14
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
A. Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun
Perkawinan. 1.
Pengertian Perkawinan.
Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan pernikahan, nikah secara bahasa berasal dari kata nakaha, yang artinya adalah menikahi
seorang perempuan.
1
Selain kata nakaha digunakan kata az-zawajaz-ziwaj dari kata zawwaja
yang berakti “perkawinan” untuk memaknai sebuah pernikahan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang mempunyai ikatan dalam
perkawinan. Dan kata-kata tersebut memiliki implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab qabul serah terima pernikahan.
2
Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam Qs al-Dzariyat 51: 49
Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.” [QS. Al- al-Dzariyat 51: 49].
Selanjutnya disebut dalam Qs Yasin 36: 36
.
1
Syaikh Humaidhy, bin Abdul-Aziz, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, Jakarta : Darul
Humaidhy, 1991, h.13.
2
Muhammad. Amin Summa, Huk um Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 h.43.
15
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak ketahui.” [QS. Yasin 36: 36].
Arti kata nikah menurut bahasa adalah Mengumpulkan, Saling Memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh wathi. Adapun menurut
ahli ushul terdapat tiga pendapat, golongan pertama dari ahli ushul Abu Hanafi mengartikan kata nikah secara bahasa adalah “bersetubuh”,
sedangkan secara majazi nikah diartikan suatu „akad” yang dapat menghalalkan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan.
Sedangkan menurut ahli ushul Syafi’iyah mengartikan sebaliknya, yaitu nikah memiliki arti asal “akad” sedangkan secara majazi adalah
“bersetubuh”. Adapun pendapat ahli ushul Hambali adalah suatu “akad “ yang membolehkan dan menghalalkan antara laki-laki dan perempuan
bercampur.
3
Namun jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang jauh antara ulama fikih terhadap definisi nikah, perbedaan
diantara mereka hanya terdapat pada redaksinya saja. Jadi para ulama fikih sepakat bahwa nikah itu adalah suatu akad yang diatur oleh agama untuk
memberikan kehalalan kepada laki-laki untuk memiliki penggunaan faraj kemaluan perempuan dan seluruhya untuk penikmatan sebagai tujuan
primer.
4
3
A. Basiq Djalil, Pernik ahan Lintas Agama Dalam Persefik tif Fik ih Dan Kompilasi Huk um Islam, Jakarta: Qalbun Salim, 2006, h. 33-34.
4
Ibrahim Hosen, Fik ih Perbandingan Msalah Perk awinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, h. 116.
16
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Th 1974 Tentang Perkawinan,
mejelaskan: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
5
Pengertian perkawinan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI yaitu:
“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupkan ibadah.”
6
Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang- undangan diatas dicermati dengan seksama, tentu terdapat perbedaan yang
cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah:
Pertama dalam Undang-Undang Perkawinan seperti yang tercantum dalam baris kalimat ada kata “Ikatan Lahir Batin” hal ini menjelaskan
adanya keharusan ucapan Ijab Qabul didalamnya, sedangkan menurut KHI meskipun menyatakan “Akad yang sangat kuat” namun lebih
mengengisyaratkan kepada kata-kata Misaqan Ghalizan yang tidak
5
Muhammad Amin Summa, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelak sanaan Lainnya di Negara Huk um Indonesia , Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, h.
522.
6
M. Nur Yasin, Huk um Perk awinan Islam Sasak , Yogyakarta: UIN-Malang, 2008, h. 54.
17
menggambarkan pengertian akad pernikahan, namun lebih kepada sebutan akad nikah.
7
Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan “antara
seorang pria dengan seorang wanita” hal ini menafikan adanya kemungkinan antara sesama jenis di neraga Indonesia, seperti halnya yang
terjadi di negara-negara luar seperti Belanda, Belgia dan sebagian negara Kanada, sedangkan dalam KHI tidak menyebutkan dua pihak yang berakad
meskipun sebenarnya KHI mendukung ketiadaan kemungkinan terjadi pernikahan antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang.
8
Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yaitu “Membentuk keluarga rumah tangga kekal dan bahagia”.
Sedangkan KHI lebih mengisyaratkan kepada nilai-nilai perkawinan itu seperti dalam anak kalimatnya “untuk melaksanakan perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Hal ini menunjukan bahwa aspek muamalah dalam suatu perkawinan jauh lebih menonjol dari pada aspek
ibadah, sungguhpun di dalamnya memang mengandung nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.
9
7
M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, Jakarta: Graha Cipta, 2005, h. 23.
8
M. Nur Yamin, Huk um Perk awinan Islam Sasak , h. 257.
9
Muhammad. Amin Suma, Huk um Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 45.
18
2. Dasar Hukum Perkawinan.
Pernikahan dalam Islam adalah sebagi landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan oleh manusia dalam tujuan
ibadah dan syari’at untuk kemaslahatan dalam kehidupan.
10
Oleh karena itu dijelaskan dalam persefektif fikih nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-
Qur’an, as-Sunnah dan Ijma. Ayat yang menunjukan disyari’atkan nikah adalah firman Allah Swt dalam Qs. al-
Nisa’ 4: 3 berikut :
Artinya: “... Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangiatau
empat” [QS. Al-Nisa 4: 3].
Selanjutnya disebutkan dalam Qs al-Nur 24: 32
Artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan” [QS.
al-Nur 24 :32].
Adapun hadis Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah riwayat Bukhari Muslim:
”Wahai pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih
memelihara faraj kehormatan dan kemaluan dan barang siapa tidak sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat melemahkan
10
A. Basiq Djalil, Tebaran Pemik iran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007, h. 86.
19
syahwat”. HR. al-Bukhari dan Muslim.
11
Dari segi Ijma’, para ulama sepakat mengatakan bahwa nikah itu
disyariatkan.
12
Namun meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para golongan Fuqaha yakni Jumhur mayoritas
ulama tentang hukum pernikahan bahwa nikah itu hukumnya sunah, tetapi golongan Zhahiriaya berpendapat bahwa hukum menikah itu wajib,
sedangkan menurut golongan Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib untuk sebahgian orang, sunnah untuk sebahagian orang
yang lainya, mubah untuk segolongan yang lainya. Selain hukum asal pernikahan tersebut, para ulama juga memperinci
hukum nikah ditinjau dari kondisi seseorang. Sehingga hukum asal pernikahan yang awalnya mubah bisa beralih menjadi wajib, sunah, haram,
dan makruh. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang telah
mampu untuk menikah baik dari segi fisik, mental maupun biaya dan dikhawatir akan melakukan perbuatan zina kalau tidak menikah.
Alasannya, dia wajib menjaga diri agar terhindar dari perbuatan haram.
b. Sunnah hukumya menurut jumhur ulama bagi orang yang tidak
menikah, namum dirinya sanggup untuk tidak melakukan perbuatan haram, dan apabila menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan
11
M. Nur Yamin, Huk um Perk awinan Islam Sasak , h. 56.
12
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa—fatwa Masalah Pernikahan dan keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, h. 4-6.
20
membawa mudarat kepada isterinya. c.
Haram hukumnya bagi seorang yang yakin mengetahui akan dirinya tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai suami,
memberikan nafkah lahir maupun batin dan dikhawatirkan membuat istrinya menderita.
d. Makruh hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang ingin
menikah, namun tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya seperti belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila ia menikah
hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak anaknya. Apabila ia melaksanakannya, maka tidak berdosa dan tidak
pula mendapat pahala, sedangkan apabila ia tidak menikah dengan pertimbangan tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala.
e. Mubah hukumnya bagi orang yang tidak memiliki dorongan untuk
menikah, dan tidak pula memiliki hal-hal yang mencegahnya untuk menikah.
13
3. Syarat dan Rukun Perkawinan.
Syarat dan Rukun perkawinan merupakan hal yang serius di kalangan para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi perbedaan pendapat. Pada
dasarnya perbedaan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah yang berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak
termasuk rukun, dan mana pula yang termasuk syarat dalam perkawinan.
13
Hasanuddin, Perk awinan dalam Persefek tif Al- Qur’an Nikah, Talak, Cerai, Ruju’,
Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011, h. 10-11.
21
Biasa jadi sebagian ulama menyebutnya rukun dan sebagian lain menyebutnya syarat
14
Adapun rukun dan syarat perkawinan yang diterima oleh sebahagian besar para ulama, meskipun pada penerapannya masih ada perbedaan karena
pada dasarnya perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah agar tujuan
disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai. Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu adalah
sebagai berikut:
15
1. Adanya calon Mempelai pria
2. Adanya calon mempelai wanita
3. Adanya Wali
4. Adanya Saksi Nikah
5. Ijab Qabul
Adapun Undang-Undang Perkawinan menetapkan syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Th
1974 tentang perkawinan yaitu
16
: 1.
Adanya persetujuan kedua belah pihak 2.
Mendapat izin dari orang tuawali bagi yang belum berumur 21 dua puluh satu tahun.
14
Amir Nurddin dan Azhari Akmal Taringan, Huk um Perdata Islam Di Indonesia, Stadi Krisis Perk embangan Huk um Islam dari Fik ih, Undang -Undang No 11974 sampai KHI, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, h. 60.
15
M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, Jakarta: Graha Cipta, 2005, h. 56.
16
Zainudin Ali, Huk um Perdata Islam di Indonesia, h. 12.
22
3. Usia calon pria sudah harus mencapai 19 sembilan belas tahun dan
wanita 16 enam belas tahun. 4.
Antara kedua belah mempelai tidak ada hubungan darah yang melarang menikah
5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain
6. Tidak dalam bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang
sama, yang hendak di kawini. 7.
Bagi seorang wanita janda tidak dapat menikah sebelum masa tunggunya berahir.
B. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Islam.