Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Positif.

26 لازىررضلا Mudharat atau Malapetaka itu harus dihilangkan. Walaupun perkawinan di bawah umur terdapat manfaat dan maslahatanya, namun mudharat dan resikonya jauh lebih besar dari pada manfaat dan kemaslahatannya. Oleh karena itu sudah seharusnya perkawinan di bawah umur itu ditunda hingga orang tersebut mencapai usia dewasa matang baik secara fisik, psikis maupun mentalnya. 20 Dengan memperhatikan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh para ulama tersebut, baik yang memperbolehkan perkawinan di bawah umur maupun yang tidak memperbolehkannya, maka penulis lebih condong kepada para pendapat ulama yang tidak memperbolehkan perkawinan bagi gadis yang masih berusia muda atau yang belum baligh yang dikenal perkawinan di bawah umur dengan alasan bahwa perkawinan diusia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina rumah tangga yang sejahtera. Dimana kegagalan tersebut sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah bagi kedua belah pihak tersebut.

C. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Positif.

Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur perkawinan 19 enam belas tahun bagi pria 16 sembilan belas tahun bagi wanita diharapkan lajunya angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, 20 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih, secarah k aidah-k aidah Azasi, Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada, 2002, h. 105. 27 dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring sejalan dengan Undang-Undang ini. 21 Sehubungan dengan hal itu, maka perkawinan di bawah umur sesungguhnya dilarang keras dan harus dicegah kegiatannya. Pencegahan ini semata-mata didasarkan agar kedua belah pihak mempelai dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan yang mereka langsungkan itu sebagaimana yang tertulis dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 yang mengatakan bahwa “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia atau kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” 22 Pengertian perkawinan sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 tersebut perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, karena itu merupakan landasan pokok dari aturan hukum lebih lanjut baik yang terdapat dalam Undang-Undang No 1 Th 1974 maupun dalam peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, maka kondisi perkawina di Indonesia secara umum dapat dikatagorikan mempunyai pola perkawinan usia muda. Sehingga perkawinan diusia muda menyebabkan tingkat kematian ibu dan bayi meningkat semakin tahun, maka dari itu beberapa negara muslim juga membatasi perkawinan usia muda. secara global usia muda dimulai sejak umur 12 dua belas tahun dan berakhir sampai 21 dua puluh satu tahun. 23 21 Ahmad Tholabi Kharlie, Huk um Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 202. 22 Abdul Manan, Anek a Masalah Huk um Perdata Islam di Indonesia , Jakarta: Putra Grafika, 2006, h. 11. 23 Ahmad Tholabi Kharlie, Huk um Keluarga Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, h. 205. 28 Menurut seorang Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seorang memasuki hidup berumah tangga maka seorang wanita harus berusia 20 dua puluh tahun sedangkan untuk pria itu 25 dua puluh lima tahun. 24 Hal ini di perlukan karena zaman moderen menuntut untuk mewujutkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial. Sedangkan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu calon mempelai atau keduanya yang belum memenuhi syarat umum yang ditentukan secara Undang-Undang yang berlaku, dalam hal ini pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang perkawinan menyebutkan batasan usia perkawinan itu adalah “perkawinan diizinkan hanya jika pihak pria telah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan jika pihak wanita sudah mencapai usia 16 enam belas tahun. Namun dalam pelaksanaan pasal tersebut tidak terdapat keharusan mutlak karena dalam ayat yang lain yaitu ayat 2 menerangkan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diduga, misalnya mereka yang belum mencapai usia 19 sembilan belas tahun bagi pria dan belum mencapai 16 enam belas tahun bagi wanita karena pergaulan bebas kumpul kebo dan sebagainya, sehingga wanita tersebut hamil sebelum perkawinan, dalam hal ini Undang-Undang No 1 Th 1974 masih memberikan keringanan dengan meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang berkompeten dalam hal ini. 24 Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menik ah, Problematik a Huk um Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Perdaus 1989, h. 70. 29 Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam KHI menyebutkan “untuk dapat melangsungkan Perkawinan bagi seorang calon mempelai yang belum mencapai usia 21 dua puluh satu tahun bagi pria dan 16 enam belas tahun bagi wanita maka harus mendapat izin kedua orang tua”. Namun jika orang tua tidak mampu menyatakan kehendaknya maka dapat dilakukan oleh wali, atau orang yang merawatnya atau keluarga sedarah dalam garis keturunan ke atas pasal 7 ayat 3 UU No. 1 Th 1974. 25 Sebenarnya berapapun usia seseorang untuk melangsungkan perkawinan, pada dasarnya harus memiliki kematangan fisik dan psikis sebelum mengarungi bahtera rumah tangga, karena didalam rumah tangga pasti akan ada cobaan, ujian yang nantinya akan menguras emosi dan keegoisan dari masing-masing pasangan. Untuk itu tampa kematangan dan kedewasaan maka rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah tampak akan sulit terwujut. Selain itu ada juga asas-asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang mengharuskan setiap pasangan yang melangsungkan perkawinan harus adanya kematangan dari Calon Mempelai, sebagai mana yang terdapat dalam asas-asas Undang-Undang Perkawinan yaitu : a Asas Sukarela. b Asas Partisipasi keluarga. c Asas Perceraian di persulit. d Asas Poligami dibatasi dengan ketat. e Asas Kematangan calon mempelai. 25 Hilman Hadikusuma. Huk um Perk awina Indonesia Menurut Perundangan, Huk um Adat, Huk um Agama, Bandung: Mandar Maju,1990, h. 7. 30 f Asas Memperbaiki derajat kaum wanita. g Asas Legalitas. 26 Maka apabila disederhanakan, asas perkawinan ini mengandung arti bahwa : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. b. Sahnya Perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing- masing. c. Asas Monogami d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit perceraian f. Hak dan Kedudukan Kewajiban suami istri harus seimbang. 27 Maka dalam hal ini, masalah usia perkawinan terdapat pada poin ke empat yakni “ bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya” bahwa calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya untuk dapat mewujutkan tujuan perkawinan yang baik tampa berahir dengan perceraian. 28 Kematangan yang dimaksud adalah kematangan umur perkawinan, kematangan berfikir dan kematangan bertindak.

D. Proses Pencatatan Perkawinan di Bawah Umur.