11
E. Kayu Sungkai Peronema canescens Jack
Sungkai atau jati sabrang termasuk suku Verbenaceae. Pohonnya mencapai tinggi sampai 25 m, dengan diameter batang di dekat pangkalnya sampai 60 cm. Batangnya lurus sedikit
berlekuk dangkal, dengan kulitnya yang mengelupas kecil-kecil tipis. Tumbuhan ini tersebar secara alami di kawasan Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Diduga
tanaman ini diperkenalkan ke daerah Banten dari Sumatera oleh Junghuhn pada tahun 1846. Sungkai tumbuh di hutan primer, di tepi sungai, yang secara bermusim tergenang air tawar, dan
juga di hutan sekunder campuran di darat, pada tanah liat atau berpasir. Jenis ini tumbuh sampai ketinggian 900 m dpl, dan di Jawa dijumpai pada ketinggian 200 – 300 m dpl Sastrapradja dan
Kartawinata, 1980. Ciri umum kayu sungkai yaitu berwarna krem kuning kecoklatan atau coklat muda
sampai kemerahan, teras sukar dibedakan dari gubal. Riap tumbuh jelas pada bidang melintang mebentuk lingkaran yang memusat, pada bidang radial berupa garis-garis sejajar, dan pada bidang
tangensial tampak seperti parabola Mandang dan Pandit, 1997. Masih menurut Mandang dan Pandit 1997, kayu sungkai termasuk ke dalam kelas awet
III, kelas kekuatan II – III dengan BJ kayu agak berat, 0.63 0.52-0.73. Kualitas kayu hampir sebaik jati hanya saja sungkai lebih ringan.
F. Kayu Jati Tectona grandis L. f.
Jati termasuk ke dalam suku Verbenaceae dengan nama daerah deleg, dodolan, jate, jati,
jatos, kulidawa, kiati. Daerah penyebaran jati di Indonesia meliputi seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Lampung. Diyakini tanaman jati
di Indonesia berasal dari negara India Martawijaya dan Kartasujana, 1977. Menurut Mandang dan Pandit 1997, kayu jati dicirikan oleh teras yang berwarna kuning
emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna putih agak keabu-abuan. Kayu jati memiliki corak dekoratif yang indah berkat jelasnya lingkaran tumbuh,
sedikit buram dan berminyak. Kayu bertekstur agak kasar sampai kasar dan tidak rata dengan arah serat lurus bergelombang sampai agak berpadu. Lingkaran tumbuh tampak sangat jelas pada
semua bidang observasi. Lebih lanjut, Martawijaya dan Kartasujana 1977 menyatakan kayu jati termasuk ke dalam
kelas awet I-II dan kelas kuat II dengan berat jenis 0.67 0.62-0.75. Kekerasannya sedang dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah radial dan tangensial berturut-turut 2.8 persen dan 5.2
persen basah sampai kering tanur.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa bambu andong Gigantochloa verticillata Willd. Munro yang diambil dari dusun Gunung desa Cipendeui Ciampea dengan jarak antar ruas
mencapai hingga 50-60 cm dengan diameter batang rata-rata 10–12cm. Perekat yang digunakan adalah epoxy dan Polyvinyl Acetat PVAc.
2. Alat
Alat yang digunakan terdiri atas alat penyiapan bahan meliputi : gergaji tangan, golok, cutter, amplas, mesin serut; alat pembuatan panel bambu meliputi : alat tulis, penggaris, caliper,
oven, desikator, alat kempa, timbangan, kape; serta alat pengujian panel bambu berupa alat uji Universal Testing Machine
UTM merk Instron.
B. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bio-komposit, Laboratotium Keteknikan Kayu, Laboratorium Kayu Solid, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB dalam
waktu 5 bulan, dimulai dari bulan Pebruari – Juni 2005.
C. Metode Penelitian
1. Persiapan Bahan
Batang bambu terlebih dahulu dipotong-potong sepanjang 40 cm tanpa menyertakan buku bambu, kemudian selanjutnya dibuat menjadi bilah dengan cara dibelah. Bilah bambu kemudian
diserut menggunakan alat serut dengan lebar 2 cm dan ketebalan yang berbeda-beda, yaitu sebesar 2.5 mm, 3 mm, dan 5 mm. Ketebalan bilah bambu sebesar 5 mm digunakan sebagai lapisan inti
core panel bambu, sedangkan ketebalan 2.5 mm dan 3 mm digunakan sebagai lapisan muka dan belakang face-back panel bambu. Bilah bambu hasil serutan yang didapat kemudian direndam
selama ± 1 minggu dengan tujuan untuk mengurangi kadar pati dalam bambu agar tidak mudah diserang oleh serangga perusak. Bambu kemudian dioven pada suhu 60
C–80 C hingga mencapai
kadar air 10–12.
2. Pembentukan Lembaran
Bilah bambu serutan yang telah dikeringkan disusun sedemikian rupa menurut ketebalannya masing-masing sehingga mencapai ukuran 40x40 cm. Susunan bilah bambu tersebut
kemudian disatukan dengan cara merekat kedua ujungnya menggunakan lakban sehingga terbentuk suatu lembaran bilah bambu.