Penundaan pencatatan perkawinan di bawah umur di desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung

(1)

PENUNDAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ZAINAL ARIFIN NIM. 1111044100041

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENUNDAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH

UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG”

telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Al Ahwal Al-Syakhsiyyah.

Jakarta, 19 Oktober 2015 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M.Ag (………...…...) NIP. 19670608 199403 1 005

Sekertaris : Arip Purkon, M.A (..……….……...) NIP. 19790427 200312 1 002

Pembimbing : Notnidah Nasution, M.Ag (………..…..…...) NIP. 196003181991031001

Penguji I : Dr. Moh. Ali Wafa, S. Ag. M. Ag (..……...) NIP. 150 321 584


(4)

(5)

iv

ABSTRAK

Zainal Arifin. NIM 1111044100041. PENUNDAAN PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xi + 85 halaman + 19 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi penyebab penundaan pencatatan perkawinan dibawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor, bagaimana proses perkawinannya dan problematika apa yang muncul terhadap pasangan yang menunda pencatatan perkawinan.

Metode yang dipergunakan adalah metode deskriptif eksploratif, adapun jenis penelitiannya yaitu penelitian lapangan (Field Research) yang di padukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research). Kriteria dan sumber data yang digunakan yaitu pertama, data primer seperti wawancara, dan dokumentasi. Kedua, data sekunder yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema. Adapun teknik pengumpulan data diantaranya yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul selanjutnya di analisa dengan analisis deskriptif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyaknya masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor yang melakukan penundaan pencatatan perkawinan. Dikarenakan berbagai faktor salah satunya tidak terpenuhinya persyaratan usia dewasa yaitu bagi mereka yang belum berusia 16 (enam belas) tahun bagi perempuan dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki, yang hendak menikah namun tidak melalui prosedur yang telah diatur oleh pemerintah seperti halnya mengajukan izin permohonan dispensasi nikah terlebih dahulu kepada Pengadilan Agama setempat, melainan mereka langsung melakukan pernikahannya di hadapan seorang amil (penghulu) KUA untuk menikahkannya. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab II pasal 7 menyebutkan “ perkawinanan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai usia sekurang-kurangnya 16 tahun. dan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan “ bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapat izin dari Peradilan Agama setempat.sudah jelas undang-undang mengharuskan bagi pasangan muda (dibawah umur) yang hendak menikah untuk mengajukan izin permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama setempat, namun masih banyak masyarakat yang tidak melakukan izin permohonan dispensasi nikah dan beranggapan hal itu tidak penting hanya memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Kata Kunci : Penundaan, Pencatatan, perkawinan, Parakan, Muncang, Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.Ag.

Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2012


(6)

KATA PENGANTAR ها مسب يحرلاا نمحرلا

م

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji semoga selalu tercurah kehadirat Ilahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Sholawat beriring salam selalu tercurahkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa darizaman kebodohan menjadi zaman yang penuh kebaikan dalam kehidupan seluruh umat manusia.

Sudah empat tahun penulis bergabung di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama itu pula penulis belajar, berdiskusi, dan menimba ilmu dari para dosen. Suatu proses tolabul ilmi yang mempunyai kesan suka maupun duka.

Penulis teringat akan sebuah syarat bagi seorang yang menuntut ilmu yang ada didalam kitab Ta’lim al-muta’alim tentang enam hal yang harus ada dalam menuntut ilmu yaitu; pandai, semngat, kerja keras, biaya, pengajaran guru, dan waktu yang panjang. Dalam konteks ini dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan, yang penulis merasa masih jauh dari harapan yang ideal tersebut.

Seyogyanya penulis merasakan bahwa cita-cita harus diraih melalui kerja keras. Menempuh proses perjuangan yang panjang dan berbagai halanganyang ada. Begitupun dalam penulisan skripsi ini memerlukan pengorbanan w aktu, fikiran, tenaga dan harta. Alhamdulillah berkat ridho Allah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga merasakan selama proses penyusunan


(7)

vi

skripsi ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan, bimbingan, dan motivasi baik moril maupun materil. Dengan kerendahan hati izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah. 3. Bapak Arif Purkon, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Akhwal

As-Syakhsiyyah.

4. Ibu Hotnidah Nasution M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi.

5. Bapak Supriyadi Ahmad, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasinya.

6. Kedua orang tua penulis, yang dengan kesabaran dan keresahannya memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada kakakku dan adikku yang selalu berbagi canda tawa baik suka maupun duka. 7. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta yang telah mendidik

dan menberikan ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

8. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah meberikan fasilitas dan kemudahan dalam peminjaman buku referensi.


(8)

9. Keluarga Besar Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 039 Tembilahan Riau yang telah memberikan bekal ilmu keagamaan kepada penulis, semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda.

10. Segenap Guru Pengajar di Sekolah Menengah Pertama (MTSN) Negeri 049 Tembilahan Riau, terima kasih atas pengalaman yang telah diberikan kepadaku selama ini, sehingga penulis lebih bisa memahami arti dan makna dari kesosialan.

11. Keluarga Besar Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabatku, Peradilan Agama Angkatan 2011 Azhar, Rafel, Faris, Rasit Ridho, Rizal, Alimudin, wanda, zulfahmi, Zahra, Intan Juniarti Harahap dan yang lain yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, serta teman-teman yang telah menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan kampus. Terima kasih atas segala warna yang kalian berikan.

13. Teman-teman dekatku Asih Mulyanti, Elvin, Rizal, Fikri, Raja dan yang lain yang senantiasa memotivasi dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, yang telah menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan nyata ini.

14. Teman-temanku seperjuangan Gusti Rahmat, Servin Lubis, Ipul, Adi, Ari, Hanif yang telah banyak membantu secara moral maupun materi dan tiada hentinya dalam mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini.


(9)

viii

15. Keluarga Besar Bapak angkat Imam Syarif Hidayatullah MA dan Ibu Tri, dan para santri dan santri yayasan al-amanah nusantara Tercinta yang telah banyak mengajarkan arti dari sebuah Kehidupan.

16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bentuk kontribusi yang diberikan kepada penulis, semoga amal baik kalian mendapat balasan dari Yang Maha Sempurna.

Semoga skripsi ini menjadi bahan berguna bagi penulis untuk berkiprah dimasyarakat dan mengharumkan almamater tercinta Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca, sehingga berguna bagi penulis dimasa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 25 Oktober 2015


(10)

viii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Review Studi Terdahulu ... 8

H. Metode Penelitian ... 8

I. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR. A. Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan ... 14

B. Perkawinan di bawah Umur Menurut Islam ... 22

C. Perkawinan di bawah Umur Menurut Hukum Positif ... 26

D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur ... 30

E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat ... 41

BAB III PROFIL DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG. A. Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ... 44

B. Letak dan Gambaran Kondisi Geografis ... 45

C. Kondisi Keagamaan, Pekerjaan, Pendidikan, dan Sosial Masyarakat ... 50

BAB IV PENOMENA PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DAN PENCATATN PERKAWINAN. A. Proses Perkawinan di Bawah Umur dan Pencatatan perkawinan ... 57

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penundaan Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur ... 62

C. Akibat Penundaan Pencatatan Nikah Terhadap Pasangan Perkawinan di Bawah Umur ... 71


(11)

ix

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA ... 84


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kondisi Geografis Desa Parakan Muncang Bogor ... 46

Tabel 3.2 Orbitrasi (Jarak dari Pusat Kota Pemerintahan ke Desa) ... 46

Tabel 3.3 Batas-Batas Wilayah Desa Parakan Muncang Bogor ... 47

Tabel 3.4 Struktur Organisasi Desa Parakan Muncang Bogor ... 48

Tabel 3.5 Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 49

Tabel 3.6 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Agama ... 51

Tabel 3.7 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 52

Tabel 3.8 Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Parakan Muncang Bogor ... 53

Tabel 3.9 Keadaan Jumlah Penduduk Menurut Lulusan Pendidikan Umum ... 54


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing Skripsi ... 87 Lampiran 2 Surat Blanko Bimbingan Skripsi ... 88 Lampiran 3 Surat Permohonan Data/ Wawancara ... 89 Lampiran 4 Surat Keterangan Wawancara Kepala Kantor Urusan

Agama (KUA) Parakan Muncang Bogor ... 90 Lampiran 5 Surat Keterangan Wawancara Kepada Kepala Desa Parakan

Muncang Muncang Bogor untuk Profil Desa ... 91 Lampiran 6 Pedoman Wawancara/ Instrumen Peneliti ... 92 Lampiran 7 Hasil Wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)

Parakan Muncang Bogor ... 97 Lampiran 8 Hasil Wawancara dengan Sekretaris Pencatat Nikah Parakan

Muncang Bogor ... 103 Lampiran 9 Hasil Wawancara dengan Amil/ Penghulu Kantor Urusan Agama

(KUA) Parakan Muncang Bogor ... 107 Lampiran 10 Hasil Wawancara dengan Tokoh Agama/ Tokoh Masyarakat ... 110 Lampiran 11 Hasil Wawancara dengan Responden Pelaku Nikah Muda

(di bawah umur) ... 113 Lampiran 12 Lampiran Foto ... 128


(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad yang sangat kuat atau (mitsqan ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan suami istri dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak dalam rangka mewujutkankan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang di ridhai oleh Allah.1

Menurut Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Undang-Undang No 1 Th 1974 menyebutkan suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Th 1974). Tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 1 Th 1974. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif yang harus memenuhi

1

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munak ahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h.10

2


(15)

2

ketentuuan hukum yang ada, yakni perkawinan dilakukan didepan pejabat yang berwenang yang ditunjuk.3

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua antara suami istri. Setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan maka harus dilaksanakan secara sah pula yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar Agama Islam. Akta Nikah yang di dapatkan setelah aqad nikah merupakan bukti autentik untuk mendapatkan jaminan hukum, apabila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang.

Misalnya seorang suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya, sementara kenyataannya dia mampu, atau seorang suami melanggar ketentuan taklik talak yang telah dibacanya, maka seorang istri yang dirugikan dapat mengadukan dan mengajukan gugatan perkaranya ke Pengadilan Agama. Selain itu Akta Nikah juga berfungsi untuk mengajukan keabsahan seorang anak dari sebuah perkawinan, apabila seorang anak dilahirkan diluar perkawinan dan perkawinanya tidak tercatatkan maka selain dianggap anak tidak sah juga hanya mempunyai hubungan keperdataan kepada ibu dan keluarga ibunya (pasal 42 dan 43 Undang-Undang), sedangkan keperdata ayahnya tidak ada.

3


(16)

Sebagian masyarat muslim memahami bahwa ketentuan perkawinan itu lebih menekankan kepada persefektif fiqih, menganggap perkawinan telah cukup apabila syarat dan rukunnya telah terpenuhi tampa diikuti oleh pencatatan nikah.4 Padahal apabila sebuah perkawinan yang dicatatkan secara resmi tidak akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadi pemalsuan dan kecurangan lainnya, misalnya seorang suami atau istri yang igin memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluaan yang menyimpang. Maka keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah yang ada di KUA tempat yang bersangkutan menikah.5

Indonesia merupakan negara hukum dimana segalanya yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti halnya kelahiran, kematian dan termasuk perkawinan, perkawinan termasuk erat hubungannya dengan kewarisan maka harus dicatat untuk menjaga kekuatan hukumnya. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Th 1946 jo UU No.32 Th 1954)6, sampai sekarang (PPN) adalah satu-satunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan menurut hukum Agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka setiap perkawinan harus dilakukan dan di bawah pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negara yang diangkat oleh Mentri Agama pada tiap-tiap Kecamatan. Walaupun

4

Ahmad Rafiq, Huk um Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 107

5

Jenal Mutakin, Huk um Perk awinan, diakses pada tanggal 27 Oktober 2014 dari http://www.pa-cibadak.go.id/artikel/baca/28

6


(17)

4

demikian namun pada kenyataannya masih banyak saja masyarakat yang belum mencatatkan pernikahannya.

Suatu hal yang nyata bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang memiliki banyak ragam adat istiadat dan budaya yang berbeda pula, yang salah satunya dapat dilihat dalam tradisi pernikahan di bawah umur yang terjadi di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung yang sampai saat ini masih menjadi kebiasaan masyarakat tersebut. Nikah diusia muda merupakan solusi praktis untuk menghindari agar tidak terjerumus kedalam pergaulan bebas yang ahirnya masuk ke dunia sex bebas, maka tidak ada jalan lain selain melakukan pernikahan dini, kenapa demikian, karna kalau tidak maka akan mencoreng nama baik keluarga mereka masing-masing terkhusus kepada keluarga siperempuan itu. Dalam sebuah perkawinan sebenarnya sudah diatur batas umurnya baik dalam Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)7, apa bila perkawinan yang dilakukan di bawah umur maka yang bersangkutan harus mengajukan dispensasi nikah atau penetapan nikah di Pengadilan Agama setempat agar pernikahannya disahkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA).

Dari hasil pengamatan dan penelitian secara tidak langsung yang penulis lakukan pada Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung ada kesenjangan dalam Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang ada, dimana bagi pasangan yang melakukan

7

Subekti, Kitab Undang-undang Huk um Perdata, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 2006), h. 8


(18)

penikahan di bawah umur tidak dicatatkan dan diberi buku Akta Nikah hingga mereka mencapai usia dewasa dan baru diberikan setelah mereka mencapai usia.

Dari latar belakang permasalahan diatas penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai permasalahan yang ada di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan

Nanggung dalam sebuah skripsi yang berjudul “PENUNDAAN PENCATATAN

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG.”

B. Identifikasi Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan di bawah umur, antara lain:

1. Pada dasarnya perkawinan itu sah apabila memenuhi syarat serta rukunnya menurut agama, dan harus dicatatkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tapi pada kenyataanya banyak perkawinan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung yang tidak tercatat. 2. Kurangnya pengawasaan orng tua terhadap anak dalam pergaulan bebas

menyebabkan terjadinya pernikahan muda (di bawah umur) sehingga tidak tercatatkan pernikahannya

3. Perkawina di bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung sudah menjadi Tradisi kebiasaan. 4. Belum matangnya usia perkawinan akan menyebabkan berbagai resiko


(19)

6

C. Pembatasan Masalah.

Pencatatan perkawinan yang dimaksud dalam tulisan ini dibatasi dalam persefektif hukum positif. Pernikahan di bawah umur dalam tulisan ini di batasi pada pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berumur 19 tahun untuk calon pasangan pria atau calon pengantin perempuan berusia di bawah 16 tahun. D. Perumusan Masalah.

Menurut peraturan perundang-undangan perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA, maka untuk mendapatkan kepastian hukumnya adalah dengan mengajukan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal para pihak. Berbeda dengan yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur yang menikah di bawah tangan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, dimana mereka tidak mengajukan Isbat Nikah Ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian hukumnya, akan tetapi mereka mendatangi KUA untuk dicatatkan pernikahannya setelah mereka dewasa. Satu sisi pihak KUA Parakan Muncang Bogor juga sengaja untuk menunda pencatatan pernikahan di bawah umur.

Berdasarkan masalah yang ada diatas tersebut, untuk memberi arah yang jelas dalam penelitian ini, maka penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung?


(20)

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan penundaan pencatatan perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung?

3. Bagaimana problematika yang muncul dari pasangan yang menunda pencatatan perkawinan?

E. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui proses perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab penundaan pencatatan perkawinan di bawah umur di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung.

3. Untuk mengidentifikasikan problematika yang muncul terhadap pasangan yang menunda pencatatan perkawinan.

F. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan pihak-pihak sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para petugas KUA dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan peraturan perndang-undangan yang ada di Indonesia.

2. Memberikan wawasan dan pemahaman bagi masyarakat luas untuk mengetahui pentingnya memiliki buku Akta Nikah.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.


(21)

8

G. Review Studi Terdahulu.

Dalam pembahasan penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasanya menyerupai dengan pembahasan yang akan diangkat oleh penulis yaitu :

Ade Uswatul Jamiliyah, dalam skripsinya berjudul Upaya Preventif Penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan nikah sirri dan di bawah umur. Berbeda dengan penulis, disini penulis hanya akan membahas masalah penundaan pencatatan pertkawinan bagi pasangan yang menikah di bawah umur.

M. Andi Hakim Tahun 2008, Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam skripnya berjudul, Tingginya Biaya Pencatatan Perkawinan, yang menjelaskan tingginya biaya pencatatan sebagai satu-satunya alasan tidak dicatatkannya perkawinan, bedanya disini penulis akan membahas maslah penundaan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang menikah di bawah umur.

M. Fadli, Tahun 2007, Fakultas Syari’ah dan Hukum dalam skripsinya berjudul, Problematika Nikah di bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan Nikah KUA Tentang Nikah, yang menjelaskan permasalahan pernikahan di bawah tangan dan pentingnya pencatatan pernikahan dikantor urusan agama, bedanya disini penulis akan membahas masalah penundaan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang menikah di bawah umur.

H. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penyusunan skripsi ini adalah: a. Penelitian Kualitatif


(22)

Penelitian Kuaulitatif yaitu meneliti langsung pada objek penelitian dengan melakukan wawancara langsung secara pribadi. Dalam skripsi ini penulis menemui Informal yang melakukan pernikahan dibawa umur dan menemui KUA yang melakukan penundaan pencatatn pernikahan di bawah umur tersebut secara langsung.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan dari buku-buku, tulisan-tulisan, literatur dan yang lainnya yang masih relevan dengan judul ini.

2. Pendekatan Penelitian

Sedangkan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approch), yaitu pendekatan dengan melakukan pengajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini.8

b. Pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi dilapangan.

8

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Huk um Normatif, (Malang: Bayumedia Pubhlishing, 2008), h. 294


(23)

10

3. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunankan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri selama penelitian berlangsung. Hal ini berarti bahwa pada waktu awal penelitian dimulai, data masih belum ada, dan data tersebut baru ada setelah penelitian berjalan.9 Adapun data primer berasal dari observasi langsung yang akan penulis lakukan berupa mewawancarai para pihak yang berkaitan, seperti Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan Muncang Bogor, Sekretaris Kantor Urusan Agama (KUA) Parakan Muncang Bogor, Penghulu atau Amil, tokoh masyarakat dan tokoh agama dan Informal pelaku pernikahan di bawah umur Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah merupakan data yang berisikan informasi tentang bahan primer, diperoleh dari bahan kepustakaan10. Bahan hukum yang terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik yang di ambil dari internet maupun berupa data digital. Dan arsip-arsip yang mendukung.

9

Yayan Sopyan, Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fak ultas Syariah dan Huk um, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 57.

10


(24)

4. Teknik Pengumpulan data

Untuk metode pengumpulan data penyusun berupaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau kolaboratornya mencatat informasi selama penelitian, yakni penulis mengamati langsung kelapangan dalam hubungannya dengan masalah yang akan diteliti untuk dianalisa dan di kumpulkan.

b. Metode Wawancara (Interview)

Metode Wawancara (interview) adalah sebuah dialok yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.11 Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara kepada KUA yang melakukan penundaaan pencatatan perkawinan di bawah umur dan pada pihak-pihak yang terkait lainnya. c. Studi dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu cara pengumpulan data dengan dokunen-dokumen yang berkaitan dengan skripsi ini, baik berupa makalah, catatan, majalah, rapat, agenda, surat kabar, media online, dan maupun data yang lainnya.

d. Studi Pustaka

Studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan dari buku-buku,

11


(25)

12

tulisan, literatur dan yang lainnya yang masih relevan dengan judul ini untuk mendapat data tentang pencatatan perkawinan.

5. Metode Analisis Data

Dalam metode analisis data Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan metode:

a. Metode induktif, yaitu mengelolah pola pikir yang berangkat dari hal yang bersifat khusus kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum.12

b. Metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh respon den secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.13 I. Sistematika Penulisan.

Sistem penulisan dalam skripsi ini berdasarkan buku “Pedoman Penulisan Skripsi” Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang akan diteliti oleh penulis. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Pertama Merupakan pendahuluan yang berisikan, Latar Belakang Masalah, Idintifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Review Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

12 Sutrisno Hadi, metodogi Research (Yogyakarta: andi Offset, 1989), h. 142. 13 Soerjono Soekanto, PengantarPenelitian Huk um (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.


(26)

Kedua Membahas tentang masalah pengertian perkawinan dalam hukum Islam, yaitu mulai dari Pengertian, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Perkawinan di bawah Umur Menurut Islam, Perkawinan di Bawah Umur Menurut HuKum Positif, Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur, Dampak Perkawinan Tidak Tercatat.

Ketiga Mmembahas tentang Gambaraan Lapangan Tempat Penelitian mengenai, Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, Letak dan Gambaran kondisi Giografis, Kondisi Keagamaan, Pekerjaan, pendidikan dan Sosial Masyarakat.

Keempat Membahas mengenai, Proses, Fakto penyebab, dan Problematika yang Timbul Akibat Penundaan Pencatatan Perkawinan Terhadap Pasangan Perkawinan di Bawah Umur Pada Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, serta Analisis Penulis.

Kelima Merupakan penutup yang berisi tentang Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan tersebut diperoleh setelah menganalisis data yang diperoleh dan merupakan jawaban dari rumusan masalah, sedangkan saran adalah harapan penulis terhadap jalan keluar pada pokok permasalahan ini.


(27)

14 BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

A. Pengertian Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan.

1. Pengertian Perkawinan.

Istilah perkawinan dalam Islam disebut dengan pernikahan, nikah secara bahasa berasal dari kata nakaha, yang artinya adalah menikahi seorang perempuan.1

Selain kata nakaha digunakan kata az-zawaj/az-ziwaj dari kata zawwaja yang berakti “perkawinan” untuk memaknai sebuah pernikahan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang mempunyai ikatan dalam perkawinan. Dan kata-kata tersebut memiliki implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab qabul (serah terima) pernikahan.2

Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam Qs al-Dzariyat (51): 49            

Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” [QS. Al- al-Dzariyat (51): 49].

Selanjutnya disebut dalam Qs Yasin (36): 36

                      .

1 Syaikh Humaidhy, bin Abdul-Aziz, Kawin Campur dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Darul

Humaidhy, 1991), h.13.

2

Muhammad. Amin Summa, Huk um Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005) h.43.


(28)

Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak ketahui.” [QS. Yasin (36): 36].

Arti kata nikah menurut bahasa adalah Mengumpulkan, Saling Memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Adapun menurut ahli ushul terdapat tiga pendapat, golongan pertama dari ahli ushul Abu Hanafi mengartikan kata nikah secara bahasa adalah “bersetubuh”, sedangkan secara majazi nikah diartikan suatu „akad” yang dapat menghalalkan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan menurut ahli ushul Syafi’iyah mengartikan sebaliknya, yaitu nikah memiliki arti asal “akad” sedangkan secara majazi adalah “bersetubuh”. Adapun pendapat ahli ushul Hambali adalah suatu “akad “ yang membolehkan dan menghalalkan antara laki-laki dan perempuan bercampur.3

Namun jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang jauh antara ulama fikih terhadap definisi nikah, perbedaan diantara mereka hanya terdapat pada redaksinya saja. Jadi para ulama fikih sepakat bahwa nikah itu adalah suatu akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kehalalan kepada laki-laki untuk memiliki penggunaan faraj (kemaluan) perempuan dan seluruhya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.4

3

A. Basiq Djalil, Pernik ahan Lintas Agama Dalam Persefik tif Fik ih Dan Kompilasi Huk um Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2006), h. 33-34.

4

Ibrahim Hosen, Fik ih Perbandingan Msalah Perk awinan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 116.


(29)

16

Peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Th 1974 Tentang Perkawinan, mejelaskan:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”5

Pengertian perkawinan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu:

“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupkan ibadah.”6

Jika kedua rumusan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan diatas dicermati dengan seksama, tentu terdapat perbedaan yang cukup signifikan meskipun tidak bersifat konfrontatif. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah:

Pertama dalam Undang-Undang Perkawinan seperti yang tercantum dalam baris kalimat ada kata “Ikatan Lahir Batin” hal ini menjelaskan adanya keharusan ucapan Ijab Qabul didalamnya, sedangkan menurut KHI meskipun menyatakan “Akad yang sangat kuat” namun lebih mengengisyaratkan kepada kata-kata Misaqan Ghalizan yang tidak

5

Muhammad Amin Summa, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelak sanaan Lainnya di Negara Huk um Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 522.

6


(30)

menggambarkan pengertian akad pernikahan, namun lebih kepada sebutan akad nikah.7

Kedua, dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan “antara seorang pria dengan seorang wanita” hal ini menafikan adanya kemungkinan antara sesama jenis di neraga Indonesia, seperti halnya yang terjadi di negara-negara luar seperti Belanda, Belgia dan sebagian negara Kanada, sedangkan dalam KHI tidak menyebutkan dua pihak yang berakad meskipun sebenarnya KHI mendukung ketiadaan kemungkinan terjadi pernikahan antara sesama jenis yang dilarang oleh Undang-Undang.8

Ketiga, Undang-Undang Perkawinan menyebutkan tujuan perkawinan yaitu “Membentuk keluarga (rumah tangga) kekal dan bahagia”. Sedangkan KHI lebih mengisyaratkan kepada nilai-nilai perkawinan itu seperti dalam anak kalimatnya “untuk melaksanakan perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Hal ini menunjukan bahwa aspek muamalah dalam suatu perkawinan jauh lebih menonjol dari pada aspek ibadah, sungguhpun di dalamnya memang mengandung nilai-nilai ibadah yang cukup sakral dalam perkawinan.9

7

M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 23.

8

M. Nur Yamin, Huk um Perk awinan Islam Sasak, h. 257.

9


(31)

18

2. Dasar Hukum Perkawinan.

Pernikahan dalam Islam adalah sebagi landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan oleh manusia dalam tujuan ibadah dan syari’at untuk kemaslahatan dalam kehidupan.10

Oleh karena itu dijelaskan dalam persefektif fikih nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma. Ayat yang menunjukan disyari’atkan nikah adalah firman Allah Swt dalam Qs. al-Nisa’ (4): 3 berikut :

                           

Artinya: “... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangiatau empat” [QS. Al-Nisa (4): 3].

Selanjutnya disebutkan dalam Qs al-Nur (24): 32

                                

Artinya: ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan” [QS. al-Nur (24) :32].

Adapun hadis Nabi Saw yang menerangkan masalah ini adalah riwayat Bukhari Muslim:

”Wahai pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih memelihara faraj (kehormatan dan kemaluan) dan barang siapa tidak sanggup, maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu dapat melemahkan

10

A. Basiq Djalil, Tebaran Pemik iran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), h. 86.


(32)

syahwat”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).11

Dari segi Ijma’, para ulama sepakat mengatakan bahwa nikah itu disyariatkan.12 Namun meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan para golongan Fuqaha yakni Jumhur (mayoritas ulama) tentang hukum pernikahan bahwa nikah itu hukumnya sunah, tetapi golongan Zhahiriaya berpendapat bahwa hukum menikah itu wajib, sedangkan menurut golongan Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib untuk sebahgian orang, sunnah untuk sebahagian orang yang lainya, mubah untuk segolongan yang lainya.

Selain hukum asal pernikahan tersebut, para ulama juga memperinci hukum nikah ditinjau dari kondisi seseorang. Sehingga hukum asal pernikahan yang awalnya mubah bisa beralih menjadi wajib, sunah, haram, dan makruh.

Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:

a. Wajib hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang telah mampu untuk menikah (baik dari segi fisik, mental maupun biaya) dan dikhawatir akan melakukan perbuatan zina kalau tidak menikah. Alasannya, dia wajib menjaga diri agar terhindar dari perbuatan haram.

b. Sunnah hukumya menurut jumhur ulama bagi orang yang tidak menikah, namum dirinya sanggup untuk tidak melakukan perbuatan haram, dan apabila menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan

11

M. Nur Yamin, Huk um Perk awinan Islam Sasak , h. 56.

12 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa—fatwa Masalah Pernik ahan dan k eluarga, (Jakarta:


(33)

20

membawa mudarat kepada isterinya.

c. Haram hukumnya bagi seorang yang yakin mengetahui akan dirinya tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, (memberikan nafkah lahir maupun batin) dan dikhawatirkan membuat istrinya menderita.

d. Makruh hukumnya menurut jumhur ulama bagi orang yang ingin menikah, namun tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya seperti belum ada biaya untuk hidup sehingga apabila ia menikah hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak anaknya. Apabila ia melaksanakannya, maka tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala, sedangkan apabila ia tidak menikah dengan pertimbangan tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala.

e. Mubah hukumnya bagi orang yang tidak memiliki dorongan untuk menikah, dan tidak pula memiliki hal-hal yang mencegahnya untuk menikah.13

3. Syarat dan Rukun Perkawinan.

Syarat dan Rukun perkawinan merupakan hal yang serius di kalangan para ulama dan imam mazhab. Sehingga terjadi perbedaan pendapat. Pada dasarnya perbedaan tentang syarat dan rukun nikah merupakan masalah yang berkenaan dengan apa yang termasuk rukun dan mana yang tidak termasuk rukun, dan mana pula yang termasuk syarat dalam perkawinan.

13

Hasanuddin, Perk awinan dalam Persefek tif Al-Qur’an Nikah, Talak, Cerai, Ruju’, (Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011), h. 10-11.


(34)

Biasa jadi sebagian ulama menyebutnya rukun dan sebagian lain menyebutnya syarat14

Adapun rukun dan syarat perkawinan yang diterima oleh sebahagian besar para ulama, meskipun pada penerapannya masih ada perbedaan karena pada dasarnya perlunya pengaturan syarat dan rukun adalah untuk merealisasikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah agar tujuan disyari’atkannya perkawinan dapat tercapai.

Adapun rukun perkawinan yang disertai syarat-syarat tertentu adalah sebagai berikut:15

1. Adanya calon Mempelai pria 2. Adanya calon mempelai wanita 3. Adanya Wali

4. Adanya Saksi Nikah 5. Ijab Qabul

Adapun Undang-Undang Perkawinan menetapkan syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan yaitu16 :

1. Adanya persetujuan kedua belah pihak

2. Mendapat izin dari orang tua/wali bagi yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun.

14

Amir Nurddin dan Azhari Akmal Taringan, Huk um Perdata Islam Di Indonesia, Stadi Krisis Perk embangan Huk um Islam dari Fik ih, Undang -Undang No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), h. 60.

15

M. Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 56.

16


(35)

22

3. Usia calon pria sudah harus mencapai 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun.

4. Antara kedua belah mempelai tidak ada hubungan darah yang melarang menikah

5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain

6. Tidak dalam bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama, yang hendak di kawini.

7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat menikah sebelum masa tunggunya berahir.

B. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Islam.

Dalam ajaran Agama Islam yang universal, fleksibel dan rasional yang mana ajarannya sesuai perkembangan zaman dan mudah untuk diterima oleh kalangan masyarakat luas, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah, ahlak, muamalah, maupun yang berkaitan dengan aturan (hukum) diantaranya yaitu masalah pernikahan (munakahat).

Seperti yang terdapat dalam hukum Islam yaitu maqasidul syari’ah yang isinya itu mengandung lima unsur perlindungan diantaranya perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Dari lima unsur Islam itu satu diantaranya adalah menjaga jalur keturunan (hifdzul al nash) agar jalur nasab tetap terjaga. Pada dasarnya, dalam hukum Islam (kitab fiqih) mengenai pengertian perkawinan di bawah umur tidak di temukan pembahasan maupun dalilnya secara khusus baik itu dari al-Qur’an maupun Hadis Nabi Saw.


(36)

Karena tidak terdapat adanya dalil yang membatasi secara jelas pada usia berapa seorang itu boleh menikah, maka masalah batasan umur seorang untuk melaksanakan perkawinan ini termasuk kedalam Ijitihadiyyah.17

Dalam fiqih menyebutkan pernikahan di bawah umur adalah pernikahan antara laki dan perempuan yang belum baligh, ketentuan baligh antara laki-laki dan perempuan berbeda, pada laki-laki-laki-laki ketentuan baligh itu di tandai dengan ihtilam, yaitu mimpi yang mengakibatkan keluarnya sperma (air mani), sedangkan anak perempuan ketentuan baligh tersebut ditandai dengan mentruasi atau (haid). Namun apabila batasan baligh itu yang ditentukan dengan hitungan Tahun, maka perkawinan di bawah umur adalah perkawinan dibawah usia 15 tahun bagi perempuan menurut manyoritas ahli Fiqih, dan di bawah usia 17 tahun bagi laki-laki.18

Dari penjelalasan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwasanya perkawinan di bawah umur adalah perkawinan antara seorang mempelai yang salah satu atau keduanya belum mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, namun meskipun demikian tetap perkawinannya dianggap sebagai perkawinan yang sah dan layak.

Dasar hukum perkawinan di bawah umur dalam hukum islam adalah al-Qur’an dan Hadis, namun dalam memaknainya para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada pula yang tidak membolehkan, dengan masing-masing saling memberikan dalil argumennya. Para ulama yang membolehkan perkawinan

17

Muhammad Husein, Fik ih Perempuan, Reflek si Kyai atas wawancara Agama dan Gender, (Yogyakarta: LkiS, 2009), h.89.

18

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Huk um-Huk um Fiqih Islam, tinjau antar mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 223.


(37)

24

di bawah umur berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan mengenai masalah perkawinan.

Berikut dalil dasar yang membolehkan perkawinan di bawah umur yang dkemukakan oleh ulama yang membolehkannya yakni:

Firman Allah SWT dalam Qs al-Thalak (65) : 4

                        

Artinya: “Bagi mereka pempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menoupose) dianatara perempuan-perempuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid.” [QS. al-Thalaq (65): 4].

Pada dasarnya dalam ayat ini menjelaskan mengenai masa iddah (masa menunggu) bagi mereka perempuan-perempuan yang sudah menoupuse dan bagi perempuan yang belum haid, masa iddah bagi keduanya itu adalah 3 (tiga) bulan. Maka secara tidak langsung ayat ini juga dapat dipahami bahwa mengandung makna bahwa perkawinan dapat di langsungkan pada perempuan belia (belum baligh) karena iddah hanya bisa di kenakan kepada mereka yang sudah menikah dan bercerai.19

Pada ayat lain lain di jelaskan Qs al-Nur (24) :32

      ...

Artinya: “ dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu.” [Qs. An-Nur (24): 32].

19

Muhammad Husein, Fik ih Perempuan, Reflek si Kyai atas wawancara Agama dan Gender (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 91.


(38)

Kata al-ayyama dalam ayat ini meliputi perempuan dewasa dan perempuan belia yang masih muda, maka secara eksplisit memperkenakan kepada wali untuk menikahkan mereka. Selain itu ada juga hadis yang di tuturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.

ِثْي ِدَح

ت ب ى و اهجوزت ملسو ىلع ها ىلص ها لوسر ىجْوَزَ ت : ْتَلاَق اَهْ َع ُها َىِضَر َةَشِءاَع

اغست د ع تسكمو نى س عست ت ب ى و ىاع تناجداو نى س تس

Artinya: “dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw menikahinya sedangkan ia masih berusia 6 (enam) tahun, ia diserahkan kepada Rasulullah ketika berusia 9 (sembilan) Th dan tinggal bersama Rasulullah selama 9 (sembilan) tahun [HR. Bukhari Muslim].

Pada Hadis ini menunjukan bahwa sahnya perkawinan di bawah umur, yaitu umur 6 (enam) tahun yang belum dewasa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Selain itu diantara para sahabat Nabi Muhammad SAW, ada juga yang mengawinkan para putrinya atau keponakannya seperti Ali bin Abi Thalib yang mengawinkan anak perempuannya yang bernama Ummi Kultsum ketika itu juga masih muda. Selain itu ada golongan ahli Fiqih yang melarang dan tidak memperbolehkan perkawinan usia muda seperti Ibnu Syubrumah, dengan berdalilkan sebagai berikut:

1) Sadduz Al-Dzari’at, artinya menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena perkawinan di bawah umur dapat membawa malapetaka bagi kedua pasangan tersebut dan akibat-akibat yang negatif, maka dari itu wajib dengan menunda jalannya perkawinan. 2) Kaidah-kaidah Fiqihiyah


(39)

26

لازىررضلا (Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan). Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan maslahatanya, namun mudharat dan resikonya jauh lebih besar dari pada manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun mentalnya.20 Dengan memperhatikan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama tersebut, baik yang memperbolehkan perkawinan di bawah umur maupun yang tidak memperbolehkannya, maka penulis lebih condong kepada para pendapat ulama yang tidak memperbolehkan perkawinan bagi gadis yang masih berusia muda atau yang belum baligh yang dikenal perkawinan di bawah umur dengan alasan bahwa perkawinan diusia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina rumah tangga yang sejahtera. Dimana kegagalan tersebut sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah bagi kedua belah pihak tersebut.

C. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Positif.

Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur perkawinan 19 (enam belas) tahun bagi pria 16 (sembilan belas) tahun bagi wanita diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin,

20

Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secarah k aidah-k aidah Azasi, (Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002), h. 105.


(40)

dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring sejalan dengan Undang-Undang ini.21

Sehubungan dengan hal itu, maka perkawinan di bawah umur sesungguhnya dilarang keras dan harus dicegah kegiatannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua belah pihak mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan yang mereka langsungkan itu sebagaimana yang tertulis dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 yang mengatakan bahwa “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”22

Pengertian perkawinan sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 tersebut perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, karena itu merupakan landasan pokok dari aturan hukum lebih lanjut baik yang terdapat dalam Undang-Undang No 1 Th 1974 maupun dalam peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, maka kondisi perkawina di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan mempunyai pola perkawinan usia muda. Sehingga perkawinan diusia muda menyebabkan tingkat kematian ibu dan bayi meningkat semakin tahun, maka dari itu beberapa negara muslim juga membatasi perkawinan usia muda. secara global usia muda dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan berakhir sampai 21 (dua puluh satu) tahun.23

21

Ahmad Tholabi Kharlie, Huk um Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 202.

22

Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Putra Grafika, 2006), h. 11.

23

Ahmad Tholabi Kharlie, Huk um Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 205.


(41)

28

Menurut seorang Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seorang memasuki hidup berumah tangga maka seorang wanita harus berusia 20 (dua puluh) tahun sedangkan untuk pria itu 25 (dua puluh lima) tahun.24 Hal ini di perlukan karena zaman moderen menuntut untuk mewujutkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.

Sedangkan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umum yang ditentukan secara Undang-Undang yang berlaku, dalam hal ini pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan menyebutkan batasan usia perkawinan itu adalah “perkawinan diizinkan hanya jika pihak pria telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan jika pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

Namun dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu ayat (2) menerangkan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diduga, misalnya mereka yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan belum mencapai 16 (enam belas) tahun bagi wanita karena pergaulan bebas (kumpul kebo dan sebagainya), sehingga wanita tersebut hamil sebelum perkawinan, dalam hal ini Undang-Undang No 1 Th 1974 masih memberikan keringanan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang berkompeten dalam hal ini.

24

Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menik ah, Problematik a Huk um Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Perdaus 1989), h. 70.


(42)

Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan “untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun jika orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan ke atas pasal 7 ayat (3) UU No. 1 Th 1974.25

Sebenarnya berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah tangga, karena didalam rumah tangga pasti akan ada cobaan, ujian yang nantinya akan menguras emosi dan keegoisan dari masing-masing pasangan. Untuk itu tampa kematangan dan kedewasaan maka rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah tampak akan sulit terwujut.

Selain itu ada juga asas-asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan harus adanya kematangan dari Calon Mempelai, sebagai mana yang terdapat dalam asas-asas Undang-Undang Perkawinan yaitu :

a) Asas Sukarela.

b) Asas Partisipasi keluarga. c) Asas Perceraian di persulit.

d) Asas Poligami dibatasi dengan ketat. e) Asas Kematangan calon mempelai.

25

Hilman Hadikusuma. Huk um Perk awina Indonesia Menurut Perundangan, Huk um Adat, Huk um Agama, (Bandung: Mandar Maju,1990), h. 7.


(43)

30

f) Asas Memperbaiki derajat kaum wanita. g) Asas Legalitas.26

Maka apabila disederhanakan, asas perkawinan ini mengandung arti bahwa : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal.

b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing- masing.

c. Asas Monogami

d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit perceraian

f. Hak dan Kedudukan Kewajiban suami istri harus seimbang.27

Maka dalam hal ini, masalah usia perkawinan terdapat pada poin ke empat yakni “ bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya” bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya untuk dapat mewujutkan tujuan perkawinan yang baik tampa berahir dengan perceraian.28 Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berfikir dan kematangan bertindak.

D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.

Perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang, dan masa yang akan datang, Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidza), ikatan yang suci (transeden), suatu

26

Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata Islam di Indonesia, h. 6.

27

Muhammad Amin Suma, Huk um Keluarga Islam di Indonesia, h. 173.

28

Amir Syarifuddin, Huk um Perk awinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munak ahat dan Undang-Undang Perk awinan, (Jakarta: Pranada Media Kencana, 2007), h. 27.


(44)

perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia yang terhormat, oleh kaena itu, hubungan tersebut dipandang sebagi ibadah.29

Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum, maka tentu saja menimbulkan hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua antara suami istri. Setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan maka harus dilaksanakan secara sah pula yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi yang Beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar Agama Islam.

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan.

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh negara terhadap peristiwa perkawinan itu. Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara seorang calon suami dan calon istri.30

Kegiatan pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujutkan suatu ketertiban perkawinan didalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah yang diatur dalam perundang-undangan, ini untuk melindungi harkat, martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dalam rumah tangga. Dari itu melalui pencatatan

29

Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Huk um Perk awinan Islam dalam Huk um Nasional, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 127.

30

M. Zain dan Mukhtar Ashodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 26.


(45)

32

perkawinan yang dibuktikan melalu Akta Nikah atau Akta Perkawinan adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu peristiwa perkawinan berdasarka laporan Pegawai Pencatat Nikah.

Dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat penting, misalkan saja jika terjadi perselisihan atau pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum untuk memperoleh hak-haknya masing-masing, karena dengan akta tersebut suami istri memeliki bukti otentik sebagai perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.31

Dengan itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas baik buat yang bersangutan maupun bagi orang lain dan masyarakat disamping itu memiliki kekuatan hukum yang kuat.32 Yang mana dapat digunakan jika diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu maka dapatlah dibenarkan secara hukum.

2. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Islam.

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam akan tetapi dilihat dari segi kemanfaatannya, maka pencatatan perkawinan sangatlah diperlukan.33 al-Quran dan Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai

31

Djaja S. Meliala, Huk um Perdata dalam Persepek tif BW, (Bandung : Nuansa Aulia, 2012), h.56-57.

32

Shaleh K. Wantjik, Huk um Perk awinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h. 17.

33

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 123.


(46)

pencatatan perkawinan, namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya adanya pencatatan perkawinan.34

Kalau dilihat dalam Qs. al-Baqarah ayat: (282) isinya mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum, bahkan dijelaskan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan merupakan salah satu rukun.

Firman Allah dalam Qs al-Baqarah ayat (2): 282:

                                                              ....

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.” [QS. Al-Baqarah (2): 282].

Sampai saat ini belum di temukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkwawinan dan pembuktian dengan Akata Nikah tidak dianalogikan kepada ayat tesebut. Kalau ditinjau pencatatan perkawinan dizaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in secara detail maka tidak akan ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawianan pada sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an maupun Hadis serta Ijitihad pendapat

34


(47)

34

ulama dalam kitab-kitab klasik secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Adapun kenapa pada zaman Nabi perkawinan tidak dicatat adalah:

1. Budaya tulis-baca khususnya di kalangan orang arab Jahiliyyah masih jarang, oleh karena itu, orang arab lebih mengandalkan pada daya ingatannya (hafalan) ketimbang tulisan.

2. Perkawinan bukan syariat baru dalam islam, ia merupakan syariat Nabi-nabi terdahulu yang secara terus menerus diturunkan. Setelah Islam datang maka secara perlahan-lahan Islam membenahi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

3. Pada masyarakat zaman dahulu budaya nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih sangat kuat.

4. Problematika yang timbul pada zaman dahulu belum begitu luas sekomlpeks dan serumit zaman sekarang, akan tetapi masih sederhana.35

3. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Th 1974.

Dari penjelasan yang ada diatas, dapat diketahui bahwa didalam fikih tidak membicarakan secara jelas adanya pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan, tidak saja menempatkan soal pencatatan perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting, akan tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.

35

Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Huk um Perk awinan Islam dalam Huk um Nasional, h. 131.


(48)

Undang-Undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya peristiwa perkawinan. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pada pasal 2 ayat (2), yang berbunyi : (2) “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”36 Adapun formalitas yang diperlukan untu melangsungkan perkawinan diataur dalam pasal 3-11 PP No. 9 Th 1975, yaitu :

a. Memeberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan di langsungkan, Pasal (3).

b. Adanya pengumuman yang diselenggarakan oleh pegawai pencatat di kantor pencatatan perkawinan tentang kehendak untuk melangsungkan perkawinan itu, Pasal (8).

c. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat yang di hadiri oleh dua orang saksi dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, Pasal (9).

d. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai diharuskan menandatangani akta perkawinan, yang diikuti oleh kedua saksi, pegawai pencatat, dan wali nikah atau wakilnya bagi mereka yang beragama Islam, Pasal (10).

36


(49)

36

e. Untuk memberikan kepastian hukum tentang adanya perkawinan, kepada mempelai diserahkan kutipan akta nikah/perkawinan sebagai alat bukti, Pasal (11).37

Bagi yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, maka akan menanggung resiko yuridis, perkawinan akan dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalam kumpul kebo atau compassionate marriage.

Sedangkan soal sahnya perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

Jadi apabila rukun nikah telah lengkap, akan tetapi tidak didaftarkan maka nikah tersebut tetap sah, namun yang bersangkutan dapat dikenakan denda karena tidak mendaftarkan perkawinannya.

4. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Pencatatan perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th 1974 sebenarnya sudah lama disosialisasikan yaitu hampir selama 27 Th lebih, namun sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala, akan tetapi masyarakat dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan kedalam Undang-Undang No. 52 Th 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga (Lembaga Negara Republik Indonesia 2009). Upaya ini harus ada pensosialisasian oleh umat Islam dan Negara Republik Indonesia agar adanya kesinambungan.

37

Abd Shomat, Huk um Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Huk um Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 294-295.


(50)

Pada dasarnya dalam masyarakat sebenarnya sudah ada pemahaman fikih dari Imam Syafi’i yang telah membudaya, sehingga menurut paham mereka, perkawinan itu sudah dianggap sah dan cukup apabila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, walaupun tampa diikuti adanya pencatatan. kondisi seperti ini masih terjadi dalam masyarakat sampai sekarang, sehingga masih banyak ditemukan perkawinan di bawah umur. kenyataan yang terjadi dalam masyarat seperti ini merupakan suatu hambatan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan.

Berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Th 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam(KHI) masalah pencatatan ini diatur dalam Pasal 5-7 yaitu:

Pasal 5

1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 22 Th 1946 jo, Undang-Undang No. 32 Th 1954

Pasal 6

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.38

Pasal 7

38 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, “Studi

Kritis Perk embangan Huk um Islam dari Fik ih UU. No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana 2004), h. 123-124.


(51)

38

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan Isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

5. Prosedur Pencatatn Perkawinan.

Secara singgkat sebenarnya sudah jelas, apa yang tertulis dari buku pendoman Kantor Urusan Agama sudah sangat mudah dicerna oleh masyarakat, maka penulis cantumkan secara keseluruhan dan singgkat tentang prosedur pencatatan perkawinan, yaitu:

a. Persyaratan secara Umum

1. Adanya Calon Pengantin yang Beragama Islam.

2. Usia minimal harus 19 tahun bagi pria dan 16 tahun untuk wanita. 3. Adanya persetujuan kedua calon mempelai pengantin.

4. Tidak ada hubungan darah (saudara) atau yang dilarang agama antara kedua calon mempelai pengantin.

5. Calon pengantin wanita tidak sedang terkait perkawinan dengan orang lain.

6. Seorang janda harus sudah habis masa iddahnya. 7. Wali dan saksi harus beragama islam dan sudah baligh.


(52)

8. Calon pengantin, wali dan saksi harus sehat Akal.39 b. Persyaratan Secara Administrasi

1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sah. 2. Foto copy Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku. 3. Foto copy Ijazah atau Akta Kelahiran.

4. Foto copy Buku Nikah orang tua bagi wanita. 5. Pas foto bwarna ukuran 2x3 = 4 lembar.

6. Surat keterangan Model NI, N2, N4 ditanda tangani oleh Rt atau Kepala Desa atau Kelurahan.

7. Surat Persetujuan dari mempelai (Model N3).

8. Adanya Izin Orang Tua (Model N5) jika di bawah usia 19 tahun.

9. Surat Pernyatan Jejaka/Perawan bagi calon pengantin yang berumur 25 keatas, bermatrai Rp. 6000,.

10. Surat Rekomendasi Nikah bagi calon pengantin yang berada diluar wilayah.

11. Izin Pengadilan Agama jika pria berusia kurang dari 19 tahun dan wanita kurang dari 16 tahun.

12. Izin Pengadilan Agama bagi yang bepoligami.

13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang dari 10 hari.

14. Surat Kematian Suami/Istri bagi Janda/duda yang ditanda tangani oleh Rt,/Kepala Desa atau Kelurahan.40

39

Buku Pedoman Nikah “Prosedur-pencatatan-perkawinan” diakses pada tanggal 3 Mei 2015 dari http://http://gubuk hukum.blogspot.com.

40

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”, (Bandung : Al-Bayan, 2009), h. 47


(53)

40

Setelah terpenuhinya dan adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana yang dimaksud, maka perkawinan dapat dilangsungkan.41

Adapun tata caranya, yaitu surat pengumuman tersebut ditempel menurut formulir yang ditetapkan oleh Kantor Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

1. Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

2. selain meneliti terhadap hal-hal yang dimaksud, Pegawai Pencata Nikah juga memeriksa pula Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir. 3. Memerisa keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan

dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

4. Izin tertulis/izin Pengadilan apabila salah seorang belum mencapai usia 21 tahun

5. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah yang telah disediakan oleh Kantor Urusan Agama.

6. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang-kurangnya 10 hari masa kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.

41


(54)

7. Membayar Biaya Pencatatn Nikah.42

Adapun Pemeriksaan dan Pembinaan Calon Mempelai Pengatin

1. Setelah pendaftaran di terima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon pengantin dan Wali Nikah, diberi pembinaan dan kursus Calon Pengantin.

2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan mengenai tata cara Ijab Qabul kepada calon pengantin pria. 3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan,

atau membantu melangsungkan, mencatat, menyaksikan pernikahan yang tidak terpenuhi persaratannya.43

Sedangkan Pelaksanan Akad Nikah yakni :

1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu atau Petugas Kantor Urusan Agama.

2. jika dilakukan oleh Wali Nikah, maka wali nikah dapat mewakilkan ijab qabul kepada orang lain yang memenuhi persyaratan atau kepada Penghulu.44

E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat.

Perkawinan yang tidak tercatat itu bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) yang menyatakan, “bahwa setiap perkawinan harus di catatkan”. oleh karena itu meskipun secara agama

42

H. Abdul Manan, Pok ok -Pok ok Huk um Perdata, Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14-15.

43

Ahmad Rofiq, Huk um Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 116-117.

44


(55)

42

dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan pengawasan pencatatan nikah tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan dianggap tidak sah dimata hukum, maka tentulah akibat hukum perkawinan tersebut sangat berdampak negatif, sangat merugikan khususnya bagi pihak istri dan perempuan umumnya.

Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian hidup atau di tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Disamping itu bagi setatus anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah menurut hukum, dan hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya saja.45

Anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya, perkawinan yang tidak tercatat sangat berdampak merugikan. Ada beberapa dampak negatif dari pada perkawinan yang tidak tercatat menurut undang-undang yaitu:

1. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata negara perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama.

2. Akan mengalami kesulitan dalam hal administratif.

3. Tidak memiliki sebuah dokumentasi resmi (akta nikah) yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan, ketika ada

45

Mardani, Huk um Perk awinan di Dunia Islam Moderen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 17.


(56)

sengketa yang berkaitan dengan perkawinan, maupun sengketa yang lahir akibat perkawinan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah dan lainya.

4. Hak asuh anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan maka hak asuhnya jatuh kepada istri jika terjadi perceraian.

5. Nafkah dan warisan terhadap perkawinan yang tidak tercata diselesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi biasanya ketika terjadi perceraian suami tidak memberikan nafkah kepada istri.46


(57)

44 BAB III

PROFIL DESA PARAKAN MUNCANG BOGOR KECAMATAN NANGGUNG

A. Sejarah Singkat Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung. Pada tahun 2011, Kabupaten Bogor menambahkan dua desa yang dimekarkan. Kedua desa tersebut adalah Desa Parakan Muncang di Kecamatan Nanggung, dengan bentukan baru Desa Batu Tulis dan yang kedua bernama Desa Gunung Mulya yang berada di Kecamatan Tenjolaya, dengan adanya bentukan baru Desa Gunung Mulya tersebut maka Pemekaran di Kabupaten Bogor bertambah jumlah menjadi 4131.

Pada saat ini Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung dipimpin oleh seorang Lurah Ahmad Yani sejak tahun 2011 hingga kini, dalam masa kepemimpinannya, beliau membangun berbagai sarana-prasarana sosial atau umum secara bergotong-royong dengan masyarakat seperti halnya membangun Kantor Lurah, Pos Yandu, Pos Keamanan dan lainnya. disamping itu beliau juga mengembangkan berbagai sektor pertanian dan perternakan. sehingga desa tersebut mampu bersaing terhadap desa-desa yang lain.2

Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung memiliki wilayah sekitar kurang lebih 354.874Ha, dengan jumlah penduduk sekitar 6.368 jiwa dan terdiri dari 1.661 kepala keluarga (KK) yang memiliki 9 kampung dan terbagi ke

1

Desa Parakan Muncang Bogor, “ Sejarah Desa Parakan Muncang Bogor” diakses pada tanggal 8 April 2015 dari http://desa-parakanmuncang.blogspot.com/.

2


(58)

dalam 9 RW (Rukun Warga) dan 31 RT (Rukun Tetangga). Adapun kampung-kampung tersebut sebagai berikut:3

1. Kampung Baru 2. Kampung Cogreg 3. Kampung Pasir Saga

4. Kampung Parakan Muncang 5. Kampung Pakapuran 1 6. Kampung Pakapuran 2 7. Kampung Pasir Ahad 1 8. Kampung Pasir Ahad 2 9. Kampung Lukut

B. Letak dan Gambaran Kondisi Geografis. 1. Letak Kondisi Geografis.

Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung adalah salah satu Kecamatan yang berada di Propinsi Jawa Barat, secara geografis wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung memililiki luas wilayah kurang lebih 354.874Ha berada pada 50 M diatas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata mencapai 100/600 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 260-300 C.4 Seperti yang dapat kita lihat pada tabel sebagai berikut:

3

Ahmad Yani, Wawancara, Bogor di Kantor Lurah (Kamis, 16 April 2015 pukul 10.15 Wib).

4


(59)

46

Tabel 3.1

Kondisi Geografis Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung

N0 Kondisi Georafis Keterangan

1 Ketinggian Tanah di Atas Permukaan Laut 50 M2

2 Rata-Rata Curah Hujan 100/600 mm/thn

3 Suhu Udara 260_300 C

Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung dapat ditempuh dengan Orbitasi dan jarak tempuh sebagai berikut :

Tabel 3.2

Orbitrasi (jarak dari pusat kota pemerintahan ke desa)

NO Orbitasi dan Jarak Tempuh Keterangan

1 Jarak dari pusat Kecamatan 2 Km 2 Jarak dari pusat Kota/Kabupaten 61 Km 3 Jarak dari Ibu Kota ke Propinsi 156 Km 4 Jarak dari Ibu Kota ke Negara 95 Km

Adapun batas-batas wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:


(60)

Tabel 3.3

Batas-Batas Wilayah Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung

NO Batas Wilayah Keterangan

1 Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Desa Batu Tulis 2 Sebelah Timur Berbatasan dengan Kecamatan Desa Kalongliud 3 Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Desa Nanggung 4 Sebelah Barat Berbatasan dengan Kecamatan Desa Sukaraksa

2. Letak Demografis.

Untuk melaksanakan fungsi pemerintahan di Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung, maka Bupati bogor mengangkat seorang Pejabat Kepala Desa dan dibantu oleh beberapa staf kelurahan, Desa Parakan Muncang Bogor Kecamatan Nanggung terdiri dari 9 RW (Rukun Warga) 9 Kampung, dan 31 RT (Rukun Warga) dengan gambaran sebagai berikut:


(1)

(2)

Lampiran foto

Foto peneliti dengan Bapak Agus Hasanudin, S.HI, Kepala KUA Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul : 9.00 WIB) di Kantor Urusan Agama

Foto peneliti dengan Bapak Anwar Sajili, Sekretaris KUA sebagai pencatatat nikah di Desa Parakan Muncang Bogor, (selasa,12 Mei 2015 pukul : 9.15 WIB) di Kantor Urusan Agama


(3)

Lampiran foto

Foto peneliti dengan Bapak H. Bajri Tokoh Agama Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.30) di rumah Bapak H. Bajri

F


(4)

Lampran foto

Foto Peneliti dengan respnden Ibu Siti Aisyah, Pelaku Nikah Muda Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 14.30) di rumah Ibu Dede Sukaisi


(5)

Foto Peneliti dengan orang tua pelaku nikah di bawah umur yang tertunda pencatatannya di Kantor Urusan Agama (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 16.45) di rumah kediaman beliau

Lampiran foto

Foto Peneliti dengan respnden Ibu Siti Aisyah, Pelaku Nikah Muda Desa Parakan Muncang Bogor, (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 16.15) di rumah Ibu Siti Aisyah


(6)

Foto Peneliti dengan orang tua pelaku nikah di bawah umur yang tertunda pencatatannya di Kantor Urusan Agama (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 17.00) di rumah kediaman beliau