TINJAUAN SYAR’IAH ISTIĤĀLAH

15 Ada suatu ketetapan bahwa penyembelihan yang syar‟i tidak ada pengaruhnya pada binatang- binatang yang memang haram hukumnya, dalam hal memakan dagingnya, kecuali pada sucinya kulit tanpa harus disamak Qardhawi, 2000.

3.3 TINJAUAN SYAR’IAH ISTIĤĀLAH

Salah satu hal yang berkaitan dengan najis adalah istiĥālah. Istiĥālah menurut Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah perubahan konversi dan peralihan sebuah hakikat benda. Sedangkan menurut Ibn’Abidin, istiĥālah ada dua macam; 1 perubahan suatu benda dari suatu sifat ke sifat lainnya dan 2 perubahan suatu benda dari satu hakikat ke hakikat lainnya. Al- „Allamah Ibn Qasim al-Ghazali dari kalangan Syafi’iyah menuturkan bahwa istiĥālah adalah perubahan sesuatu dari sifat yang satu ke sifat yang lain. Jika demikian, istiĥālah ada dua macam ; 1. Perubahan suatu benda dari sifat yang satu ke sifat yang lain. 2. Perubahan suatu benda dari hakikat yang satu ke hakikat yang lain. Sebagai contoh adalah perubahan khamr menjadi cuka. Perubahan ini terjadi karena peralihan sifat dari khamr ke cuka. Adapun contoh yang kedua adalah perubahan anjing, jika jatuh ke tempat pembuatan garam, maka ia akan berubah menjadi garam, dan jika terbakar, maka ia menjadi abu. Perubahan ini terjadi karena peralihan hakikat dari anjing ke garam atau abu. Menurut Yaqub 2008, berdasarkan contoh kasus perubahan khamr menjadi cuka, maka istiĥālah dapat diklasifikasikan menjadi dua; istiĥālah dengan sendirinya dan istiĥālah dengan campur tangan manusia. Contoh yang pertama, perubahan khamr menjadi cuka tanpa ada campur tangan atau rekayasa manusia. Contoh yang kedua, perubahan khamr menjadi cuka dengan campur tangan manusia. Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam khamr hingga terjadi perubahan menjadi cuka, atau memindahkan khamr dari suatu tempat ke tempat yang lain hingga akhirya berubah menjadi cuka. Istiĥālah adalah suatu proses di mana substansi asli produk tertentu berhasil dilewati, dan hasil akhirnya adalah produk atau bahan tersebut telah benar-benar berubah dari produk asli ke produk lain yang berbeda bahan maupun atributnya. Hal ini dapat terjadi secara alami atau dengan bantuan manusia. Berikut ini adalah pendapat para fuqaha berbagai mazhab mengenai masalah-masalah fiqh yang berhubungan dengan istiĥālah. 1. Fuqaha al-Hanafiyah Para ulama Hanafi menyatakan kesucian khamr apabila telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya atau dengan sengaja atau dengan upaya-upaya manusia seperti dengan memasukkan atau mencampurkan sesuatu ke dalamnya, memindahkan dari tempat terik ke tempat teduh, atau sebaliknya, menyalakan api di dekatnya, atau dengan cara apa saja. Benda-benda najis berubah menjadi suci apabila substansinya ber- istiĥālah, seperti perubahan menjadi garam atau terbakar api Al Ikhlas 1985. 2. Fuqaha al-Malikiyyah Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa istiĥālah merupakan proses pencuci. Di dalam proses pembuatan cuka, menurut pendapat yang kuat dari mazhab Maliki, tidak ada perbedaan apakah berproses dengan sendirinya, ataukah dengan sengaja diolah, sama saja hasilnya berupa cuka yang suci. Akan tetapi, al Qurtubi menceritakan riwayat dari Imam Malik yang membedakan proses alami dengan proses buatan. Walaupun demikian, para ulama Malikiyyah berpendapat apabila khamr dipadatkan dan hilang sifat memabukkannya, maka ia menjadi suci, dengan catatan sekiranya mencair kembali sifat memabukkannya tetap hilang. Perubahan khamr menjadi cuka itu suci karena merupakan hasil istiĥālah dari seluruh sifat-sifat khamr dan keluar dari sebutan atau namanya menjadi sifat-sifat dengan nama yang dikhususkan bagi keduanya. Hal ini terjadi sebagaimana darah dan 16 makanan-makanan hewan yang najis menjadi daging yang suci, sebagaimana pula terbentuknya buah anggur atau sayuran dari kotoran dan benda najis lainnya Muhammad, 1977. 3. Fuqaha asy-Syafi’iyah Menurut Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa al- istiĥālah bukanlah proses pensuci, kecuali dalam tiga kasus berikut : a. Istiĥālah menjadi hewan, karena kehidupan ruh jelas-jelas mempengaruhi di dalam meniadakan sifat najis, sedangkan istiĥālah menjadi selain hewan, seperti bangkai anjing jatuh di tambak garam kemudian berubah menjadi garam, atau pupuk kandang dibakar sehingga menjadi abu, maka istiĥālah demikian tidak menjadi benda suci. b. Kulit yang disamak berdasarkan pendapat bahwa proses penyamakan kulit termasuk iĥālah istiĥālah bukan izālah, yakni bukan pengilangan najis atau pembersihan kulit itu dari najis-najis yang mengotorinya, tapi pengubahan najis itu menjadi kulit yang suci. c. Khamar yang berubah secara alami menjadi cuka, sedangkan jika melalui proses buatan, para ulama Syafi‟iy membedakan di antara dua hal : 1 Cuka tetap najis jika diproses dengan cara memasukkan sesuatu ke dalam khamr asalnya. 2 Menjadi suci jika diproses dengan cara memindahkan khamar asalnya dari tempat panas terik ke tempat yang teduh, atau sebaliknya, atau dengan cara membuka tutup wadahnya untuk mempercepat masuknya udara yang mengubahnya menjadi cuka. Dalam pem ahaman ulama Syafi’iyah, istiĥālah benar-benar efektif terutama dalam dua proses saja, yaitu penyamakan kulit dan perubahan khamar menjadi cuka. Hewan-hewan yang terjadi melalui istiĥālah benda-benda najis dan dihukumi suci bukan karena semata-mata terjadinya istiĥālah, melainkan eksistensi ruhnyalah yang mensucikan. Jika ruhnya lenyap, jadilah bangkai yang najis. Demikian pula, misik, alaqah, susu, dan sebagainya. Dihukumi suci bukan karena proses istiĥālah, melainkan karena ada dalil-dalil yang lain. 4. Fuqaha al-Hanabilah Menurut pendapat yang kuat dari Ulama Hanabilah, istiĥālah tidak mensucikan benda-benda najis. Sebab, Nabi saw. melarang memakan al-jallalah dan susunya karena kebiasaannya memakan benda-benda najis. Seandainya al-jallalah suci karena istiĥālah, tentu Nabi tidak akan melarangnya. Oleh karena itu, apabila anjing masuk ke tempat pembuatan garam, atau mati di dalamnya sehingga menjadi garam, atau kotoran kering dan najis dibakar sehingga menjadi abu, maka hukumnya najis. Ada beberapa benda hasil istiĥālah yang dihukumi suci, dikecualikan dari ketentuan di atas, yaitu : a. Segumpal darah di dalam rahim yang berubah menjadi hewan yang suci. b. Kulit najis yang telah di samak, berdasarkan penyamakan termasuk iĥālah. c. Khamr setelah berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Jika sengaja dibuat cuka, maka hukum cuka hasil istiĥālah itu tetap najis karena ada larangan dari Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya, dan Imam Tirmiziy Ibn, 1988. Muhammad Bāqiral-Majlisiy memahami istiĥālah sebagai gejala perubahan benda sebagaimana ia bedakan menjadi sembilan macam : 1. Abu yang dihasilkan pembakaran benda-benda najis 2. Asap yang ditimbul dari benda-benda najis 3. Arang yang dihasilkan dari pembakaran benda-benda najis 4. Tembikar yang diolah dari tanah najis mutanajjis 5. Benda-benda najis yang berubah menjadi tanah atau cacing , ulat dan sejenisnya 6. Adonan roti yang menggunakan air mutanajjis 7. Babi yang terbenam di ladang garam hingga berubah menjadi garam, atau kotoran yang telah berubah menjadi lumpur hitam 17 8. Nutfah najis yang berubah menjadi hewan suci, air najis yang berubah menjadi kencing hewan yang dagingnya halal, pakan najis yang berubah menjadi kotoran hewan yang halal dagingnya, darah yang berubah menjadi nanah atau bagian tubuh hewan yang tak berdarah merah, kotoran yang berubah menjadi tumbuhan, atau buah-buahan 9. Uap yang timbul dari cairan najis Pengertian dan pembedaan gejala istiĥālah menjadi sembilan macam yang dikemukakan oleh al-Maqdisiy nampaknya didasarkan atas hasil yang terjadi dari proses istiĥālah, bukan dari jenis proses istiĥālah-nya. Sebab, abu, asap, arang, atau tembikar diperoleh dari proses yang relatif sama, yaitu pembakaran melalui persentuhan dengan api. Roti yang dicontohkan di atas diperoleh melalui pemanggangan. Cacing, ulat, hewan suci dan bagian tubuhnya, yang terjadi dari najis terbentuk melalui proses biologis. Uap yang timbul dari cairan najis dapat terjadi melalui kenaikan suhu. Babi yang berubah menjadi garam, kotoran yang berubah menjadi lumpur hitam, dan lain-lainnya, terjadi melalui proses penguraian yang sangat rumit, dengan bantuan mikroorganisme.

3.4 TINJAUAN ILMIAH KOLAGEN DAN GELATIN

Dokumen yang terkait

Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda Agama dan respon para pemuka Agama terhadapnya

0 7 58

SERTIFIKASI HALAL PADA PRODUK PANGAN STUDI PADA LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA LAMPUNG

0 3 14

Praktik magang di LPPOM MUI dan tinjauan ilmiah keharaman daging bangkai dan produk darah dalam islam

1 31 174

Analisis Proses Sertifikasi Halal dan Kajian Ilmiah Alkohol sebagai Substansi dalam Khamr di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

2 13 328

Evaluasi proses sertifikasi halal indonesia di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)

6 25 135

SERTIFIKASI HALAL PRODUK LOKAL OLEH LEMBAGA PENGKAJIAN OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA (LP POM) MUI SUMATERA BARAT.

0 1 11

Eksistensi Dan Tanggungjawab Majelis Ulama Indonesia (Mui) Dalam Penerapan Sertifikasi Serta Labelisasi Halal Produk Pangan Di Indonesia ( Existence And Responsibility Of Majelis Ulama Indonesia (MUI) In Application And Certification Labeling Halal Food P

0 0 17

SERTIFIKASI HALAL MAJELIS ULAMA INDONESIA (STUDY FUNGSI PENGAWASAN LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA (LPPOM)) PROVINSI LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 1 115

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PROSEDUR PENGAJUAN SERTIFIKASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN OLAHAN KERIPIK PISANG (Studi pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika) Majelis Ulama Indonesia ( LPPOM MUI) Provinsi Lampung - Raden Intan Repository

0 6 150

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN SERTIFIKASI HALAL SUATU PRODUK DI INDONESIA (Studi pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)

0 0 88