Memberdayakan Masyarakat Madani Civil Society untuk Integritas

untuk memberikan penjelasan dan pelatihan tentang pemahaman dan perkembangan aturan-aturan untuk mencegah konflik kepentingan dan bagaimana praktiknya serta penerapannya di dalam lingkungan, baik itu dilingkungan pekerjaan, pemerintahan dan masyarakat umum. Dalam hal ini kita belajar dari model Komisi Pemberantasan Korupsi KPK di Hongkong, Independent Commission Against Corrupation ICAC. Kita mulai dengan program pelibatan masyarakat melalui jaringan cabang di daerah- daerah, mengajak masyarakat mendiskusikan masalah korupsi sebab, mekanisme, jaringan, akibat, korban, kerugian dalam pelatihan, seminar, workshop, dan kegiatan daerah lainnya. Target kita dalam jangka waktu satu tahun, lebih dari setengah juta warga negara menyadari pentingnya pemberantasan korupsi. Sehingga nantinya terbentuk berbagai jaringan yang mendasarkan ikatannya pada kepercayaan dan visi masyarakat yang bersih. Jaringan ini terdiri dari organisasi lokal, asosiasi profesionai, kelompok perdagangan, dan orang bisnis. Anggota jaringan tersebut menjadi sumber informasi bagi KPK. Ribuan anggotanya bersedia menjadi relawan bagi KPK, bahkan kelompok- kelompok profesionai ikut membentuk jaringan penecegahan korupsi. Di setiap daerah, jaringan dengan masyarakat ini diorganisir oleh komisi penasehat yang ditunjuk dari pemimpin kelompok oleh Ketua Pelaksana KPK. Komisi Independen juga dibentuk untuk mengawal dan mengawasi investigasi terhadap laporan-leporan korupsi. Setiap tahun ketiga komisi itu mengadakan konferensi pers dan menerbitkan laporan tahunan mereka yang bisa diakses dan diperiksa oleh publik. ” 42 Lebih lanjut Hajriyanto menyatakan: “Pengembangan budaya organisasi semacam itu juga bisa dibuat di setiap lembaga dengan melibatkan karyawan, wakil mereka, serta pihak-pihak yang terkait untuk ikut merevisi kebijakan menghadapi konflik kepentingan. Salah satu bentuk pelibatan ialah mengonsultasikan ke pihak-pihak tersebut, tindakan-tindakan peneegahan dari aspek praktisnya agar terbangun pemahaman bersama. Harus dibangun mekanisme untuk menopang para manajer dalam merevisi dan meningkatkan keterampilan mengidentifikasi serta mencari pemecahan konflik kepentingan dalam keseharian tugas mereka, Maka pelatihan etika secara berkala atau dalam setiap kenaikan jenjang merupakan kesempatan untuk menyosialisasikan budaya etika mencegah konflik kepentingan.” 43 Apa yang dikatakan oleh Hajriyanto ini sejalan dengan pandangan Haryatmoko, yaitu: “Pemberdayaan civil society dalam rangka menghadapi masalah konflik kepentingan harus ditularkan juga kepada pihak 42 Wawancara Pribadi dengan Hajriyanto Yasin Thohari. 43 Wawancara Pribadi dengan Hajriyanto Yasin Thohari. lain perusahaan yang menjadi mitra kerja sama dan bila mereka tidak menaati bisa diberi sanksi pencabutan atau penundaan kontrak, dimasukkan dalam daftar hitam atau dipublikasikan sebagai yang melanggar etika publik, atau kalau perlu dibawa ke pengadilan kalau sudah dianggap membantu atau melakukan korupsi. Maka dalam proses penjajakan harus sudah diberitahukan ke perusahaan rekanan adanya bahaya konflik kepentingan yang bisa muncul sehingga mereka dapat menangani secara bersama dengan tegas. Perlu dijamin bahwa mitra kerja sama dan sektor bisnis mengetahui tuntutan dalam hal informasi konfidensial yang berasal dari dalam tidak untuk konsumsi publik dan harus dilindungi. Bilatidak, akan dituntut. Selain itu, semua langkah prosedur pengambilan keputusan harus boleh diaudit demi integritas publik dan legitimasi. ” 44 Berdasarkan analisis penulis, karena masyarakat yang secara langsung merasakan akibat dari pelayanan publik sering menghadapi kesulitan dalam pemberdayaan kolektif untuk menuntut akuntabilitas pejabat publik. Akuntabilitas akan semakin lemah bila temyata hukum yang berlaku tidak mendasarkan pada standar dan norma etika pelayanan publik, karena selain pejabat publik mengabaikan, mitra lain juga tidak peduli. 44 Haryatmoko, Etika Publik, h. 100-101. Oleh sebab itu upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat perlu di kembangkan. Salah satunya seperti strategi yang sudah di lekukan oleh Hajriyanto bersama anggota MPR lainnya. Karena dengan adanya partisipasi masyarakat luas dapat mendorong akuntabilitas pejabat publik.

3. Mengintegrasikan Nilai-Nilai Etika Ke Dalam Manajemen Organisasi

Keterampilan komunikasi pemimpin sangat menentukan dalam menciptakan hubungan antarpribadi yang produktif dan keikutsertaan dalam kerja sama untuk tujuan etis bersama, termasuk dalam meyakinkan perlunya perubahan. Dalam kasus seperti ini, diuji kemampuan membangun konsensus moral, kemampuan mendengarkan dan mengomunikasikan kepentingan,dukungan dan empati terhadap semua pihak yang terlibat dalam perubahan, termasuk mendidik atau menyadarkan akan dimensi-dimensi etika yang dipertaruhkan. Bisa saja sebagai pemimpin, ia memaksakan program perubahannya, tapi itu justru bertentangan dengan tujuan budaya etika yang dimaksudkan untuk memberi legitimasi kebijakan publik. Hajriyanto menyadari betul tentang hal tersebut, menurut Hajriyanto kebutuhan legitimasi mengajak untuk memperhitungkan perubahan interaksi sosial yang terkait dengan moralitas. Dalam setiap tindakan dibutuhkan dasar pembenarannya atau legitimasinya. Modalitas legitimasi tindakan atau kebijakan publik diperoleh dengan mengacu pada norma, hukum, aturan, kebiasaan, atau agama. Dengan mengacu ke norma akan diperoleh persetujuan dari sebanyak mungkin anggota. Perubahan yang mendorong terciptanya budaya etika dalam instansi atau organisasi menuntut agar dasar pembenaran kebijakan publik mengacu ke standar etis. Berdasarkan pengalaman Hajriyanto selama menjadi pejabat publik, standar etika publik ini paling tidak harus memiliki tiga dimensi, yaitu: “Dimensi tujuan adalah pelayanan publik yang berkualitas dan relevan, dimensi sarana meliputi akuntabilitas, transparansi, dan netralitas, serta dimensi aksi menuntut kualitas pelaku, yaitu integritas pejabat publik. ” 45 Hajriyanto juga menyadari, bahwa memang tidak mudah untuk menciptakan budaya etika dalam lembaga negara seperti MPRDPR. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Sebagaimana diungkapkan oleh Hajriyanto: “Kuatnya konflik kepentingan, peran partai-partai politik dan pertarungan kekuasaan. Kode etik sangat penting, tetapi orang pasti akan bertanya, bukankah sudah banyak organisasi pemerintah atau swasta yang mengadopsi kode etik, tetapi tidak mengurangi perilaku korup? ” 46 Oleh sebab itu, Hajriyanto bersama pimpinan MPR melakukan beberapa strategi yang terbagi menjadi 2 bagian, pada bagian pertama membangun infrastruktur, yaitu: 45 Wawancara Pribadi dengan Hajriyanto Yasin Thohari. 46 Wawancara Pribadi dengan Hajriyanto Yasin Thohari. “Pertama, dalam menyusun kode etik harus mengikutsertakan anggota-anggota yang cukup representatif sehingga ada partisipasi dan memungkinkan membentuk khazanah istilah atau konsep yang sama. Nah, dengan demikian akan meningkatkan rasa memiliki dan komitmen pada aturan yang dibuat. Kedua, memasukkan komisi etika agar berperan dalam pengambilan keputusan untuk mengangkat masalah etika dalam setiap pertemuan staff dengan selalu merumuskan dampak etikanya sebelum setiap keputusan penting diambil. Ketiga, disediakan konsultasi etika dan dibangun saluran pelaporan untuk membantu membahas masalah-masalah etika, menetapkan prosedur menyalurkan keluhan, ketidakpuasan atau protes, mekanisme whistle-blowing hotlines, komunikasi kondensial, sistem perlindungan bagi pelapor untuk mencegah balas dendam dan ombudsman. ” 47 Pada bagian kedua lalu membangun sistem yang dapat meningkatkan kapasitas Manajemen dan SDM secara terus-menerus: “Keempat, manajemen personalia disesuaikan dengan tuntutan etika publik, termasuk merevisi cara perekrutan calon anggota legislatif, pendidikan dan pelatihan etika publik secara berkala. Proses evaluasi kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etikanya. Kelima, audit etika secara berkala meliputi: melihat kembali dokumen-dokumen, menilai kerentanan masalah, 47 Wawancara Pribadi dengan Hajriyanto Yasin Thohari.