10 Berkas yang ada pada hakim yang memeriksa dalam acara inkuisitorial sering menjadi
sasaran kecaman oleh pengacara dalam Common Law. Hakim harus mempelajari berkas perkara dengan hati-hati sekali sebelum disidangkan, demikian pula jaksa penuntut umum
yang mempersiapkan kasus dalam acara yang akuisitoir. Tanpa adanya berkas perkara, hakim tidak dapat memutuskan dalam susunan bagaimana barang bukti harus ditanggapinya,
demikian pula ia tidak dapat mempersiapkan bahan-bahan untuk menginterogasi tersangka dan para saksi.
Dengan mempelajari berkas perkara yang telah dipersiapkan oleh polisi dan jaksa secara kurang cermat dapat menimbulkan resiko yang mengurangi upaya pencarian kebenaran
hakiki, di mana hakim akan sangat dipengaruhi untuk memutus demi kepentingan mereka jaksa, polisi. Pada waktu persidangan ia mungkin mengalami kesukaran untuk mendengar
tentang barang bukti dengan pikiran yang terbuka. Pengaruh sampingan dari berkas yang dibuat polisi atau jaksa yang bisa mengurangi obyektivitas kebenaran dapat terjadi apabila
oknum-oknum penyidik dan penuntut tidak melaksanakan misinya dengan dedikasi seorang penegak hukum dan penegak kebenaran.
Suatu eksperimen empiris yang dilakukan oleh para kriminolog telah mengungkapkan beberapa pengaruh prasangka berkas perkara terhadap para hakim. Masih merupakan
pertanyaan yaitu apakah hasil yang telah diperoleh dalam situasi laboratorium ini dapat dianggap cukup representatif sebagai situasi persidangan yang sesungguhnya. Sebaliknya para
psikolog memberitahukan bahwa persepsi sebagian besar tergantung pada asumsi secara tidak sadar yang dibawa kepada suatu saat. Mereka mendefinisikan persepsi sebagai suatu
kompromi antara apa yang diharapkan untuk dilihat dan apa yang sesungguhnya dapat dilihat. Apa yang dapat “diramalkan” dari kemungkinan asas psikologis ini sepanjang yang
menyangkut kemampuan menemukan fakta oleh hakim? Hingga sejauh manakah terdapat resiko di mana berkas perkara mempengaruhi
pertimbangan yang dipengaruhi pengalaman profesi seorang hakim? Dapat orang bertanya lebih lanjut apakah dalam persidangan secara akuisitoir berkas
perkara tidak dapat membantu hakim dalam menemukan fakta? Sekali lagi riset yang bersifat empiris dapat membantu untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut diatas.
B. Penemuan Fakta Dalam Hubungan Dengan Adanya Acara Akuisitoir Dan Inkuisitoir
Apabila orang akan membahas persoalan mengenai metoda manakah yang lebih baik untuk menemukan fakta, janganlah meremehkan kenyataan tentang perbedaan-perbedaan
besar dalam persidangan antara metoda yang bersifat akuisitoir dan inkuisitoir serta perbedaan antara sesama negara yang menerapkan salah satu metoda seperti umpamanya
11 metoda akuisitoir di Inggris beda dengan di Amerika dan metoda inkuisitoir di Belanda beda
dengan di Jerman dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini harus diperhatikan apbila perbandingan antara kedua metoda penemuan fakta tadi yang kekuatan penerapannya harus
didukung dan dihormati secara konsisten dengan segala konsekuensinya. Sebagai contoh di Amerika Serikat hakim yang mengadili suatu perkara menduduki posisi yang agak lemah.
Dalam sebagian besar jurisdiksi, hakim dalam persidangan bersama dewan juri tidak diperkenankan untuk memberikan komentar mengenai bobot barang bukti atau mengenai
dapat dipercayainya saksi-saksi, agar tidak memberikan kesan kepada dewan juri bahwa ia condong ke pihak yang satu atau lainnya. Larangan bagi pemberian komentar mengenai
barang bukti memaksa para hakim untuk tetap berhati-hati dalam seluruh persidangan, karena segala keterangan serta pertanyaan-pertanyaan bahkan intonasi tekanan suara suaranya dapat
sangat sekali mempengaruhi dewan juri. Bahkan dalam jurisdiksi-jurisdiksi Amerika di mana hakim dibolehkan memberikan
komentar terhadap barang bukti, dan juga dalam persidangan di mana ia duduk tanpa juri, ia tetap bersifat positif dalam arti keobyektifannya untuk tidak memihak. Praktek pengadilan
Inggris betapapun memperlihatkan bahwa praktek peradilan semacam itu adalah keliru. Sidang pengadilan di Inggris diselenggarakan dalam suatu suasana yang bersifat
profesionalisme, kerjasama dan moderat. Tidak seperti halnya dengan pengacara Amerika, di Inggris pengacara terikat keras oleh
tolak ukur dan etika profesi. Lebih jauh dipertentangkan, bahwa persidangan yang bersifat akuisitoir sangat menguntungkan tertuduh yang mampu membayar pengacara yang ulung
yang menguasai bidangnya. Ditinjau dari dekat, asumsi inipun nampaknya tidak beralasan. Sudah barang tentu kita tidak boleh meremehkan, bahwa memang ada manfaatnya untuk
mendapatkan seorang pengacara yang baik, namun hal ini berlaku baik bagi sidang perkara yang menggunakan metoda akuisitoir maupun inkuisitoir.
Sebaliknya harus selalu dicamkan, bahwa dalam acara persidangan dengan sistem akuisitoir kedua belah pihak yakin jaksa dan pembela tidak mempunyai hak-hak dan
kewajiban yang serupa. Jaksa harus membuktikan perkaranya dengan kesangsian yang besar, sedangkan tertuduh tidak dibebani untuk membuktikan ketidak-salahannya. Jaksa harus tetap
adil dan tidak memihak selama jalannya persidangan, ia tidak boleh menekan bukti yang menguntungkan terdakwa.
Sumber-sumber yang terbatas bagi pembela untuk mempersiapkan persidangan hingga titik tertentu diimbangi dengan hak-hak untuk minta penemuan dan inspeksi bagi keadilan. Di
Inggris, pembela bahkan dapat minta kepada saudara jaksa untuk membantu mencari saksi atau bukti lainnya. Para hakim Inggris menjalankan pengawasan yang luas pada persidangan,
12 mereka secara aktif turut ambil bagian dalam menjajagi fakta-fakta mencari fakta-fakta.
Mereka pada umumnya tidak akan bimbang atau ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan- pertanyaan pada para saksi dan memberikan komentar terhadap barang bukti.
Memang benar, terkadang hakim Inggris nampak melangkah terlampau jauh, pengadilan banding berpendapat bahwa hakim terlalu aktif, atau dengan perkataan lain terlampau
“inkuisitorial”. Dalam diktumnya yang sangat terkenal Pengadilan banding menyatakan bahwa; hakim yang melakukan sendiri pemeriksaan dalam persidanga dapat dikatakan turun
dalam arena dan penglihatannya dapat menjadi tertutup awan akibat debu sengketa tadi. Secara tidak disadari ia kehilangan manfaat observasi yang tidak memihak dan tenang. Dalam
suatu perkara hakim terang-terangan menginterupsi penyajian barang bukti sedemikian seringnya hingga boleh dikatakan ia merintangi pembela.
Intervensi berlebihan yang dilakukan oleh hakim ini dianggap merupakan hal yang demikian seriusnya sebagai suatu kondite yang tidak baik hingga
atas anjuran “Lord Chancellor
” semacam ketua Mahkamah Agung ia diminta mengundurkan diri. Ini sudah barang tentu, sangat kontras dan bertentangan sekali dengan persidangan secara inkuisitorial
di mana seperti yang telah ditandaskan tadi, hakim bebas untuk mencampuri pembela apabila ia menginginkannya. Seorang hakim Inggris harus berhenti karena ia telah memeriksa saksi-
saksi. Ia telah berbuat tepat sekali seperti apa yang dilakukan para hakim di Eropa- Kontinental pada masa kini.
Setiap harinya perbedaan-perbedaan dalam metode inquisitorial dalam menemukan fakta dapat dilihat dengan tajam apabila kita banyak melakukan pengamatan dengan
membandingkan persidangan-persidangan pengadilan Prancis dan Jerman. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP Prancis, baik jaksa maupun tertuduh
bersama pembelanya boleh mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seorang saksi apabila terjadi suatu sidang Pengadilan “Cour d’assises” di mana duduk tiga hakim
profesional dan sembilan hakim yang ditunjuk di antara orang awam dan yang memeriksa kasus-kasus yang serius.
Agar tidak membingungkan orang-orang awam tersebut, pertanyaan-pertanyaan dari tiga orang hakim tadi harus diajukan melalui hakim ketua majelis. Sudah barang tentu cara-
cara seperti ini membawa asas inkuisitoir pada titik-titiknya yang ekstrim. Dalam praktek, betapapun, hakim ketua nampaknya sering mengambil jalan kebijaksanaannya dan
membolehkan adanya pertanyaan-pertanyaan langsung setelah ia selesai memeriksa saksi. Pihak yang berkuasa di Prancis telah menunjukan bahwa pembela terkadang malahan diberi
ijin untuk minta agar saksi diperiksa ulang kembali secara ketat.
13 Pada persidangan pengadilan di Jerman kurang diperhatikan adanya resiko pengaruh
hakim-hakim awam yang dapat mengurangi faktor keobyektifan dalam persidangan. Dengan demikian, hak jaksa, tertuduh, dan pembela, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tambahan setelah hakim selesai dengan interogasi terhadap saksi, tidak dibatasi. Di Prancis, sebagian besar perkara diperiksa oleh suatu “tribunal correctionnel”
pengadilan koreksi, yang tidak mengikut-sertakan hakim-hakim awam. Pada persidangan- persidangan pengadilan ini pendengaran saksi-saksi dan penanggapan terhadap barang bukti
sebagian besar diganti dengan sekedar memeriksa laporan-laporan polisi. Laporan polisi dihubungkan dengan semacam nilai aprobasi hingga tersangka dibebani
untuk menyangkalnya. Sebaliknya, tersangka tidak mempunyai hak untuk minta dikonfrontasikan dengan saksi yang telah memberikan kesaksiannya yang berlawanan
terhadap polisi. Pada persidangan pengadilan Jerman lebih ditekankan pada penemuan fakta sesungguhnya oleh hakim. Hakim diharuskan untuk mendasarkan keputusannya pada apa
yang ia telah dengar langsung dari para saksi, oleh sebab itu pernyataannya yang diberikan secara lisan tidak boleh diganti dengan membacakan catatan-catatan polisi pada pemeriksaan
sebelumnya oleh pejabat kepolisian. Ilustrasi-ilustrasi di atas yang secara kontras menyoroti perbedaan dalam persidangan
antara negara-negara yang sama-sama menerapkan metoda yang sama tetap terdapat perbedaan. Maka di samping perbedaan prinsip antara metoda inquisitoir dibanding metoda
yang akuisitoir, ternyata ada perbedaan yang kurang prinsipiil antara tiap metoda dalam penerapannya di negara yang berbeda Inggris
– Amerika, Jerman – Prancis dan lain sebagainya Terjadinya kenyataan ini tentunya dipengaruhi oleh sejarah perkembangan acara
baik dalam persidangan di pengadilan maupun pada tahap pemeriksaan pendahuluan ditiap negara.
Dalam hal ini tentu dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang khas di luar acara peradilan semata di masing-masing negara. Maka dalam perkembangannya sekarang dapat
terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana terjadi kombinasi penerapan antara metoda inkuisitoir dan akuisitoir dengan mengambil unsur-unsur yang paling mendekati citra
masyarakat yang bersangkutan. Maka dapat ditarik kesimpulan perbedaan pemeriksaan inkusatoir dan aqusatoir terletak
pada tempat pemeriksaannya, inkusatoir diperiksa ditingkat penyidikan tersangka dijadikan sebagai objek, penasehat hukumnya bersifat pasif. Sedangkan pada tingkat akusatoir
dipengadilan terdakwa dijadikan sebagai subjek, penasehat hukumnya bersifat aktif.
14
SEGALA SESUATU YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBUKTIAN
A. ARTI HUKUM PEMBUKTIAN