Tinjauan PustakaPenelitian Terdahulu Sistematika Pembahasan

8 Penelitian, 4 Tinjauan Pustaka, 5 Metode Penelitian, dan 6 Sistematika Pembahasan. Bab kedua berjudul “Hukuman Potong Tangan dalam Hukum Pidana Islam”. Di dalam bab ini menyajikan uraian tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dalam hukum pidana Islam. Bab ini terdiri atas 5 lima sub- bab utama, yaitu 1 Pengertian Potong Tangan, 2 Dasar Hukum Potong Tangan bagi Tindak Pidana Pencurian, 3 Hukuman Potong Tangan bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih, 4 Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan, dan 5 Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan. Bab ketiga berjudul “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia”. Bab ini menyajikan bagaimana kedudukan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat 4 sub- bab utama, yaitu 1 Sejarah Hukum Islam di Indonesia, 2 Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia, 3 Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia, dan 4 Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Bab keempat yaitu “Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia ”. Dalam bab ini diuraikan analisis perbandingan pandangan para ulama tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia. Bab ini menyajikan tiga 3 sub-bab utama yaitu: 1. Pandangan Ulama Muhammadiyah tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia 2. Pandangan UlamaNU tentang Hukuman Potong Tangan dan 9 Pemberlakuannya di Indonesia 3. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia. Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok inti temuan penelitian yang dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian. 10

BAB II HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM

A. Pengertian Potong Tangan

Secara bahasa, potong tangan dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata, yaitu ق عط dan د ا . Kata عطق merupakan isim masdar dari lafadz عطق - عطقي - عطق yang berarti memotong atau memutuskan, 1 sedangkan kata د ا merupakan isim dari lafadh عا او ا : دْيا د ا yang berarti tangan, lengan. 2 Secara istilah potong tangan berarti memotong atau memutuskan tangan mulai dari telapak tangan sampai pergelangan. Definisi di atas sama dengan definisi menurutempat Imam Madzhab, U lama Zahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, yang mendefinisikan hukuman potong tangan yaitu memotong tangan pelaku pencurian mulai dari telapak tangan sampai pergelangan tangan. 3 Karena menurut mereka batas minimal dari tangan ialah mulai dari jari sampai pergelangan tangan.

B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian

Potong tangan adalahhukuman yang sangat asasi dalam pencurian. Oleh karenanya tidak hapus dengan adanya pemaafan, baik dari korban maupun dari penguasa. Hukuman ini tidak boleh diganti dengan hukuman 1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, t.t, h. 348. 2 Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, h. 1697 3 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid V, Bogor: Kharisma Ilmu, t.th, h. 179 lain atau yang lebih ringan dari padanya. 4 Allah berfirman di dalam al- Qur’an surah al-Maidah ayat 38 sebagai berikut: ءازج امهيدْيأ اْوعطْقاف ق اّ ا اّ ا امب . ْ حزْيزع ها ها اا ا ّك : دئام ا 3 “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagiapa yang mereka kerjakan dan sebagaisiksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”. 5 Asbab Al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat ini disebutkan dalamsebuah riwayat dalam sebuah peristiwa pencurian pada masa Nabi SAW. Seorang laki-laki mencuri sekarung gandum milik tetangganya, mengambil dan menyimpannya di rumah seseorang. Karena karung itu sobek, maka ia dapat dilacak. Sementara itu, si empunya mengadu kepada Nabi SAW tentang barangnya yang dicuri serta mencurigai tetangganya yang ternyata benar. Nabi SAW tak menyukai hal ini bahwa ia mencurigai tetangganya yang muslim melakukan pencurian. Namun tatkala benar-benar terbukti bahwa karung tersebut dicuri oleh tetangganya itu, maka ia lari ke 4 Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam Jakarta: Indhill CO, t.th,h. 119. 5 Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93. Dijelaskan tentang peletakan kata pada Qs. Al-Maidah ayat 38 dan Qs. An-Nur ayat 2. Pada Qs. Al-Maidah ayat 38, kata اّ ا as-sariqu pencuri laki-laki disebutkan terlebih dahulu atas kata ق اّ ا as-sariqatu pencuri perempuan. Mengisyaratkan bahwa laki-laki lebih berani mencuri dari pada perempuan, di samping itu laki- laki mempunyai kewajiban mencari nafkah. Sedangkan pada Qs. An-Nur ayat 2, menyebutkan kata ز ا az-zaniyah perempuan pezina terlebih dahulu atas ز ا az-zani laki-laki pezina. Ini disebabkan karena bukti perzinahan dapat nampak dengan jelas pada perempuan akibat kehamilannya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh perempuan ketimbang lelaki. Kebanyakan dari perempuan itu menampakan hiasan mereka, yang dapat merangsang terjadinya perzinahan. Lihat Tafsir Al-Mishbah Juz 3 halaman 93. semak belukar dan mati. Ayat Al- Qur’an di atas diturunkan setelah peristiwa ini terjadi. 6 Firman Allah dalam Qs. Al-Maidah pada lafadz اْوعطْقاف “potonglah”,bermakna al-ibanah penjelasan dan al-izaalah penghilangan. Penghilangan atau pemotongan ini tidak diwajibkan kecuali dengan terpenuhinya beberapa syarat yang perlu diperhitungkan keberadaannya, pada orang yang melakukan pencurian, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang dicuri. 7 Pada lafadz امهيدْيأ “tangan keduanya”, Allah tidak berfirman امهْيدي harfiyah: kedua tangan mereka berdua.Terjadi perbedaan pendapat oleh para pakar bahasa Arab membahas masalah tersebut. Ibnu Al- Arabi berkata, “para fukaha memperkuat apa yang dikemukakan oleh para pakar bahasa Arab itu, karena sangkaan baik terhadap mereka. Al- Khalil bin Ahmad dan Al- Farra’ berkata, “setiap sesuatu yang ada pada tubuh manusia, apabila sesuatu itu disebutkan untuk dua orang, maka sesuatu itu harus dijamakkan”. Oleh karena itu Allah berfirman, اْوعطْقاف امهيدْيأ harfiyah: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan-tangan keduanya, dan tidak berfirman: هْيدي اْوعطْقاف ام harfiyah: potonglah kedua tangan keduanya. Maksudnya adalah, potonglah tangan kanan si ini dan tangan kanan si itu. Namun demikian, menurut aturan bahasa Arab, diperbolehkan mengungkapkan ْوعطْقاف امهْيدي ا harfiyah: potonglah kedua tangan keduanya, sebab kalimat ini merupakan asal. 6 Abdurahman I Doi. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, Jakrta: Rineka Cipta, 1992, h. 63. 7 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 400. Ibnu Al- Arabi berkata, “ini berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa yang boleh dipotong hanyalah tangan kanan, padahal tidak demikian. Akan tetapi, yang boleh dipotong itu tangan-tangan dan kaki-kaki. Dengan demikian, firman Allah: امهيدْيأ itu kembali kepada empat perkara, yang terhimpun pada dua perkara yaitu tangan dan kaki. Sebab lafadzh ام adalah tatsniah. Dengan demikian pula, firman Allah itu dikemukakan secara fasih. 8 Rasulullah sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Ibnu Abdulbar, pernah mengeksekusi potong tangan terhadap seorang wanita yang bernama Fatimah binti al- Aswad bin Abdul „Asadal-Makhzumi yang mencuri harta seseorang. Seperti ditegaskan Awdah, hukuman potong tangan yang seperti ditegaskan dalam Al- Qur’an tidak boleh ditukar dengan bentuk hukuman lain yang lebih ringan. 9 Sejak zaman para sahabat, hukuman potong tangan telah ditetapkan untuk tindak pidana pencurian. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah SAW karena mencuri adalah Al-Khiyar bin Abdi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pertama yang dihukum potong tangan karena mencuri adalah Murrah binti sufyan bin Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan seorang pencuri kalung dan umar memotong tangan Ibnu Samurah, saudara 8 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 415-416. 9 Muhammad Amin Suma dkk, Pidana Islam Di Indonesia Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, h, 124.