1
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Makanan dan minuman yang halal merupakan suatu keniscayaan bagi umat muslim. Setiap muslim dituntut untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal serta baik seperti yang
tercantum dalam Q. S. Al Baqarah 168, “Wahai manusia Makanlah dari makanan yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu
musuh yang nyata bagimu”. Makanan dan minuman tersebut harus berasal dari bahan yang halal, diproses dengan proses yang dapat menjamin kehalalannya, dan diperoleh dengan cara yang halal.
Makanan dan minuman yang tersedia tidak cukup hanya sekedar aman dari segi kimia, fisika, dan mikrobiologi, tetapi juga mampu menentramkan umat. Berdasarkan hal ini, maka timbul suatu konsep
keamanan pangan secara rohani yang menyangkut status kehalalan pangan yang dihasilkan. Saat ini, halal bukan lagi sekedar persoalan agama, yaitu Islam, namun halal sudah menjadi isu
global. Berdasarkan hasil survei lembaga survei Amerika Serikat, Pew Research Center 2011, jumlah penduduk
muslim pada tahun 2010 mengambil porsi 23.40 dari total penduduk dunia atau sekitar 1.6 miliar. Jumlah ini diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 3 pada tahun
2030 mendatang atau mengambil 26.4 dari total populasi dunia atau setara dengan 2.2 miliar jiwa. Jumlah ini tentunya menjadi pertimbangan tersendiri bagi para produsen pangan agar dapat
memproduksi pangan yang terjamin kehalalannya sebab hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah permintaan produk pangan di pasar global. Kriteria halal yang dibutuhkan konsumen harus senantiasa
terpenuhi sehingga produsen tetap mendapat kepercayaan dari konsumen serta roda bisnis tetap dapat tumbuh dan berkembang.
Disisi lain, perkembangan ilmu dan teknologi pangan tidak dapat dihindari. Hal ini menyebabkan banyaknya produk-produk baru dari hasil olahan pangan tersebut yang apabila
diidentifikasi baik secara kimia, fisika, maupun organoleptik mengalami perubahan sifat dari bahan asalnya. Di dalam Islam, perubahan suatu komponen pangan dari bahan asalnya dikenal dengan
istilah istiĥālah.
Perubahan suatu bahan pangan dapat menyebabkan perubahan status kehalalan bahan pangan yang dihasilkan. Di dalam kajian fiqh Islam masih belum ada identifikasi yang jelas antara suatu
perubahan dengan perubahan lainnya yang dapat dikategorikan ke dalam istiĥālah yang seharusnya
dapat digolongkan berdasarkan kriteria, batasan, atau indikator yang jelas dan terukur. Ketidakjelasan di dalam memahami hakikat gejala
istiĥālah ini menimbulkan kesulitan di dalam penetapan hukum-hukum bagi permasalahan - permasalahan yang ada. Kesulitan ini tidak terlepas
dari adanya keterkaitan antara istiĥālah dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari umat
muslim, terutama di dalam dunia industri yang berhubungan dengan proses pengolahan material bahan pangan atau lainnya yang kemungkinan besar tidak terlepas dari persoalan suci-najis dan halal-
haram. Salah satu contoh bahan pangan yang marak menjadi bahasan di bidang
istiĥālah adalah gelatin. Gelatin merupakan produk dengan pertumbuhan pasar yang pesat. Pada tahun 2003, pasar
gelatin dunia mencapai 278,300 ton, yaitu terdiri dari 42.4 gelatin yang berasal dari kulit babi, 29.3 gelatin yang berasal dari kulit sapi, 27.6 gelatin yang berasal dari tulang babi dan sapi, dan
0.7 berasal dari sumber lain GEA, 2010. Diantara produsen utama gelatin adalah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Amerika Selatan, serta negara-negara Asia seperti Thailand, Cina, dan
Jepang. Data ini menunjukkan bahwa gelatin yang diekstrak dari hewan babi masih mendominasi pasaran dunia. Disisi lain, permintaan yang besar akan gelatin di dunia membuka peluang untuk
2 memanfaatkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan status halal-haram gelatin dari babi,
sehingga sangatlah riskan bagi konsumen muslim. Oleh sebab itu, kajian ilmiah mengenai konsep istiĥālah dilakukan untuk memberikan rumusan batasan yang tegas dan terukur mengenai konsep
istiĥālah sehingga dapat menjadi rumusan awal penentuan apakah suatu perubahan dapat dikategorikan sebagai suatu
istiĥālah atau bukan yang nantinya akan memudahkan penentuan status halal-haram suatu bahan pangan.
Selain melakukan kajian mengenai istiĥālah babi, melalui kegiatan magang ini diharapkan
pengetahuan dasar mengenai Sistem Jaminal Halal dapat dikuasai sebab hal ini juga merupakan hal yang penting menyangkut perkembangan halal-haram bahan pangan di Indonesia. LPPOM MUI juga
memfasilitasi pengkajian status kehalalan bahan baku atau bahan tambahan pangan yang akan digunakan di dalam suatu produk untuk menjaga kesinambuangan status halal dari produk yang
dihasilkan. Baik Sistem Jaminan Halal maupun pengkajian bahan, keduanya merupakan bagian dari upaya menerapkan jaminan mutu halal yang ada dalam suatu perusahaan. Menurut Muhandri dan
Kadarisman 2005, jaminan mutu merupakan bagian dari manajemen mutu yang memfokuskan kepada pemberian keyakinan bahwa persyaratan mutu dipenuhi sehingga dapat dihasilkan pangan
yang halal dan baik yang merupakan syarat bagi yang penting bagi konsumen muslim di Indonesia. Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan praktek kerja
magang di LPPOM MUI, mengingat lembaga ini merupakan satu-satunya lembaga di Indonesia yang mengurusi pengkajian, sertifikasi halal dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehalalan pangan,
kosmetika, dan obat-obatan di Indonesia. LPPOM MUI memiliki tenaga ahli yang kompeten di bidangnya. Hal inilah yang membuat LPPOM MUI memiliki kepercayaan yang tinggi di tingkat
global dalam mengurusi jaminan kehalalan pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Dengan demikian, penulis berharap melalui kegiatan magang ini kompetensi dan pengetahuan penulis di bidang kajian
bahan pangan dari status kehalalannya serta pengetahuan dasar mengenai Sistem Jaminan Halal dapat bertambah sekaligus dapat membantu LPPOM MUI dalam merintis kajian ilmiah mengenai
istiĥālah babi. Luaran dari magang ini, yaitu publikasi ilmiah tentang
istiĥālah babi yang diharapkan dapat menjadi rintisan awal bagi kajian ilmiah
istiĥālah selanjutnya.
1.2 TUJUAN