Imbas Perjanjian Hudaibiyah Latar Belakang dan Motif Rasulullah Menulis Surat

1. Imbas Perjanjian Hudaibiyah

Pada periode awal dalam perjuangan menyiarkan Islam di Mekkah, situasi yang dialami Rasulullah dan umat Islam begitu berat. Rasulullah dan kaum muslimin lainnya saat itu mendapati kenyataan bahwa jumlah mereka masih sedikit selain juga harus menanggung berbagai tekanan, penyiksaan, pemboikotan, bahkan ancaman pembunuhan dari kafir Quraish. Pihak Kafir Quraish di Mekkah berusaha keras menghalangi perkembangan ajaran Islam dan untuk itu mereka melakukan apa saja guna menghambat berkembangnya ajaran Islam di Mekkah dan Semananjung Arabia pada umumnya. Meskipun masyarakat Mekkah sebelumnya telah menjuluki Rasulullah dengan sebutan “Al-Amin” sosok yang dipercaya, namun untuk masalah penyebaran Islam ini, sebagian besar penduduk kota itu tidak mau mempercayai terhadap semua yang diserukan Rasulullah. Alih- alih sekedar percaya dan mengimani, jika tidak mendapat perlindungan dari keluarga besarnya, sahabat serta pengikutnya, bisa jadi Rasulullah akan dibunuh oleh mereka. Periode Mekkah ini memang menjadi fase pertama sekaligus paling berat dalam sejarah siar Islam di Jazirah Arab. Keadaan seperti ini berlangsung kurang lebih selama 13 tahun, di mana fase ini disebut sebagai “Periode Makkiyah.” Dengan semakin kerasnya tekanan dari kafir Quraish maka terpikir oleh Rasulullah untuk memindahkan pusat siar Islam ini keluar dari Mekkah. Rasulullah pernah mencoba ke tempat lain misalnya ke Thaif namun kenyataannya sambutan yang ditunjukkan oleh masyarakatnya kurang lebih sama dengan di Mekkah. Bahkan di kota ini Rasulullah pernah mengalami penghinaan yang luar biasa di mana beliau dilempari kotoran saat hendak melakukan siar Islam di tempat ini. Kota Yatsrib akhirnya dipilih sebagai tempat dan pusat siar Islam dengan alasan adanya tawaran dan permintaan dari orang Yastrib yang telah masuk Islam. Rasulullah pun kemudian memindahkan pusat siar Islamnya ke tempat ini. 66 Pemindahan itu berlangsung bertahap, dan pada tahun 622 Masehi, Rasulullah pun menuju ke Yastrib. Bagi Rasulullah, kota ini dinilai lebih kondusif dalam mendukung upaya siar Islam untuk waktu-waktu mendatang. Peristiwa perpindahan ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai “Peristiwa Hijrah” yang sekaligus menandai penanggalan dan tahun pertama dalam Tarikh Islam. Begitu tiba di Yatsrib, Rasulullah menjadikan tempat ini sebagai pusat penyiaran Islam dan dengan kesepakatan penduduk kota, Rasulullah merubah nama Yatsrib menjadi Madinah Al Munawwarah . Dalam waktu yang singkat, kota Madinah ini menjadi basis kekuatan dan penyiaran Islam. 66 Pengalihan dari Mekkah ke Yastrib ini bermula dari datangnya tawaran orang-orang Yastrib yang melakukan Haji di Ka’bah Mekkah. Mereka tertarik dengan ajaran Islam dan mengakui Rasulullah sebagai pemimpin dengan menawarkan agar Rasulullah sudi pindah ke Madinah demi tujuan untuk melanjutkan siar Islam. Tawaran ini disepakati Rasulullah sebagaimana kemudian tertuang dalam Perjanjian Aqobah. Dalam Perjanjian ini pihak Yastrib mewakilkan 12 orang dengan sepuluh diantaranya berasal dari suku Khajraz dan Auz. Satu tahun kemudian dalam musim Haji, pihak Yastrib datang lagi kepada Rasulullah dalam jumlah lebih banyak lagi, yakni 88 orang dengan penawaran sebagaimana yang pernah diajukan dalam pertemuan tahun sebelumnya. Melihat kesungguhan mereka, Rasulullah kemudian memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Yastrib. Lihat Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad Saw Bandung: Marja, 2005, h. 164-171. Meskipun Rasulullah dan umat Islam telah meninggalkan Mekkah, pihak Quraish Mekkah tetap tidak tinggal diam dengan terus mengganggu umat Islam di Madinah. Dalam beberapa kali mereka melakukan penyerangan sehingga beberapa kali pula meletus pertempuran antara kedua belah pihak. Beberapa perang yang pernah terjadi itu adalah Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan perang-perang dalam skala kecil lainnya. Dalam setiap peperangan itu, kekuatan dan jumlah pasukan kafir Quraish selalu lebih besar. Namun begitu dengan segenap kelebihannya itu tidak lantas menjadikan pihak kafir Quraish tampil sebagai pemenangnya, bahkan bisa dikatakan kegagalan malah yang sering mereka alami. Secara umum mereka telah gagal dalam mewujudkan ambisi utamanya yaitu menghancurkan kekuatan Islam di Madinah dan sekaligus membunuh Rasulullah. Setelah upaya kekerasan dan peperangan tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, pihak Kafir Quraish mencoba menggunakan jalan lain. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengajak Rasulullah untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan diharapkan ada beberapa hal yang akan disepakati dan menjadi pegangan dari kedua pihak. Rencananya, pihak Mekkah akan menggunakan media perundingan ini untuk memaksakan beberapa klausul yang menurut mereka dapat merugikan pihak Islam Madinah. Nampaknya kafir Quraish telah menyadari, bahwa ambisi untuk mengalahkan kaum Muslimin apalagi membunuh Rasulullah adalah hal yang tidak mungkin lagi dan upaya yang paling memungkinkan adalah dengan menempuh satu cara dan muslihat. Pada tahun ke-6 Hijriyah bertepatan dengan tahun 628 M disepakati sebuah perjanjian yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Hudaibiyah . Nama ini berasal dari suatu tempat yang berada di perbatasan kota Mekkah. 67 Setelah melalui proses yang cukup alot, kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian Hudaibiyah itu berhasil disepakati kedua belah pihak. 68 Perjanjian Hudaibiyah memuat enam klausul dan terkesan bahwa pihak Islam dirugikan, sementara kafir Quraish merasa sangat diuntungkan dengan keseluruhan pasal yang tertuang dalam perjanjian ini. Pasal-pasal yang dinilai merugikan pihak Muslimin Madinah itu diantaranya menyatakan; …..“Kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata kecuali pedang yang bersangkur selama kunjungan berikutnya di Mekkah …” juga pasal yang menyatakan, …”Jika seseorang melintasi wilayah Muhammmad tanpa izin penjaganya, dia harus dikembalikan kepada orang-orang Quraish, tetapi jika pengikut Muhammad kembali kepada kafir Quraish maka dia tidak boleh dikembalikan. ” 69 Dengan disepakati perjanjian ini memang tidak lagi konflik terbuka antara kafir Quraish dengan Muslimin Madinah. Namun untuk masa-masa awal dari pemberlakuannya, imbas perjanjian ini sungguh luar biasa bagi umat Islam. Sebagian besar dari mereka menyatakan kekecewaannya dan 67 Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad Saw Bandung: Marja, 2005, h. 289 68 Jika melihat pada kronologinya, perjanjian ini berlangsung dalam situasi yang tidak terduga karena saat itu Rasulullah bersama 1500 pengikutnya berencana untuk berziarah ke Ka’bah dan sama sekali tidak membawa senjata karena mereka tidak berniat untuk berperang. Melihat rombongan kaum Muslimin Madinah ini maka jalanan ke arah Mekkah ditutup oleh pihak Quraish. Rasulullah dan pengikutnya kemudian memutuskan berkemah di sebuah tempat yang bernama Hudaibiyah itu. Selama proses penyusunan perjanjian yang berlangsung cukup alot ini, Quraish Mekkah selalu berkeras kepala untuk mendesakkan keinginan-keinginannya. Sebagai contoh mereka menolak tulisan Ali bin Abi Thalib yang bertindak sebagai sekretaris yang mengawali menuliskan pasal-pasal perjanjian dengan Kalimat Basmalah, demikian halnya pencantuman Muhammad Rasulullah juga ditolak dengan keras oleh salah satu delegasi Kafir Quraish yang bernama Suhayl ibnu Amir. 69 ibid., h. 289. tidak habis mengerti atas tindakan Rasulullah itu yang menyepakati perjanjian tersebut. Namun jika diteliti secara seksama, terlihat kecerdikan Rasulullah dalam menyikapi kesepakatan dengan pihak kafir Quraish Mekkah itu. Dalam perjanjian tersebut terdapat salah satu klausul yang menyatakan; …”Siapa saja yang ingin bergabung dengan Muhammad atau melakukan perjanjian dengannya, harus ada kebebasan untuk melakukannya.” Klausul inilah bagi Rasulullah keuntungan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan klausul-klausul lainnya yang terkesan menguntungkan pihak Quraish Mekkah. Dalam pandangan seorang pemikir Islam, A. Syalabi, pasal ini telah memberikan jaminan Rasulullah dan umat Islam atas adanya keleluasaan dalam menjalin hubungan dengan fihak atau kawasan di luar Jazirah Arab. Keleluasaan seperti ini dipastikan akan membuka peluang serta kesempatan guna menyiarkan Islam tidak hanya di Arab saja, namun juga untuk kawasan lain yang lebih luas. 70 Dan sesuai dengan butir pasal ini, pihak kafir Quraish tidak boleh campur tangan apalagi mengganggunya. 71 Dalam pemikiran Rasulullah, daripada sebagian besar potensi umat hanya dihabiskan untuk menghadapi kafir Quraish, maka lebih baik jika potensi dan waktu yang ada itu dimanfaatkan untuk memperkenalkan dan menyiarkan Islam ke luar Arab. Pemikiran ini sudah pasti di luar perkiraan 70 Ensiklopedi Islam Indonesia IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992, h. 328 71 A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam jilid II Jakarta: Pustaka Al Husna, 1990, h. 189. pihak lawan, bahkan para sahabat dan kaum Muslim lainnya juga belum menyadarinya akan potensi dan peluang yang demikian itu. Di kalangan para sahabat dan umat Islam lainnya, setelah mendapatkan penjelasan mengenai manfaat jangka panjang serta luasnya orientasi yang dituju, mereka pun baru mengerti juga mengakui betapa cerdiknya langkah yang diambil Rasulullah itu. Dari butir kesepakatan itulah maka Rasulullah kemudian terpikir untuk memperkenalkan Islam dan menyerukannya kepada beberapa pihak di luar Semenanjung Arabia, dalam hal ini para penguasa dan pemimpin dengan melalui media surat seruan. Pada sisi yang lain dari pengiriman surat ini, secara politis Rasulullah juga berkehendak untuk memperkenalkan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat Islam di Madinah. Pendapat seperti itu diungkapkan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam mencermati motif yang menjadi alasan Rasulullah dalam melakukan seruan mengajak para penguasa untuk mengimani ajaran Islam melalui media surat. Hossein Nasr juga sangat sepakat bahwa imbas dari Perjanjian Hudaibiyah-lah yang paling memungkin bagi Rasulullah untuk melakukan hal itu. 72 Dengan kata lain, langkah tersebut merupakan salah satu manuver dan langkah cerdik yang diambil Rasulullah untuk menciptakan peluang agar Islam bisa disiarkan pada kawasan yang lebih luas lagi.

2. Keberhasilan Membentuk Kekuatan di Madinah