah Dengan Pencatatan Dan Akibat Hukumnya
1 Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 enam puluh
hari sejak tanggal perkawinan. 2
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pejabat pencatat sipil mencatat pada register akta perkawinan
dan menerbitkan kutipan akta perkawinan. 3
Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 masing-masing diberikan kepada suami istri.
4 Pelaporan sebagaimana ayat 1 bagi penduduk yang beragama
islam dilakukan oleh KUA Kecamatan. 5
Data hasil pencatatan peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan dalam pasala 8 ayat 2 wajib disampaikan oleh
KUA Kecamatan kepada instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 sepuluh hari setelah pencatatan perkawinan
dilaksanakan. 6
Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak memerlukan penerbitan kutipan akta pencatatan sipil.
7 Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilakukan pada UPTD Instansi pelaksana. Menurut pendapat Asrorun Ni’am Sholeh, selaku wakil Sekertaris Komisi
Fatwa MUI, bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan
dianggap tidak sah di mata hukum.
29
Hal ini dapat diartikan, bahwasanya perkawinan yang tidak tercatat memiliki dampak negatif bagi istri dan perempuan
baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, tidak diakuinya hak-hak keperdataan yang timbul dari hasil perkawinan tersebut, tidak dianggap sebagai
istri sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia. Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum,
perkawinan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, status anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak tercatat di mata hukum dianggap sebagai anak
tidak sah, konsekuensinya anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja, selain itu dalam akta kelahiran status anak dianggap
sebagai anak diluar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Menurut Ahmad Rofiq, pencatatan perkawinan memiliki dua manfaat, yakni: manfaat preventif dan manfaat represif. Pencatatan perkawinan memiliki
manfaat preventif, yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama
maupun menurut perundang-undangan. Sedangkan manfaat represifnya adalah, hal yang berkaitan dengan perkawinan yang tidak memiliki akta nikah karena
sesuatu sebab dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama.
30
29
Pendapat Asrorun Ni’am yang dikutip oleh Neng Djubaidah, Pencatatan PerkawinanPerkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam,
Jakarta:Sinar Grafika, 2012 hal. 257
30
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, hal. 111- 117
Dari pembahasan diatas penulis menyimpulkan bahwa isbat nikah adalah upaya yang diberikan pemerintah untuk mengayomi masyarakat sebagai solusi
dari perkawinan yang belumtidak tercatat agar dapat dicatatkan dan memiliki suatu penetapan hukum, dan hasil dari isbat tersebut yaitu adanya suatu penetapan
dari pengadilan untuk mendapatkan akta nikah sehingga perkawinan yang sebelumnya tidak memiliki kekuatan dihadapan hukum akhirnya berkekuatan
hukum tetap.
30