Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan

57 sangat besar, dan apabila hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia tentu itu akan memakan waktu yang sangat lama untuk mensosialisasikannya ke masyarakat. 32 Menurut ketiga ulama NU di atas, hukuman itu tidak ada yang bertentangan, baik dengan ideologi negara, maupun dengan UUD. Karena pada prinsipnya hukuman itu bagaimana membuat si pelaku jera dan orang lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Begitupun dengan KUHP, hukuman potong tangan tidaklah bertentangan. Karena hukuman yang terdapat di dalam KUHP itu bersifat sementara yaitu hanya penjara dan denda saja, sedangkan kebanyakan para pelaku tidak merasa takut dan jera dengan hukuman penjara. 33 Untuk pelaksanaan hukuman potong tangan tersebut, tentunya harus ada pihak-pihak yang berwenang untuk menjatuhkan hukuman tersebut. Dalam hal ini ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa yang berhak untuk menjatuhkan hukuman potong tangan adalah pemerintah yaitu hakim, karena memang hakim lah yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap perkara. Namun, tentunya hal tersebut harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. 34 Mengenai cara pemberlakuanhukuman potong tangan, ketiga ulama NU di atas menyatakan haruslah melalui lembaga peradilan. Karena lembaga peradilanlah yang akan memproses setiap perkara, dan hukuman itu bukan 32 Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 33 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 34 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 58 semata-mata bebas diberlakukan oleh siapa saja, tetapi harus ada penanganan khusus dalam tata cara pemberlakukannya. 35 Untuk berat atau tidaknya hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia, menurut Cholil hukuman potong tangan tidaklah berat jika hukuman tersebut dipilih menjadi hukum nasional. Karena sesuai dengan apa yang mereka perbuat dan sesuai dengan syariat, apalagi hukuman tersebut tidak bertentangan dengan semangat berbangsa dan bernegara. Karena itu adalah nilai-nilai Islam yang menjadi hukum nasional. 36 Menurut Masdar bukan persoalan berat atau tidaknya, akan tetapi harus dilihat dari perbuatan itu sendiri. Jika memang perbuatan itu mengharuskan hukuman potong tangan, maka hukuman potong tangan tidaklah berat. Tetapi jika sebaliknya, maka tentunya hukuman itu dianggap terlalu berat. 37 Menurut Arwani juga bukan karena hukuman itu berat, Arwani setuju dengan hukuman berat. Akan tetapi yang menjadi persoalan Arwani adalah umat Islam berada diantara umat yang lain, dan mereka merasa keberatan dengan hukuman itu, khawatir umat Islam akan pindah dari Islam karena menganggap hukuman potong tangan terlalu berat jika diberlakukan di Indonesia. 38 Mengenai perlindungan terhadap pelaku yang dijatuhi hukuman potong tangan, menurut Masdar dan Cholil orang tersebut berhak 35 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 36 Wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta. 37 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta. 38 Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 59 mendapatkan perlindungan dari pemerintah, bahkan sebelum dihukum pun masyarakat tidak boleh menghakiminya atau menganiaya si pelaku tersebut. 39 Namun pendapat keduanya dibantah oleh Arwani, menurut Arwani seorang pelaku tindak kejahatan tidak dianggap mendapat perlindungan dari pemerintah. 40 Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim terbanyak, namun di samping itu ada juga agama lain yang diakui kedudukannya. Hukuman potong tangan adalah salah satu hukuman hudud dalam syariat Islam. Jika hukuman potong tangan telah diadopsi menjadi hukum negara, maka hukuman tersebut mengikat bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Ketiga ulama NU di atas menyatakan bahwa jika hukuman itu telah disepakati menjadi hukum yang berlaku di Indonesia, maka hukuman itu harus mengikat kepada siapa saja tanpa terkecuali baik muslim maupun non muslim, karena setiap hukuman yang telah dibuat adalah untuk kemaslahatan bersama. 41 Menurut ketiga ulama NU juga, kemungkinan besar hukuman potong tangan dapat diberlakukan di daerah Aceh. Karena kita ketahui bahwa Aceh adalah daerah istimewa yang mendapatkan otonomi khusus untuk menjalankan peraturannya sendiri. Karena ketentuan yang belum ada secara tekstual maka tidak dianggap bertentangan, tetapi jika ketentuan hukuman itu telah ada secara tekstual barulah hukuman itu dianggap bertentangan. 39 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta. 40 Wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 41 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 60 Apabila hukum itu belum termaktub di Indonesia, kemungkinan ada cela untuk dilegalisasikan. 42 Menurut ketiganya juga, meskipun hukuman itu diberlakukan di daerah Aceh tetap perlu diadakan penafsiran kembali. Dari penafsiran itu, maka akan diketahui ketentuan batas minimal dan maksimal serta alasan seseorang itu melakukan perbuatan yang diancamkan hukuman potong tangan. 43 Hukuman potong tangan merupakan hukuman hudud yang ketentuannya sudah diatur di dalam al- Qur’an. Menurut ulama NU jika hukuman itu sudah tertera di dalam al-Quran dan telah ada batas-batasnya serta ada yang melaksanakannya, maka hukuman potong tangan harus dilaksanakan dan tidak bisa diganti dengan hukuman yang lain seperti penjara. 44 Setiap hukuman tentu akan ada hikmah dan tujuannya, begitupun hukuman potong tangan yang merupakan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Menurut ketiga ulama NU di atas, hikmah dan tujuan hukuman potong tangan yaitu untuk kemaslahatan umum dan memberikan efek jera dan rasa takut kepada si pelaku atau kepada orang lain, dan masyarakat akan merasa terlindungi dengan adanya hukuman yang pasti. 45 42 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 43 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 44 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancara dengan Arwani Faisal di Jakarta. 45 Wawancara dengan Masdar Fuadi Mas’ud di Jakarta, wawancara dengan Cholil Nafis di Jakarta, wawancaradengan Arwani Faisal di Jakarta. 61

C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah Dan Nu Tentang

Hukuman Potong Dan Pemberlakuannya Di Indonesia Di atas telah dipaparkan masing-masing pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia. Pada bagian ini penulis akan membandingan kedua pendapat ulama Muhammadiyah dan NU, sebagai berikut: Pertama, hukuman potong tangan dalam syariat Islam. Ulama Muhammadiyah dan NU menyatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman bagi tindak pidana pencurian yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah ayat 38. Menurut ulama Muhammadiyah dan NU hukuman potong tangan sangat tepat diberikan kepada tindak pidana pencurian. Pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan di atas, merujuk pada konsep fiqih yang menyebutkan bahwa hukum potong tangan diberlakukan bagi pelaku pencurian yang telah terpenuhi syarat-syaratnya.Dalam kitab Kifayatul Akhyar dikemukakan enam syarat untuk dapat diberlakukan hukuman potong tangan, yaitu sebagai berikut: 46 1 Baligh, 2 Berakal, 3 Mencapai satu nisab, yaitu seperempat dinar, 4 Harta itu milik orang lain, 5 Harta tersebut tidak terdapat kesyubhatan, 46 Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I, Semarang: Maktabah Wamut ba’ah Putra Semarang, tt, h. 188-192. 62 6 Tangan kanan pencuri dipotong dibatas pergelangan. Kalau ia mencuri yang kedua kalinya, kaki kirinya dipotong. Kalau ia mencuri ketiga kalinya, tangan kirinya dipotong. Kalau ia mencuri yang keempat kalinya, kaki kanannya dipotong. Kalau ia mencuri lagi setelah itu, maka ia ditakzir. Dalam Islam, pencurian merupakan salah satu jarimah hudud, di mana hudud ialah hukuman yang didalamnya terdapat hak Allah yang disyariatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Jika hukuman yang di dalamnya terdapat hak Allah, maka hukuman tersebut harus dilaksanakan sesuai yang diperintahkan. 47 Meskipun hukuman potong tangan dianggap sangat tidak manusiawi bagi mereka yang menentangnya, hal itu tidaklah seperti yang mereka fikirkan. Karena pada perakteknya hukuman potong tangan dilaksanakan berdasarkan konteks yang terdapat dalam Qs. Al-Maidah ayat 38. 48 Hukuman potong tangan lebih efektif dibandingkan dengan hukuman lain seperti penjara, karena hukuman potong tangan dampaknya dapat dirasakan lagsung baik oleh pelaku maupun orang lain. Kedua, tujuan hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU ialah sebagai efek jera terhadap pelaku atau terhadap orang lain. Efek jera yang dimaksud ialah agar mereka merasa takut terhadap hukuman yang diancamkan dan dapat mengurangi tindak kejahatan. 47 Mardani, Kejahatan Pencurian dalam hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam,Jakarta:Indhil CO, t.th, h. 19. 48 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h. 82 63 Tujuan hukuman potong tangan menurut ulama Muhammadiyah dan NU diatas tidak berbeda jauh dengan salah satu teori pemidanaan, yaitu teori penjeraan Detterence, afschrikking . Menurut teori penjeraan ini ditujukan terhadap pelanggar hukum yang diwujudkan dalam bentuk pemidanaan. Alasan teori ini dilandasi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa ancaman pidana yang dibuat oleh pemerintah akan mencegah atau membatasi terjadinya kejahatan. 49 Dari teori penjeraan tersebut maka dengan sendiri akan timbul tujuan pencegahan dan perbaikan terhadap pelaku dan orang lain. Pencegahan yang dimaksud dalam hal ini ialah menahan pelaku dan orang lain agar tidak melakukan perbuatan jarimah. sedangkan perbaikan ditujukan agar pelaku menjadi orang yang lebih baik dan menyadari kesalahannya. 50 Dari teori pemidanaan di atas, jelas sekali bahwa pemidanaan yang diberikan kepada pelaku tindak kejahatan bukan untuk menyakiti, tetapi semata-mata dilakukan agar pelaku tindak kejahatan dan masyarakat umum tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Dengan demikian, akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Ketiga, dalam pelaksanaan hukuman potong tangan, ulama Muhammadiyah dan NU menyatakan hal yang sama yaitu pelaksanaannya dilakukan oleh hakim melalui lembaga peradilan. Karena menurut keduanya, hakim ialah orang yang mempunyai wewenang dalam menjatuhkan setiap 49 S.R. Sianutri dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penetensia di Indonesia, Jakarta: Alumni AHAEM –PETEHAEM, 1996, h. 25. 50 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h. 137-138. 64 hukuman, dan lembaga peradilan dalam tugasnya ialah mengadili setiap perkara berdasarkan keputusan hakim. Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah, bahwa yang berhak melaksanakan hukuman hudud adalah penguasa atau para hakim yang diberi kekuasaan oleh penguasa. 51 Begitupun dalam perundang-undangan Indonesia, hakim mempunyai wewenang dalam pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia yang terdapat pada BAB IX pasal 24 yang terdiri dari dua ayat sebagai berikut: 1 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan Kehakiman menurut undang-undang. 2 Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. 52 Menurut UUD 1945, setiap instansi atau lembaga atau jawatan yang disebut pengadilan adalah aparat atau bagian pelaksanaan dari kekuasaan kehakiman. 53 Hakim dan lembaga peradilan merupakan dua elemen yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Karena semua ketentuan yang telah diatur di dalam undang-undang maka dalam pelaksanaannya tidak bisa dilakukan oleh perorangan dan di luar ketentuan yang berlaku. Keempat, ulama Muhammadiyah dan NU setuju jika hukuman potong tangan diberlakukan di Indonesia. Menurut keduanya ada kemungkinan besar 51 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor: Kharisma Ilmu, t.th,h. 180 52 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 53 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 50.