14 Dari  Jabir  bin  „Abdullah,  bahwasanya  Rasulullah  SAW  bersabda,  “Minuman  yang  dalam  jumlah
banyak memabukkan, maka sedikitpun juga haram” HR Ibnu Majah juz 2, hal 1125, no. 3393.
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Thalhah bertanya kepada Nabi SAW tentang beberapa anak yatim yang mewarisi khamr, belaiu SAW menjawab, “Buanglah Abu Thalhah bertanya, “Apakah
tidak boleh saya jadikan cuka?” Jawab beliau, “Tidak.” HR Abu Daud juz 3, hal 329, no. 3675.
3.2.3 Pendapat Ulama mengenai Halal-Haram Makanan dan Minuman
Al  Qur’an  tidak  menyebutkan  pengharaman  sesuatu  pun  dari  binatang  darat  kecuali  secara khusus  daging  babi  juga  bangkai,  dan  darah,  serta  semua  binatang  yang  disembelih  tidak  dengan
menyebut nama Allah sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat dengan bentuk pembatasan yang haram atas empat macam secara global dan sepuluh macam secara terinci Qardhawi, 2000.  Namun
dijelaskan  di  dalam  Al  Qur’an  tentang  halal-haram,  “Ia  menghalalkan  kepada  mereka  segala  yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor.” Q.S. Al-A‟raf : 157.
Maksud    jallalah    yang  kotor    adalah  semua  binatang  yang  dirasa  kotor  oleh  selera  dan perasaan orang pada umumnya, meskipun beberapa orang mungkin  menganggapnya  tidak demikian.
Contohnya Rasulullah saw. mengharamkan untuk menyantap daging keledai jinak di Perang Khaibar. “Rasulullah saw. melarang makan daging keledai jinak pada hari Perang Khaibar.” HR. Bukhari.
Dalam  riwayat  Bukhari  Muslim  yang  lainnya  ada  juga  pengharaman  jenis  hewan  lain,
yaitu “Diharamkan  binatang yang  memiliki taring,  seperti  binatang  buas  dan  yang  memiliki cakar,
seperti  bangsa  burung.”  HR.  Bukhari.    Binatang  buas  yang  dimaksud  adalah  binatang  yang memangsa binatang lain, atau memakan dengan kejam seperti singa, macan, serigala, dan semisalnya.
Sedangkan  yang  dimaksud  dengan  binatang  yang  memiliki  cakar  dan  kuku  tajam  dari  jenis  burung misalnya adalah burung rajawali dan elang Qardhawi, 2000.
Madzhab  Ibnu  Abbas  menyebutkan  bahwa  tidak  ada  yang  haram  kecuali  empat  jenis  yang dituturkan dalam Al Qur’an.  Ia sepertinya menganggap bahwa hadits-hadits larangan untuk binatang
buas  dan  lain-lain  hanya  memberikan  makna  dibenci  bukan  diharamkan,  atau  mungkin  riwayat  ini belum  sampai  kepadanya.
Ia  berkata,  “Masyarakat  Jahiliyah  zaman  dahulu  memakan  banyak  jenis makanan dan meninggalkan banyak jenis juga lantaran dianggap kotor.   Lalu Allah SWT  mengutus
Nabi-Nya  dan  menurunkan  kitab-Nya.    Allah  halalkan  yang  halal  dan  haramkan  yang  haram.    Apa yang  dihalalkan,    maka  dia  halal  hukumnya  dan  apa  yang  diharamkan  maka  ia  haram  hukumnya,
sedangkan  yang  didiamkan  maka  ia  dapat  ditoleransi. Lalu  ia  membaca,  “Katakanlah,  „Tiada
kuperoleh dalam wahyu yang diturunkan kepadaku makanan yang diharamkan…‟” Q.S. Al An‟am 145.
Dengan ayat ini Ibnu  Abbas  melihat bahwa daging keledai jinak halal saja hukumnya.   Imam Malik  mengikuti  madzhab  Ibnu  Abbas  ini,  yaitu  ia  tidak  mengatakan  haramnya  binatang  buas  dan
semisalnya, melainkan hanya memakruhkannya.
15 Ada suatu ketetapan bahwa penyembelihan yang
syar‟i tidak ada pengaruhnya pada binatang- binatang yang memang haram hukumnya, dalam hal memakan dagingnya, kecuali pada sucinya kulit
tanpa harus disamak Qardhawi, 2000.
3.3 TINJAUAN SYAR’IAH ISTIĤĀLAH
Salah  satu  hal  yang  berkaitan  dengan  najis  adalah istiĥālah.  Istiĥālah  menurut  Imam
Muhammad  bin  al-Hasan  al-Syaibani  adalah  perubahan  konversi  dan  peralihan  sebuah  hakikat benda.
Sedangkan  menurut  Ibn’Abidin,  istiĥālah  ada  dua  macam;  1  perubahan  suatu  benda  dari suatu  sifat  ke  sifat  lainnya  dan  2  perubahan  suatu  benda  dari  satu  hakikat  ke  hakikat  lainnya.    Al-
„Allamah  Ibn  Qasim  al-Ghazali  dari  kalangan  Syafi’iyah  menuturkan  bahwa  istiĥālah  adalah perubahan sesuatu dari sifat yang satu ke sifat yang lain.  Jika demikian,
istiĥālah ada dua macam ; 1.
Perubahan suatu benda dari sifat yang satu ke sifat yang lain. 2.
Perubahan suatu benda dari hakikat yang satu ke hakikat yang lain. Sebagai contoh adalah perubahan khamr menjadi cuka.  Perubahan ini terjadi karena peralihan
sifat dari khamr ke cuka.   Adapun contoh  yang kedua adalah perubahan anjing, jika jatuh ke tempat pembuatan  garam,  maka  ia  akan  berubah  menjadi  garam,  dan  jika  terbakar,  maka  ia  menjadi  abu.
Perubahan ini terjadi karena peralihan hakikat dari anjing ke garam atau abu.  Menurut Yaqub 2008, berdasarkan  contoh  kasus  perubahan  khamr  menjadi  cuka,  maka
istiĥālah  dapat  diklasifikasikan menjadi dua;
istiĥālah dengan sendirinya dan istiĥālah dengan campur tangan manusia.  Contoh yang pertama,  perubahan  khamr  menjadi  cuka  tanpa  ada  campur  tangan  atau    rekayasa  manusia.    Contoh
yang kedua, perubahan khamr menjadi cuka dengan campur tangan manusia.  Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam khamr hingga terjadi perubahan menjadi cuka, atau memindahkan khamr dari suatu
tempat ke tempat yang lain hingga akhirya berubah menjadi cuka. Istiĥālah adalah suatu proses di mana substansi asli produk tertentu berhasil dilewati, dan hasil
akhirnya adalah produk atau bahan tersebut telah benar-benar berubah dari produk asli ke produk lain yang  berbeda  bahan  maupun  atributnya.    Hal  ini  dapat  terjadi  secara  alami  atau  dengan  bantuan
manusia. Berikut ini adalah pendapat para fuqaha berbagai mazhab mengenai masalah-masalah fiqh yang
berhubungan dengan istiĥālah.
1. Fuqaha al-Hanafiyah
Para  ulama  Hanafi  menyatakan  kesucian  khamr  apabila  telah  berubah  menjadi  cuka  dengan sendirinya  atau  dengan  sengaja  atau  dengan  upaya-upaya  manusia  seperti  dengan  memasukkan  atau
mencampurkan  sesuatu  ke  dalamnya,  memindahkan  dari  tempat  terik  ke  tempat  teduh,  atau sebaliknya,  menyalakan  api  di  dekatnya,  atau  dengan  cara  apa  saja.    Benda-benda  najis  berubah
menjadi  suci  apabila  substansinya  ber- istiĥālah,  seperti  perubahan  menjadi  garam  atau  terbakar  api
Al Ikhlas 1985. 2.
Fuqaha al-Malikiyyah Ulama  Malikiyyah  berpendapat  bahwa
istiĥālah merupakan proses pencuci.  Di dalam proses pembuatan  cuka,  menurut  pendapat  yang  kuat  dari  mazhab  Maliki,  tidak  ada  perbedaan  apakah
berproses  dengan  sendirinya,  ataukah  dengan  sengaja  diolah,  sama  saja  hasilnya  berupa  cuka  yang suci.  Akan tetapi, al Qurtubi menceritakan riwayat dari Imam Malik yang membedakan proses alami
dengan  proses  buatan.    Walaupun  demikian,  para  ulama  Malikiyyah  berpendapat  apabila  khamr dipadatkan dan hilang sifat memabukkannya, maka ia menjadi suci, dengan catatan sekiranya mencair
kembali  sifat  memabukkannya  tetap  hilang.    Perubahan  khamr  menjadi  cuka  itu  suci  karena merupakan hasil
istiĥālah dari seluruh sifat-sifat khamr dan keluar dari sebutan atau namanya menjadi sifat-sifat  dengan  nama  yang  dikhususkan  bagi  keduanya.    Hal  ini  terjadi  sebagaimana  darah  dan