Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.

30 f Asas Memperbaiki derajat kaum wanita. g Asas Legalitas. 26 Maka apabila disederhanakan, asas perkawinan ini mengandung arti bahwa : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing- masing. c. Asas Monogami d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit perceraian f. Hak dan Kedudukan Kewajiban suami istri harus seimbang. 27 Maka dalam hal ini, masalah usia perkawinan terdapat pada poin ke empat yakni “ bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya” bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya untuk dapat mewujutkan tujuan perkawinan yang baik tampa berahir dengan perceraian. 28 Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berfikir dan kematangan bertindak.

D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.

Perkawinan adalah merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang, dan masa yang akan datang, Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat mitsaqan ghalidza, ikatan yang suci transeden, suatu 26 Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata Islam di Indonesia , h. 6. 27 Muhammad Amin Suma, Huk um Keluarga Islam di Indonesia, h. 173. 28 Amir Syarifuddin, Huk um Perk awinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munak ahat dan Undang-Undang Perk awinan, Jakarta: Pranada Media Kencana, 2007, h. 27. 31 perjanjian yang mengandung makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia yang terhormat, oleh kaena itu, hubungan tersebut dipandang sebagi ibadah. 29 Perkawinan merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum, maka tentu saja menimbulkan hukum berupa hak dan kewajiban bagi kedua antara suami istri. Setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan maka harus dilaksanakan secara sah pula yaitu terpenuhi syarat dan rukunnya serta harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama bagi yang Beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi mereka yang diluar Agama Islam.

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan

. Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh negara terhadap peristiwa perkawinan itu. Dalam hal ini Pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara seorang calon suami dan calon istri. 30 Kegiatan pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujutkan suatu ketertiban perkawinan didalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah yang diatur dalam perundang-undangan, ini untuk melindungi harkat, martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dalam rumah tangga. Dari itu melalui pencatatan 29 Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Huk um Perk awinan Islam dalam Huk um Nasional, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 127. 30 M. Zain dan Mukhtar Ashodiq, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draf KHI yang Kontoversial itu, Jakarta: Graha Cipta, 2005, h. 26. 32 perkawinan yang dibuktikan melalu Akta Nikah atau Akta Perkawinan adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama sebagai bukti bahwa telah terjadi suatu peristiwa perkawinan berdasarka laporan Pegawai Pencatat Nikah. Dengan dicatatkannya perkawinan seseorang itu sangat penting, misalkan saja jika terjadi perselisihan atau pertengkaran diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum untuk memperoleh hak-haknya masing-masing, karena dengan akta tersebut suami istri memeliki bukti otentik sebagai perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. 31 Dengan itu dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas baik buat yang bersangutan maupun bagi orang lain dan masyarakat disamping itu memiliki kekuatan hukum yang kuat. 32 Yang mana dapat digunakan jika diperlukan, terutama sebagai alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu maka dapatlah dibenarkan secara hukum.

2. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan Menurut Islam.

Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam akan tetapi dilihat dari segi kemanfaatannya, maka pencatatan perkawinan sangatlah diperlukan. 33 al-Quran dan Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai 31 Djaja S. Meliala, Huk um Perdata dalam Persepek tif BW, Bandung : Nuansa Aulia, 2012, h.56-57. 32 Shaleh K. Wantjik, Huk um Perk awinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978, h. 17. 33 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, h. 123. 33 pencatatan perkawinan, namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya adanya pencatatan perkawinan. 34 Kalau dilihat dalam Qs. al-Baqarah ayat: 282 isinya mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum, bahkan dijelaskan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan merupakan salah satu rukun. Firman Allah dalam Qs al-Baqarah ayat 2: 282:                                      .... Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.” [QS. Al-Baqarah 2: 282]. Sampai saat ini belum di temukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkwawinan dan pembuktian dengan Akata Nikah tidak dianalogikan kepada ayat tesebut. Kalau ditinjau pencatatan perkawinan dizaman Nabi, S ahabat, dan Tabi’in secara detail maka tidak akan ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawianan pada sumber hukum Islam yaitu al- Qur’an maupun Hadis serta Ijitihad pendapat 34 Zainuddin Ali, Huk um Perdata Islam di Indonesia, h. 26. 34 ulama dalam kitab-kitab klasik secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan perkawinan. Adapun kenapa pada zaman Nabi perkawinan tidak dicatat adalah: 1. Budaya tulis-baca khususnya di kalangan orang arab Jahiliyyah masih jarang, oleh karena itu, orang arab lebih mengandalkan pada daya ingatannya hafalan ketimbang tulisan. 2. Perkawinan bukan syariat baru dalam islam, ia merupakan syariat Nabi- nabi terdahulu yang secara terus menerus diturunkan. Setelah Islam datang maka secara perlahan-lahan Islam membenahi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. 3. Pada masyarakat zaman dahulu budaya nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih sangat kuat. 4. Problematika yang timbul pada zaman dahulu belum begitu luas sekomlpeks dan serumit zaman sekarang, akan tetapi masih sederhana. 35

3. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Th 1974.

Dari penjelasan yang ada diatas, dapat diketahui bahwa didalam fikih tidak membicarakan secara jelas adanya pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan, tidak saja menempatkan soal pencatatan perkawinan sebagai suatu hal yang sangat penting, akan tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan. 35 Yayan Sopyan, Islam Negara, Tranformasi Huk um Perk awinan Islam dalam Huk um Nasional, h. 131. 35 Undang-Undang Perkawinan menempatkan pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya peristiwa perkawinan. Hal tersebut diatur oleh Undang-Undang Perkawinan tentang Pencatatan Perkawinan pada pasal 2 ayat 2, yang berbunyi : 2 “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.” 36 Adapun formalitas yang diperlukan untu melangsungkan perkawinan diataur dalam pasal 3-11 PP No. 9 Th 1975, yaitu : a. Memeberitahukan kehendak untuk melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan yang akan di langsungkan, Pasal 3. b. Adanya pengumuman yang diselenggarakan oleh pegawai pencatat di kantor pencatatan perkawinan tentang kehendak untuk melangsungkan perkawinan itu, Pasal 8. c. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat yang di hadiri oleh dua orang saksi dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, Pasal 9. d. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai diharuskan menandatangani akta perkawinan, yang diikuti oleh kedua saksi, pegawai pencatat, dan wali nikah atau wakilnya bagi mereka yang beragama Islam, Pasal 10. 36 Sayuti Thalib, Huk um Kek eluargaan Islam, Jakarta: UI, 1974, h. 73. 36 e. Untuk memberikan kepastian hukum tentang adanya perkawinan, kepada mempelai diserahkan kutipan akta nikahperkawinan sebagai alat bukti, Pasal 11. 37 Bagi yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan melangsungkan perkawinan di hadapan pegawai pencatat nikah, maka akan menanggung resiko yuridis, perkawinan akan dikualifikasikan sebagai perkawinan liar dalam kumpul kebo atau compassionate marriage. Sedangkan soal sahnya perkawinan telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi , “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing- masing agama dan kepercayaannya itu”. Jadi apabila rukun nikah telah lengkap, akan tetapi tidak didaftarkan maka nikah tersebut tetap sah, namun yang bersangkutan dapat dikenakan denda karena tidak mendaftarkan perkawinannya.

4. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam KHI.

Pencatatan perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Th 1974 sebenarnya sudah lama disosialisasikan yaitu hampir selama 27 Th lebih, namun sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala- kendala, akan tetapi masyarakat dianggap sudah tahu karena sudah dimasukan kedalam Undang-Undang No. 52 Th 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pengembangan Keluarga Lembaga Negara Republik Indonesia 2009. Upaya ini harus ada pensosialisasian oleh umat Islam dan Negara Republik Indonesia agar adanya kesinambungan. 37 Abd Shomat, Huk um Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Huk um Islam, Jakarta: Kencana, 2010, h. 294-295. 37 Pada dasarnya dalam masyarakat sebenarnya sudah ada pemahaman fikih dari Imam Syafi’i yang telah membudaya, sehingga menurut paham mereka, perkawinan itu sudah dianggap sah dan cukup apabila syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, walaupun tampa diikuti adanya pencatatan. kondisi seperti ini masih terjadi dalam masyarakat sampai sekarang, sehingga masih banyak ditemukan perkawinan di bawah umur. kenyataan yang terjadi dalam masyarat seperti ini merupakan suatu hambatan dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan Instruksi Presiden RI No. 1 Th 1991 tentang Kompilasi Hukum IslamKHI masalah pencatatan ini diatur dalam Pasal 5-7 yaitu: Pasal 5 1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatatan perkawinan pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang No. 22 Th 1946 jo, Undang-Undang No. 32 Th 1954 Pasal 6 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 38 Pasal 7 38 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, “Studi Kritis Perk embangan Huk um Islam dari Fik ih UU. No 11974 sampai KHI, Jakarta: Kencana 2004, h. 123-124. 38 1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan Isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. 3. Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

5. Prosedur Pencatatn Perkawinan.

Secara singgkat sebenarnya sudah jelas, apa yang tertulis dari buku pendoman Kantor Urusan Agama sudah sangat mudah dicerna oleh masyarakat, maka penulis cantumkan secara keseluruhan dan singgkat tentang prosedur pencatatan perkawinan, yaitu: a. Persyaratan secara Umum 1. Adanya Calon Pengantin yang Beragama Islam. 2. Usia minimal harus 19 tahun bagi pria dan 16 tahun untuk wanita. 3. Adanya persetujuan kedua calon mempelai pengantin. 4. Tidak ada hubungan darah saudara atau yang dilarang agama antara kedua calon mempelai pengantin. 5. Calon pengantin wanita tidak sedang terkait perkawinan dengan orang lain. 6. Seorang janda harus sudah habis masa iddahnya. 7. Wali dan saksi harus beragama islam dan sudah baligh. 39 8. Calon pengantin, wali dan saksi harus sehat Akal. 39 b. Persyaratan Secara Administrasi 1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk KTP yang sah. 2. Foto copy Kartu Keluarga KK yang masih berlaku. 3. Foto copy Ijazah atau Akta Kelahiran. 4. Foto copy Buku Nikah orang tua bagi wanita. 5. Pas foto bwarna ukuran 2x3 = 4 lembar. 6. Surat keterangan Model NI, N2, N4 ditanda tangani oleh Rt atau Kepala Desa atau Kelurahan. 7. Surat Persetujuan dari mempelai Model N3. 8. Adanya Izin Orang Tua Model N5 jika di bawah usia 19 tahun. 9. Surat Pernyatan JejakaPerawan bagi calon pengantin yang berumur 25 keatas, bermatrai Rp. 6000,. 10. Surat Rekomendasi Nikah bagi calon pengantin yang berada diluar wilayah. 11. Izin Pengadilan Agama jika pria berusia kurang dari 19 tahun dan wanita kurang dari 16 tahun. 12. Izin Pengadilan Agama bagi yang bepoligami. 13. Rekomendasi Camat untuk pendaftaran kurang dari 10 hari. 14. Surat Kematian SuamiIstri bagi Jandaduda yang ditanda tangani oleh Rt,Kepala Desa atau Kelurahan. 40 39 Buku Pedoman Nikah “Prosedur-pencatatan-perkawinan” diakses pada tanggal 3 Mei 2015 dari http: http:gubuk hukum.blogspot.com. 40 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”, Bandung : Al-Bayan, 2009, h. 47 40 Setelah terpenuhinya dan adanya kesepakatan antara pihak pria dan pihak wanita untuk melangsungkan perkawinan, yang kemudian kesepakatan itu diumumkan oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah dan tidak ada keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana yang dimaksud, maka perkawinan dapat dilangsungkan. 41 Adapun tata caranya, yaitu surat pengumuman tersebut ditempel menurut formulir yang ditetapkan oleh Kantor Pencatat Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. 1. Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. 2. selain meneliti terhadap hal-hal yang dimaksud, Pegawai Pencata Nikah juga memeriksa pula Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir. 3. Memerisa keterangan mengenai nama, agamakepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai. 4. Izin tertulisizin Pengadilan apabila salah seorang belum mencapai usia 21 tahun 5. Mengisi Formulir Pendaftaran Nikah yang telah disediakan oleh Kantor Urusan Agama. 6. Pendaftaran harus sudah diterima Kantor Urusan Agama sekurang- kurangnya 10 hari masa kerja sebelum akad nikah dilangsungkan. 41 Zainuddin Ali, Huk um Perdata Islam di Indonesia, h. 28. 41 7. Membayar Biaya Pencatatn Nikah. 42 Adapun Pemeriksaan dan Pembinaan Calon Mempelai Pengatin 1. Setelah pendaftaran di terima oleh Kantor Urusan Agama, kedua calon pengantin dan Wali Nikah, diberi pembinaan dan kursus Calon Pengantin. 2. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan mengenai tata cara Ijab Qabul kepada calon pengantin pria. 3. Penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama dilarang melangsungkan, atau membantu melangsungkan, mencatat, menyaksikan pernikahan yang tidak terpenuhi persaratannya. 43 Sedangkan Pelaksanan Akad Nikah yakni : 1. Akad Nikah dilangsungkan dihadapan Penghulu atau Petugas Kantor Urusan Agama. 2. jika dilakukan oleh Wali Nikah, maka wali nikah dapat mewakilkan ijab qabul kepada orang lain yang memenuhi persyaratan atau kepada Penghulu. 44

E. Dampak Perkawinan Tidak Tercatat.