BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pidana denda merupakan salah satu bagian dari pidana pokok yang ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau
pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP, dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata
uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih di nomor satukan dalam penetapan dan
penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama tercapainya efek jera bagi pelaku dan tercapainya pencegahan umum.
1
Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara yang selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda dapat
menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu efek jera. Pidana denda akan selalu
menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana. Pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi
pelaku tindak pidana dalam bentuk kesengsaraan secara materi yang menimbulkan kerugian karena merasa materi durugikan dengan menyita harta
benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara
1
Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda Indonesia Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2012 hal.9.
Universitas Sumatera Utara
pelelangan. Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.
2
Efektivitas pidana denda masih jauh dari tujuan pemidanaan karena pidana denda belumlah mempunyai fungsi dan peran yang optimal. Fungsi dan peran
pidana denda belum optimal karena para penegak hukum masih cenderung untuk memilih pidana penjara ataupun kurungan daripada pidana denda. Kondisi ini
dikarenakan juga peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau
alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu
undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan
fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif ataupun pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan,
terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.
3
Pelaku dalam pidana denda seharusnya membayar sendiri pidana denda yang dijatuhkan, walaupun dengan pemaksaan oleh pihak yang berwenang, dalam
hal ini jaksa penuntut umum melakukan penyitaan sementara. Pidana denda dapat dijadikan salah satu pemasukan negara sebagai penghasilan negara bukan
pajak PNBP. Pola pidana denda harus ditetapkan dan dilaksanakan secara konsisten dengan mendasarkan pada kepentingan hukum seseorang atau
2
Ibid, hal.11.
3
Ibid, hal.10.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat yang dilindungi. Penentuan pola pidana yang telah ditetapkan perlu dijadikan dasar untuk melakukan pengharmonisasian peraturan perundang-
undangan, baik peraturan yang telah dibentuk maupun peraturan yang akan atau sedang dibentuk.
4
Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Salah satu bentuk tindak pidana yang
dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya
bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada
setiap pelanggar lalu lintas.
5
Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional diatur di dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadi dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai
pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut..
Pelaksanaan penerapan pidana denda di masing-masing daerah berpedoman kepada tabel denda tilang dari hasil koordinasi antara Ketua
Pengadilan Negeri, Kepala Kepolisian dan Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Penetapan tabel denda ini didasarkan dengan pertimbangan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat setempat, dengan demikian tabel pidana denda dari masing-
4
Ibid.
5
Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan Jakarta:Sinar Grafik,2007 hal.24.
Universitas Sumatera Utara
masing daerah akan bervariasi besar anggaran dananya. Dasar hukum berlakunya penetapan tabel denda tilang tersebut adalah berdasarkan SEMA nomor 4 tahun
1993. Mahkamah Agung bersama dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tertanggal 19 Juni 1993 telah
mengeluarkan kesepakatan tentang “Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu” yang terutama dimaknai sebagai kesepakatan bersama
dalam menentukan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh pelanggar lalu lintas dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 4 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu
Lintas Jalan Tertentu hingga saat ini SEMA tersebut masih menjadi acuan dalam pembuatan kesepakatan di tingkat daerah untuk menentukan besarnya pidana
denda yang harus dibayarkan oleh para pelanggar lalu lintas.
6
SEMA Nomor 4 Tahun 1993 kemudian diimplementasikan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan melakukan kesepakatan bersama Kepala Kejaksaan
Negeri dan Kepala Kepolisian Resort Kota Besar untuk menentukan kisaran besaranya pidana denda yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat setempat. Kesepakatan Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri dan
Kepala Kepolisian Resort Kota Besar pada umumnya dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai pedoman bagi polisi di jalan yang melakukan penindakan bagi
6
Wawancara dengan Agustinus P, di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 3 Oktober 2012.
Universitas Sumatera Utara
para pelanggar lalu lintas dan bagi Hakim dalam memutuskan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh pelanggar untuk disetorkan kepada negara melalui
jaksa selaku eksekutor negara. Pengadilan Negeri Medan telah menyikapi hal tersebut dan telah
melakukan kesepakatan secara lisan antara Ketua Pengadilan Negeri Medan, Kepala Kejaksaan Negeri Medan dan Kepala Kepolisian Medan yang kemudian
oleh Ketua Pengadilan dituangkan dalam suatu tabel jenis pelanggaran dan besarnya pidana denda yang kemudian menjadi acuan bagi Hakim dalam
memutuskan besarnya pidana denda yang harus dibayarkan kepada negara oleh pelanggar.
Contoh dari penerapan pidana denda yang penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Medan ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama Faisal yang beralamat
jalan Binjai km 10 pekerjaan wiraswasta berumur 26 tahun yang mengendarai sepeda motor bernomor polisi BK 2041 UH pada tanggal 14 juli 2012 ditilang
polisi dengan nomor regisiter tilang 3340829 karena melanggar pasal 288 2 UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 tidak dapat menunjukkan surat izin
mengemudi SIM dan pasal 290 dan 291 12 UULAJ Yo.70 PP 43 tahun 1993 melanggar kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang
sepeda motor di daerah Aksara wilayah hukum Polresta Medan dan berdasarkan pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002 dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8
tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK pelanggar tersebut.
Persidangan tilang yang dilakukan di pengadilan negeri Medan, terdakwa
Universitas Sumatera Utara
diharuskan membayar denda Rp.100.000,- dan biaya perkara Rp.500,- atau subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah denda yang
dibayarkan oleh terdakwa tidak sesuai dengan tabel denda tilang sesuai hasil koordinasi antara Kapoltabes MS, Kajari Medan dan Ketua Pengadilan Negeri
Medan. Putusan hakim tersebut akan tetapi tidak bertentangan dengan UULAJ. Terdakwa hanya dikenakan denda sebesar Rp.100.000,- yang seharusnya
terdakwa dikenakan denda sebesar Rp.160.000,- yakni denda Rp.100.000,- karena melanggar pasal 288 2 UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 tidak
dapat menunjukkan surat izin mengemudi SIM dan Rp.60.000,- karena melanggar pasal 290 dan 291 12 UULAJ Yo.70 PP 43 tahun 1993 melanggar
kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang sepeda motor apabila denda yang dikenakan didasarkan oleh tabel denda tilang sesuai hasil
koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri Medan.
Contoh lain yang penulis dapat ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama Imam Hanadi yang beralamat di jalan Sei Serayu nomor 4 pekerjaan pelajar
berumur 18 tahun yang mengendarai sepeda motor bernomor polisi BK 2677 SJ pada tanggal 22 Juli 2012 ditilang polisi dengan nomor register tilang 3368552
karena melanggar pasal 293 2 dan 107 2 di daerah lapangan benteng wilayah hukum Polresta Medan dan berdasarkan pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002
dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8 tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK
pelanggar tersebut. Persidangan tilang yang dilakukan di pengadilan negeri
Universitas Sumatera Utara
Medan, terdakwa diharuskan membayar denda Rp.40.000,- dan biaya perkara Rp.500,- atau subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah
denda yang dibayarkan oleh terdakwa sesuai dengan tabel denda tilang sesuai hasil koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri
Medan. Penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas di kota Medan belum
sepenuhnya dilaksanakan mengacu atau berpedoman kepada tabel denda tilang tersebut. Berdasarkan contoh kasus yang telah diuraikan diatas, penerapan pidana
denda terhadap kedua kasus di atas menunjukkan adanya perbedaan pandangan hakim dalam penerapan jumlah dendanya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk
menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA STUDI PELANGGARAN
LALU LINTAS DI MEDAN”
B. Rumusan Masalah