Secara berangsur-angsur Jepang mengakui organisasi-organisasi Islam yang dibentuk oleh bangsa Indonesia.
11
Terbentuknya pengajian-pengajian baik di langgar, masjid, maupun di lapangan, biasanya mendatangkan kiai
terkenal. Pelaksanaan pengajian-pengajian itu tanpa ada pengawassan yang ketat dari pihak Jepang, karena Jepang memberikan kebebasan kepada rakyat
Indonesia meskipun itu merupakan salah satu siasat Jepang agar mendapat dukungan dari rakyat Indonesia untuk melawan sekutu.
12
Hukum Islam pada masa Jepang mendapatkan ruang yang terbuka bagi masyarakat Indonesia
untuk melakukan kegiatan keislamannya. Setelah Jepang kalah, Jepang memberikan janji kepada bangsa
Indonesia yaitu memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian Jepang membentuk BPUPKI, dalam sidang BPUPKI yang
membicarakan tentang dasar negara, di mana para tokoh muslim dan tokoh nasionalis memperdebatkan masalah dasar negara. Kubu muslim
menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, namun kaum nasionalis menginginkan Indonesia tidak berdasarkan Islam.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama akhirnya para kubu muslim dan nasional sepakat merumuskan lima dasar yang menjadi dasar
negara dengan nama Pancasila. Sila pertama dirumuskan “Ketuhanan Yang
Maha Esa” walaupun rumusan tersebut awalnya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Demi
11
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987. h. 23
12
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. h. 83-84.
menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, keberadaan hukum Islam tetap diperhatikan dan mendapat ruang di hati bangsa Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, dan dipimpin oleh Soekarno dan Moh Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, hukum Islam kurang mendapat
perhatian khusus dari pemerintah atau hukum Islam mengalami masa suram pada waktu itu.
13
Begitupun pada masa pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru sungguh sangat
tidak memihak kepada aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negara Indonesia, yang juga berjasa besar dalam setiap perjuangan bangsa.
Islam tidak mendapatkan ruang yang luas seperti yang diharapkan kaum muslimin di Indonesia. Ini sama halnya seperti mendaur ulang apa yang
dilakukan pemerintah Orde Lama terhadap Islam.
14
B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia
Indonesia dikenal dengan negeri muslim terbesar di dunia.
15
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-
Undang Dasar UUD 1945.
16
Konstitusi menjadi konsep dan kajian utama ilmu-ilmu kenegaraan ilmu administrasi negara, politik, pemerintahan,
13
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, h. 108.
14
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan P
embangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Anggota IKAPI, 1999, h. 119.
15
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, h. 97.
16
Ibid., h. 63.
hukum tata negara dan ilmu negara sendiri.
17
Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar tentu mempunyai hubungan erat dengan
agama. Agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbukti dalam ucapan, keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman
itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Kesadaran akan iman atas ajaran agama Islam yang dipeluknya di dalam jaringan realitas dunia yang
menyangkut seantero hidup dan kehidupan pribadi dan masyarakat.
18
Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 UUD NRI 1945. UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan
yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana
tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam
UUD 1945 merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan.
19
Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum
yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin
17
Inu Kencana Syafi’i, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, h. 97.
18
Muhammad Said, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan Pengamanan Pancasila, Jakarta: Departemen Agama RI, 1985, h. 46.
19
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Segi tentang Prinsip-Prinsip dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta:
Kencana, 2007, h. 150-152.
atas pasal 29 ayat 1 UUD 45, hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut
penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan hukum Islam. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi
umat masing-masing agama bersangkutan.
20
Selanjutnya mengenai Islam dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945
memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam.
Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu,
“Ketuhanan yang Maha Esa
” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat 1 yaitu “Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.
Lebih lanjut pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 disebutkan yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat
disimpulkan bahwa UUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang berhubungan dengan aqidah keyakinan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan
sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar
nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan
20
M. Sularno, “Syariat Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia”, Al-
Mawardi, XVI, 2006, h. 211-212.
yang baik di masa nanti. Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama
sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila.
21
C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Sebagaimana
halnya dengan agama Islam yang universal sifat-sifatnya itu. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya.
Agama Islam misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragam Islam seperti Indonesia, unsur hukum agama harus
benar-benar diperhatikan. Tentang kedudukan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional, menurut Menteri Kehakiman Ali Said 1981-
1983 pada upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, di samping hukum adat
dan hukum eks-Barat, hukum Islam merupakan salah satu komponen tata hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan
hukum nasional.
22
21
Al- Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005, h. 84.
22
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 266-268.