57 alat bukti, namun surat tersebut tetap harus dibacakan atau isinya secara ringkas
diberitahukan dalam persidangan, jika hakim ingin mempergunakan sebagai alat bukti. 3.
Dahulu didalam HIR, ada 2 dua Pasal utama yang harus diperhatikan bagi seorang hakim yaitu Pasal 304 dan 297.
a. Pasal 304 HIR:
bahwa aturan tentang kekuatan pembuktian dan surat-surat umum dan surat-surat khusus dalam proses perdata, harus juga diperhatikan terhadap kekuatan
pembuktian dalam proses pidana. b.
Pasal 297 HIR: Segala rupa alat bukti dapat dilemahkan dengan bukti penyangkal.
4. Untuk dapat lebih mendalami alat bukti surat, maka dalam pembahasan lebih lanjut
akan dibicarakan kekuatan alat bukti surat menurut hukum acara perdata dan menurut hukum acara pidana. Sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka
perkembanagan alat bukti surat ini, berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan diterimanya beberapa alat bukti yang diatur oleh
undang-undang N0 11 tahun 2009 tentang ITE. Diantaranya surat elektronik, email, sms, dan sebagainya. Hal yang penting dalam perkarang tindak pidana adalah surat
resmi dari instansi atau lembaga tinggi negara seperti Badann Pemeriksaan Keuangan BPK, maupun Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan PPATK Badan Pemeriksaan
Keuangan Pembangunan BPKP Inspekturat Jendral Irjen diberbgai depertemen, hasil audit independen serta laporan masyarakat lain.
D. KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Meskipun tidak ada pengaturan khusus, tentang cara memeriksa alat bukti surat seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai dengan
sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan dipersidangan. Nilai alat bukti oleh karena itu
bersifat bebas. Bahwa karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran material
atau kebenaran sejati, maka konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau mengesampingkan sebuah surat.
Disamping itu haruslah diingat pula tentang adanya minimum pembuktian walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi otentik yang berbentuk
surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti
58 surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Bagaimanapun
sikap kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan
dari alat bukti lain. Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
perlu diingat dua hal tentang kekuatan alat bukti surat yaitu: a.
Bahwa bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap bukti- bukti surat dalam perkara perdata, namun surat-surat tersebut dalam perkara
pidana dikuasai oleh aturan, bahwa mereka harus menentukan keyakinan hakim. Dengan demikian maka dalam perkara perdata, hakim adalah
berkewajiban untuk memutus suatu perkara menurut kekuatan bukti dari suatu akta otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkalan, tetapi dalam perkara
pidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim. b.
Bahwa pembuktian dalam perkara perdata adalah bertujuan untuk memutuskan apa yang oleh kedua belah pihak yang berperkara dianggap benar kebenaran
formal sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran material.
Dalam Ketentuan Umum tidak terdapat pengertian tentang apa surat itu; menurut Pitlo, suatu surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi
pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda bacaan ini diatas kertas, karton kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak penting apakah tanda bacaan itu terdiri dari huruf yang kita
kenal atau dari huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri. Tidak termasuk dalam kata surat adalah foto dan peta; barang-barang ini tidak memuat tanda
bacaan. Seseorang menerima sejumlah uang atau barang, baru merasa dirinya aman jika ia memberi suatu tanda terima.
Orang yang memberi tanda terima itu harus mengerti bahwa tulisan atau surat tanda terima itu kemudian hari dapat dipergunakan terhadap dirinya sebagai bukti bahwa ia benar
telah menerima uang atau barang itu. Pada asasnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau memberatkan bagi orang yang menulisnya atau sipembuat. Pengecualian terhadap asas ini
terdapat dalam Pasal 7 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang yang mengatakan “Hakim
adalah bebas untuk kepentingan masing-masing akan memberi kekuatan bukti sedemikian rupa kepada pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya dalam
tiap- tiap kejadian khusus harus diberikannya.” Ketentuan ini juga terdapat dalam Pasal 167
HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa pemegangan buku itu menguntungkan
59 pembuatnya. Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibagi dalam dua golongan: akte dan surat-
surat lain bukan akte. Sedangkan akte dapat dibagi dalam dua: 1. akte otentik,
2. akte dibawah tangan. Akte adalah surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu hak atau perkataan yang dibuat sejak semula sengaja untuk pembuktian. Keharusan tanda tangan pada surat untuk dapat disebut sebagai akte ternyata dari Pasal 1869 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata BW. Dengan demikian, karcis kereta api, tiket resi dan lain-lain bukan termasuk akte. Akte otentik adalah suatu akte yang di dalam bentuk
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat akte itu dibuat Pasal 1869 BW, Pasal 165 HIR atau Pasal 285
Rbg. Akte –akte lainnya yang bukan otentik dinamakan akte dibawah tangan.
Menurut Pasal 1868 BW tersebut ada dua macam akte otentik, yakni: suatu akte yang dibuat oleh dan suatu akte yang dibuat di hadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-
undang, contoh: Laporan rapat perseroan dengan dengan dihadiri oleh semua anggota persero adalah akte otentik yang dibuat oleh notaris. Berita Acara sidang dan berita acara
pemanggilan saksi adalah akte otentik yang dibuat oleh panitera pengganti, Juru sita Pengadilan. Contoh akte yang dibuat dihadapan notaris: dua pihak menghadap notaris,
menerangkan bahwa mereka telah mengadakan perjanjian misalnya jual beli, hutang piutang dan lainnya dan minta kepada notaris agar perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte. Akte
demikian adalah akte otentik yang dibuat oleh Catatan Sipil. Akte dibawah tangan ialah akte yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh pihak-
pihak tanpa bantuan dari pegawai umum yang berwenang untuk itu S 1867 Nomor 29 untuk Jawa dan Madura dan untuk luar Jawa dan Madura diatur Pasal 286-305 Rbg. Termasuk
pengertian surat dibawah tangan menurut Pasal 1S. 1867 No. 29 dan 286 Rbg, Pasal 1874 BW ialah akte dibawah tangan, surat-surat, daftar register catatan mengenai rumah tinggal
dan surat-surat lain yang dibuat tanpa bantuan pegawai umum yang berwenang. Akte dibawah tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh
undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang diadakan oleh undang-undang. Pembubuhan pernyataan oleh notaris atau pegawai lainnya seperti tersebut diatas disebut
“legalisasi” yang berarti pengesahan. Pejabat-pejabat lain yang berwenang memberi legalisasi adalah: Hakim, Bupati, Kepala Daerah, Walikota Ordonansi tahun 1916 Nomor 46.
Disamakan dengan tanda tangan adalah cap jempol yang dibubuhi pernyataan yang bertanggal oleh Notaris, Hakim, Bupati, Kepala Daerah, Walikota yang menyatakan bahwa
pejabat tersebut kenal kepada pembubuh cap jempol tersebut atau orang tersebut telah
60 diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akte telah dijelaskan kepada orang tersebut dan bahwa
setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pejabat tadi. Akte tersebut kemudian harus dibukukan dalam buku khusus yang disediakan guna keperluan itu Ordonansi tahun
1916 Nomor 46. Dalam akte otentik tidak menjadi persoalan mengenai tanda tangan, tetapi dalam akte
dibawah tangan, pemeriksaan tentang benar atau tidaknya akte yang bersangkutan yang telah ditanda tangani oleh yang bersangkutan merupakan masalah pokok. Apabila tanda itu
disangkal maka perlu diperiksa kebenaran tanda tangan tersebut. Surat sebagai alat bukti disebutkan dalam Pasal 184 dan diatur dalam Pasal 187. lengkapnya Pasal 187
berbunyi:“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangan itu. b.
surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan.
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai suatu hal atau suatu yang diminta secara resmi daripadanya; d.
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kiranya, Pasal 187 ini ditiru Pasal 83 UU no. 1 tahun 1950 dengan perbedaan redaksi, minus “putusan secara sah diambil oleh badan pengadilan atau hakim” tidak ada
penjelasan terhadap ketentuan Pasal 187 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat resmi
openbaar dan surat-surat biasa bijzonder didalam Hukum Acara Perdata dapat diterapkan dalam penilaian Hukum Acara Pidana, seperti disebutkan dalam Pasal 304 HIR. Oleh karena
itu diserahkan kepada pertimbangan hakim. Ketegasan kepada Pasal 52, yang harus diartikan bahwa tersangka ataupun saksi dalam pemeriksaan penyidik memberikan keterangan secara
bebas. Kemudian, keterangan terdakwa sebagai alat bukti disebut dalam Pasal 184 sub e dan
juga disebut dalam Pasal 188, tentang kadar keterangan terdakwa adalah sama dengan keterangan tersangka dimuka penyidik Pasal 52 jo Pasal 117, artinya terdakwa memberikan
keterangan secara bebas. Menurut penulis, Pasal 295 HIR
yang menyebut “pengakuan” bekentenis sebagai alat bukti dan Pasal 307 HIR
yang menyebut “pengakuan salah”
61 gerechtelijke bekentenis sebagai kekuatan alat bukti bewijstkracht, berbeda kadar atau
derajat dengan”keterangan terdakwa” dalam Pasal 184 sub e dan Pasal 189 KUHAP sebagai alat bukti dan kekuatan pembuktian sebab yang terakhir ini diberikan secara bebas.
Maka dalam Pasal 189 ayat 1 diberikan batasan dalam operasional alat bukti “keterangan terdakwa” ialah apa yang dinyatakan oleh terdakwa disidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau ia alami sendiri. Bilamana Pasal 189 ayat 1 ini
dibandingkan dengan Pasal 1 butir 27, yang memberikan batasan tentang keterangan saksi bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti berupa keterangan mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri. Jadi kedua Pasal tersebut ada persamaan wajib memberi keterangan yaitu keterangan dari apa yang sesungguhnya terjadi
de materieele waarheid. Selain itu keterangan terdakwa dapat berisi: 1.
pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebut dalam surat dakwaan. 2.
penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Oleh karena pengertian keterangan terdakwa mempunyai makna lebih luas daripada
pengertian pengakuan salah, penulis tidak menggunakan kata “keterangan salah” atau “pengakuan salah”, sebab kedua terminologi tersebut berkonotasi sebagai sesuatu yang
berlawanan atau prinsip presumption of innocence. Dikatakan terdakwa bersalah apabila
sudah ada putusan yang berkekuatan tetap dengan penghukuman pidana kepadanya. Yang menjadi masalah ialah bagaimana jika terdakwa mencabut keterangannya dahulu yang dibuat
dimuka penyidik dan bagaimana penilaian terhadap keterangan terdakwa? Menurut penulis, hakim dalam menghadapai masalah ini harus berprinsip pada keterangan terdakwa sebagai
alat bukti, yaitu apa yang ia nyatakan dalam persidangan. Pencabutan keterangan terdakwa atas keterangannya dimuka penyidik harus
dibuktikan adanya paksaan dan atau tekanan. Kedua alasan itu disebut di dalam penjelasan Pasal demi Pasal tidak limitatif, tetapi jika ada alasan lain yang tepat dan masuk akal
aanemelijk, misalnya salah paham dalam pengertian suatu hal maka pencabutan itu dapat diterima baik.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti
yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya Pasal 189 ayat 2. KUHAP memberi penegasan bahwa keterangan terdakwa dimuka sidang hanya merupakan bukti bagi
diri sendiri, dan tidak bagi kawan terdakwa mede beklaagde Pasal 189 ayat 3. Dalam praktek sering terjadi bahwa terdakwa menyeret kawannya menjadi mede beklaagde hanya
karena balas demdam atau alasan lain. Berkenaan dengan penerapan alat-alat bukti yang bermacam-macam itu. KUHAP memberikan tekanan bahwa keterangan dari terdakwa saja
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain Pasal 189 ayat
62 4. Ketentuan ini, menurut penulis memberikan penegasan bahwa KUHAP menganut
pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijke bewijstheorie. Oleh karena itu, satu alat bukti misalnya berujud keterangan terdakwa baik itu
mengandung pembenaran seluruhnya atau sebagian perbuatan yang didakwakan ataupun penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang didakwakan tidak merupakan bukti
sempurna untuk menjatuhkan hukuman pidana. Demikian juga, tidak seorangpun dapat dikenakan hukuman pidana hanya didasarkan atas penyangkaan belaka. Bagi hakim pidana
tidak ada alat bukti satupun yang akan mengikat hakim perihal kekuatan pembuktian. Jika ada akte otentik diajukan dalam perkara pidana, hakim untuk mempunyai keyakinan tentang
ketiadaan salah terdakwa, tidak memerlukan kontra bukti, lain halnya dengan hakim perdata
ALAT BUKTI PETUNJUK
A. PENGERTIAN